Perppu justru mengandaskan mimpi rezim Jokowi. dimana Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dolar AS pada tahun 2045. Mimpi mewujudkan penghasilan per kapita 27 juta per bulan mestinya disertai dengan analisa tahapan dari tahun ke tahun dengan berbagai kondisi sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Rezim penguasa harusnya sadar bahwa keadilan sosial merupakan faktor yang sangat krusial karena bisa menempatkan Republik Indonesia sebagai negara gagal. Memang, tidak ada jalan pintas menuju keadilan sosial.
Namun jalan tersebut mestinya bisa dipetakan lebih konkret lagi di bidang perekonomian misalnya melalui revolusi fiskal dengan merombak APBN. Selain itu juga perlu kebijakan reforma agraria, redistribusi pendapatan, bahkan redistribusi kekayaan. Bukan lantas menerbitkan Perppu yang kian memiskinkan rakyat.
Mestinya mimpi pemimpin bangsa untuk menghapus kemiskinan dikonkritkan dengan kebijakan perombakan APBN untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan.
Menurut Louis Kelso dalam konsep menuju keadilan ekonomi terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya membentuk konstruksi keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya konstruksi keadilan sosial menjadi runtuh.
Diperlukan peran tegas negara sebagai pengendali, karena distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Menerbitkan Perppu Cipta Kerja justru menunjukkan peran negara sangat lembek dan manut dengan kehendak para kapitalis komprador.
Seperti dikemukakan oleh Joseph Stieglitz, selalu ada faktor asymmetric information dalam mekanisme kerja pasar bebas. Yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil dalam dirinya sendiri. Teori Stieglitz itu mestinya disikapi oleh rezim di Indonesia dengan membuat strategi untuk mengendalikan mekanisme kerja pasar bebas.
Rezim Jokowi terus menerus membuat resah kaum pekerja, di lain pihak para oligarki dan investor dianakemaskan. Selama ini mereka telah diberikan segala-galanya. Bahkan sederet insentif sudah diberikan, pajak diperingan bahkan ada yang dihilangkan, perizinan dipangkas, faktor keamanan dijamin, aset BUMN dan pemerintah turut diberikan. Setelah semua diberikan kepada oligarki dan pengusaha, sungguh keterlaluan jika mereka juga meminta agar hak-hak normatif dan kesejahteraan pekerja terus didegradasi lewat Perppu.
Selama ini oligarki bisnis sangat bernafsu menghilangkan pasal-pasal penting dalam UU Nomor 13/2003 terutama yang terkait dengan pengupahan, pesangon PHK, jam kerja/beban kerja, pekerja alih daya, dan pasal-pasal krusial lainnya.
Pada penjelasan Perppu Cipta Kerja bagian Umum, disebutkan bahwa alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97%) bekerja pada kegiatan informal.