Catatan  Arif Minardi  *)
Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk menggenjot produktivitas nasional. Setiap tahun kita optimis bahwa ibadah bulan suci Ramadhan dan perhelatan akbar mudik lebaran merupakan penggerak ekonomi nasional. Terutama sektor pariwisata, ekonomi kreatif dan transportasi.Â
Alangkah luar biasa kumandang dan gairah Ramadhan dan perhelatan akbar selalu ditandai dengan detak ekonomi yang kencang, kegiatan amal yang luar biasa serta perpindahan ratusan juta massa dan ratusan triliun rupiah dana segar dari kota menuju perdesaan.
Nuansa yang mendominasi wajah yang menjalankan ibadah Ramadhan adalah keceriaan dan kegembiraan yang menyimpan sejuta rindu kepada kampung halaman rohaninya.Â
Saatnya mentransformasikan nilai bulan Ramadhan dan spirit Idul Fitri yang tergambar dalam gelombang besar mudik lebaran menjadi generator produktivitas yang hebat. Tingkat produktivitas bangsa yang hingga kini masih belum menggembirakan adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa.Â
Oleh sebab itu jihad produktivitas sangat relevan untuk dijalankan. Kaum Muslimin di negeri ini sebaiknya mulai mengkaji berbagai ajaran keagamaan yang bisa menimbulkan qiroah atau greget untuk memacu usaha dan produktivitas.
Ibadah Ramadhan telah menggembleng setiap Muslim agar meraih kemenangan dengan terlahir kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan kuat. Usai sebulan penuh berpuasa, kaum beriman diharapkan dapat terlahir kembali dengan fitrah kemanusiaan yang suci, bersih dari dosa, dan mendapat kekuatan baru. Pasalnya, ibadah-ibadah Ramadhan mengandung dua arti, yaitu tazkiyatun nafs yakni penyucian jiwa dan tarbiyatun nafs yakni penguatan diri.
Mentalitas Kerja Keras
Kemajuan bangsa hanya bisa terwujud dengan mentalitas kerja keras dan terus menerus berpikir cerdas. Kita prihatin melihat kajian Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan Indeks Kualitas Pekerjaan (IKP) masih rendah. Dan pada saat pandemi hingga saat ini justru mengalami penurunan dibanding sebelum pandemi.
Terdapat penurunan IKP Indonesia hingga 20,7 persen. Selain itu, ada ketimpangan capaian IKP. Indeks tertinggi berasal dari DKI Jakarta sementara terendah terjadi di Sulawesi Barat. Sebagai informasi, dimensi kualitas pekerjaan menggambarkan pekerjaan yang layak. Salah satu pendekatannya dilihat dari sisi penggunaan waktu bekerja dengan kondisi jam kerja yang tidak berlebih.