Catatan Arif Minardi *)
Bencana alam terjadi silih berganti. Bencana hidrometeorologi, erupsi gunung berapi, gempa bumi dan lainnya terjadi susul menyusul di negeri ini. Pascabencana masyarakat banyak yang menganggur dan tidak punya penghasilan dan kehilangan pekerjaan atau aset usahanya rusak akibat bencana.
Setelah bencana pemerintah langsung melakukan pendataan verifikasi kerusakan rumah warga yang dilakukan BNPB bersama relawan.Berdasarkan data tersebut BNPB kemudian,melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah warga akan dipilah berdasarkan tingkat keparahannya. Untuk yang masih rusak ringan akan diberikan dana untuk memperbaiki rumahnya sendiri. Rusak sedang akan dibangun dan diperbaiki dengan struktur bangunan tahan gempa atau bebas banjir atau longsor oleh BNPB dan Kementerian PUPR.
Sementara, untuk rumah warga yang kondisinya rusak berat yang tidak dapat dihuni lagi dan berada di zona rawan bencana disediakan tempat relokasi khusus. Penyintas bencana dimanapun sudah barang tentu berharap pemerintah segera melakukan program rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap permukiman dan fasilitas umum. Program ini sebaiknya bersifat padat karya yang mempekerjakan para korban bencana.
Proses rehabilitasi memerlukan teknologi pembuatan rumah dengan durasi yang cepat. Salah satu teknologi itu yakni rumah instan sederhana sehat (RISHA). Hasil pengembangan Balitbang Puslitbangkim Kementerian PUPR. Tentunya, teknologi ini sudah diterapkan pada berbagai proyek pembangunan rumah di Indonesia. RISHA merupakan rumah layak huni dan terjangkau yang mengusung konsep konstruksi knock down.
Komponen dibuat secara pabrikasi dengan konstruksi penyusun rumah berdasarkan ukuran modular. Proses pembangunanya juga bisa selesai dalam waktu cepat. Karena tidak membutuhkan semen dan bata, melainkan dengan menggabungkan panel-panel beton dengan baut. Namun, dari segi kualitas dan kekuatan struktur sudah memenuhi standar.
Kementerian PU bersama dengan BNPB perlu menekankan aspek padat karya untuk menciptakan lapangan kerja dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dampak bencana. Selain itu perlu melakukan sosialisasi tentang pedoman teknis rumah dan bangunan gedung yang lebih aman dari bencana atau bisa tahan gempa kepada masyarakat, sosialisasi sistem Izin mendirikan bangunan, pengawasan konstruksi bangunan dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi, dan Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana. Dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Kegiatan rehabilitasi harus memperhatikan pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi. Perbaikan lingkungan daerah bencana merupakan kegiatan fisik perbaikan lingkungan untuk memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem suatu kawasan.
Menciptakan lapangan kerja dengan skema padat karya akan memulihkan harkat dan martabat para korban bencana. Program padat karya yang sistemik dan berkualitas utamanya untuk membangun infrastruktur akan membangkitkan harapan baru bagi korban. Penanganan bencana dari tahap tanggap darurat (response phase), tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, tahap preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan (preparedness) sebaiknya bersifat padat karya yang berkualitas.
Strategi dan perencanaan penanganan bencana jangan sekedar mengedepankan kerangka waktu dan biaya yang akan diserap, tetapi juga harus merinci potensi lapangan kerja. Sistem informasi daring itu selain sangat berguna dalam proses identifikasi para korban bencana juga bisa digunakan untuk mengambil keputusan terkait langkah-langkah rehabilitasi pasca bencana.
Dalam teori sosial-ekonomi, padat karya didefinisikan sebagai konsep labor intensive sebagai lawan dari capital intensive (padat modal). Dalam konteks tersebut, unsur produksi tenaga kerja (labor) dan mesin (capital) secara teoritis dapat saling bersubstitusi. Sejarah dunia telah menunjukkan pentingnya menggalakkan program padat karya untuk membenahi atau membangun infrastruktur daerah yang terkena bencana alam.
Program tersebut hendaknya dilakukan secara massal disertai dengan panduan teknis perencanaan yang akurat. Jika program padat karya di masa yang lalu lebih berorientasi pada proses dan bagaimana caranya menghabiskan anggaran secepatnya, maka pada program padat karya penanganan bencana harus ditekankan kepada aspek luaran atau output dan efek sosial positif yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan mekanisme perencanaan dan pengawasan serta dukungan data yang akurat tentang ketepatan atau kelayakan jenis kegiatan. Serta identifikasi siapa saja yang pantas diikutsertakan dalam program.
Program padat karya penanganan bencana hendaknya melibatkan interaksi antara tiga aktor utama yakni rumah-tangga, pihak fasilitator serta pengambil kebijakan proyek pada berbagai tingkatan. Sehingga terwujud pendekatan pemberdayaan yang lebih komprehensif. Dalam tataran psikososial, program padat karya penanganan bencana harus dirancang sedemikian rupa sehingga terwujudnya kelentingan kehidupan atau livelihood resilience.
Dengan program padat karya yang teratur dan berkesinambungan maka dampak sosial negatif akibat bencana alam bisa direduksi. Begitupun, kecenderungan para korban bencana alam untuk bermigrasi ke tempat lain bisa dicegah. Hal itu sesuai dengan tesis Lipton tentang pentingnya kebijakan negara untuk mengarahkan kegiatan investasinya menuju padat karya (labour intensive) pada saat terjadi krisis atau bencana.
Program padat karya pasca bencana alam sebaiknya juga terkait dengan rekrutmen Taruna Siaga Bencana (Tagana) dengan jumlah yang memadai. Merupakan gugus tugas berbasis masyarakat yang berorientasi untuk menangani penanggulangan bencana. Perekrutan personel Tagana dilakukan oleh Balai Diklat Kementerian Sosial dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan operasional Tagana dibebankan kepada anggaran APBN dan APBD. Perekrutan berdasarkan usulan yang disampaikan oleh kabupaten/kota atau provinsi mesti dirancang tepat sasaran dan multi guna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H