Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menimbang Secara Cermat Substansi Mogok Kerja

8 Mei 2024   11:57 Diperbarui: 8 Mei 2024   11:58 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan   Arif Minardi  *) 

Hingga kini sektor ketenagakerjaan nasional masih menyimpan konflik yang substansial terkait dengan pengupahan dan hubungan industrial. Tidak jarang organisasi pekerja mencanangkan aksi mogok kerja sebagai langkah perjuangan. Namun begitu, langkah tersebut hendaknya dipertimbangkan secara matang. Jangan sampai aksi tersebut justru menjadi bumerang bagi individu pekerja. Mogok kerja harus memiliki substansi yang logis dan esensinya harus benar-benar dimengerti oleh para anggota.

Sejatinya mogok kerja adalah senjata pamungkas setelah perundingan yang efektif benar-benar mengalami kebuntuan. Mogok kerja hendaknya tidak dilakukan karena ambisi atau motif politik praktis yang dilakukan oleh pengurus organisasi pekerja. Nasib kaum buruh jangan dikorbankan untuk kegiatan politik praktis yang notabene merupakan agenda parpol tertentu.

Jangan sampai mogok kerja justru semakin memperburuk kondisi perusahaan yang kini tengah mengalami beban berat. Kini masalah ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut hak-hak normatif karyawan seperti upah, jaminan sosial, hak berserikat dan lain-lain. Ada hal yang sangat substansial terkait dengan kesulitan perusahaan yang bisa berakibat kepailitan dan efek luasnya. Hal diatas sebaiknya dijadikan introspeksi oleh kalangan serikat pekerja. Agar mereka turut memikirkan dan ikut bertanggung jawab terhadap masa depan perusahaan yang menjadi sumur kehidupannya.

Dalam situasi dunia yang sarat persaingan sengit, kondisi perusahaan bisa terancam pailit alias bangkrut sewaktu-waktu. Hal ini tidak peduli bagi perusahaan swasta maupun BUMN, semua berpotensi mengalami kepailitan. Fakta menunjukkan bahwa di negara kapitalis yang memiliki sistem dan jaminan ketenagakerjaan yang baik saja jika terjadi kepailitan maka hak pekerja menjadi terpuruk.

Untuk itulah Kementerian Ketenagakerjaan dan pihak organisasi serikat pekerja sebaiknya mencari jalan jika terjadi kasus kepailitan. Dibutuhkan terobosan hukum dan politik, antara lain dengan membangun lembaga penjaminan ataupun asuransi yang bisa menjamin dan menguatkan hak-hak pekerja bilamana perusahaan tempatnya bekerja di pailitkan.

Serikat pekerja yang menyatakan aksi mogok kerja massal hendaknya mengedepankan rasionalitas dan tidak bersikap destruktif. Pemerintah sebaiknya membentuk tim yang kapabel untuk mendorong renegosiasi guna mencari jalan tengah yang bisa mengatasi kebuntuan.

Forum Perundingan

Dalam kaidah manajemen modern, pekerja pada prinsipnya juga berperan sebagai stakeholders. Oleh sebab itu serikat pekerja sangat berkepentingan terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Serikat pekerja sebaiknya memiliki kemampuan untuk mengkaji dan menganalisa kinerja perusahaan secara obyektif. Sayangnya, kemampuan tersebut belum banyak dimiliki oleh pengurus serikat pekerja di negeri ini.

Undang undang telah menempatkan serikat pekerja dan pihak pengelola perusahaan sama-sama kuat. Dalam arti jika serikat pekerja memiliki hak sekaligus senjata pamungkas berupa aksi mogok kerja dalam menuntut hak-hak normatifnya, begitupun para pengusaha juga memiliki hak sekaligus senjata berupa langkah untuk me-lock out perusahaannya. Hanya saja, mekanismenya diatur lebih lanjut oleh UU yang mana secara garis besarnya para pengusaha dilarang secara diam-diam, melainkan harus membicarakan lebih lanjut dengan Serikat Pekerja yang ada di lingkungannya lewat forum perundingan.

Penanganan terhadap pemogokan yang dilakukan oleh serikat pekerja memerlukan keuletan untuk mencegah faktor-faktor yang membuat perundingan tidak efektif. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa forum perundingan tidak diikuti oleh para perunding yang efektif. Akibatnya proses perundingan secara dini sudah mengalami kebuntuan. Atau hasil perundingan yang diperoleh tidak memuaskan karena dalam status win-lose atau lose-lose. Pihak Serikat Pekerja dan wakil perusahaan selama ini sering kali minimalis dalam hal materi perundingan. Begitu pula teknik bernegosiasi juga sering kurang memadai. Padahal dalam situasi penting seperti itu kuncinya terletak kepada kepiawaian bernegosiasi.

Ada baiknya kita merujuk premis dari pakar manajemen, yakni Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and Heart of the Negotiator, bahwa alasan yang menyebabkan seseorang menjadi perunding yang buruk bukanlah terletak pada faktor motivasi dan kemampuan intelektual dari si perunding. Menurutnya, akar masalahnya terjadi pada tiga hal yang mendasar yaitu : faulty feedback, satisfaction, dan self reinforcing incompetence. Dalam berbagai kasus sengketa ketenagakerjaan, tidak jarang para perunding justru melakukan faulty feedback atau umpan balik yang salah.

Problem yang sering dihadapi para perunding sehingga menyebabkan tidak efektif dalam melakukan perundingan karena kurangnya umpan balik yang tepat waktu dan akurat. Tidak adanya umpan balik tersebut menyebabkan bias persoalan. Sehingga para perunding gagal mendapatkan manfaat yang optimal.

Selain ketidakakuratan umpan balik, perundingan ketenagakerjaan juga sering diwarnai oleh satisficing atau terpaksa menerima hasil perundingan yang bernilai rendah. Dalam proses perundingan, para perunding harus memahami dengan baik keterbatasan yang dia miliki. Jangan sampai pihak pengurus Serikat Pekerja kekurangan materi perundingan. Oleh sebab itu pihak Kementerian Tenaga Kerja sebaiknya meminta perusahaan untuk memberikan bahan-bahan yang terkait dengan kondisi perusahaan yang terkini. Hal itu untuk mencegah fenomena self reinforcing incompetence. Karena fenomena tersebut menyebabkan ketidakefektifan dalam melakukan perundingan.

Sebelum perundingan dimulai atau memasuki substansi pembahasan isi perundingan secara detail, masing-masing pihak sebaiknya melakukan klarifikasi atau menjelaskan mengenai tuntutan yang mereka inginkan. Sedikit banyaknya tuntutan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak serta baik tidaknya kerjasama yang ada di antara mereka selama proses tersebut, akan menentukan terbangun atau tidaknya suasana yang kondusif bagi proses selanjutnya.

Perunding yang berpengalaman biasanya memfokuskan pembicaraan pada masalah-masalah yang relatif sederhana atau tidak kontroversial, sehingga dengan mudah dapat dituntaskan. Dengan cara ini diharapkan terbangun suasana kerjasama diantara para perunding. Setelah tuntutan awal diungkapkan, masing-masing pihak sebaiknya menentukan hal-hal yang mereka inginkan dan hal-hal yang dapat mereka berikan sebagai konsesi. Pada tahap ini masing-masing pihak perlu melakukan perundingan dalam wilayah ZOPA (zone of possible agreement) yang tersedia. Disini masing-masing pihak mempunyai batas toleransi atau reservation price untuk dapat mencapai kesepakatan atau untuk meninggalkan proses perundingan atau terjadi jalan buntu.

Dalam proses perundingan titik sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak tentunya tidak bersinggungan atau overlap. Hal ini berarti bahwa nilai atau jumlah tuntutan yang diajukan oleh para perunding dari pihak serikat pekerja lebih banyak daripada yang dapat dipenuhi oleh pihak perusahaan. Begitupun sebaliknya. Idealnya, nilai toleransi minimum yang dapat diterima untuk menerima kesepakatan (reservation price) dari masing-masing perunding akan bersinggungan (overlap). Hal ini berarti nilai atau jumlah tuntutan yang dapat dipenuhi oleh para perunding dari pihak perusahaan adalah lebih besar dari nilai toleransi minimum yang dapat diterima oleh pihak perunding dari serikat pekerja, dan begitu juga sebaliknya. Untuk mencari titik singgung perundingan bisa diarahkan dengan membahas standardisasi dan benchmarking. Bisa juga menyangkut tentang tinjauan produktivitas dan job establishment system.

Sayangnya, kebanyakan proses pemogokan yang pernah terjadi di negeri ini tidak melalui perundingan yang diwarnai dengan proses negosiasi hingga proses bedah manajemen perusahaan, seperti kondisi neraca perusahaan serta kondisi cash flow dan masalah korporasi lainnya. Yang terjadi justru jalan pintas dan tindakan pemaksaan atau represif. Sehingga menyebabkan sengketa ketenagakerjaan yang berlarut-larut.

*) Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin (FSP LEM SPSI).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun