Catatan  Arif Minardi  *)Â
Sungguh malang nasib kelas menengah tanggung yakni Milenial dan Gen Z saat ini. Â Impian mereka untuk punya rumah sendiri semakin sulit terwujud. Penghasilannya tak pernah cukup untuk mencicil KPR. Akhirnya tahun demi tahun mereka menjadi manusia indekos. Bahkan untuk kaum pekerja atau buruh yang masih lajang, mereka kontrak kamar secara beramai-ramai hingga lima orang dalam satu kamar. Kondisinya semakin sulit jika mereka sudah menikah. Biaya untuk uang muka pembelian rumah atau mengangsur KPR tersita untuk kebutuhan yang lain.
Mestinya pemerintah memiliki komitmen tertinggi untuk menjalankan sebaik mungkin program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera untuk pekerja Milenial dan Gen Z yang notabene adalah kelas menengah tanggung yang rentan tercebur dalam kategori orang miskin baru.
Selama ini publik dibuat bingung terkait dengan ketidakjelasan program Tapera. Padahal pemerintah telah mengalokasikan Rp 2,5 triliun sebagai modal awal program Tapera dalam APBN.
Suntikan modal ini dikucurkan untuk Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Pembentukan BP Tapera merupakan salah satu amanat Undang-undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Kepesertaan Tapera tertuang dalam pasal 7 UU nomor 4 tahun 2016. Dimana diwajibkan bagi seluruh pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Peserta ini paling rendah berusia 20 tahun atau sudah kawin saat mendaftar.
Seperti halnya BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, simpanan atau iuran Tapera akan dibebankan oleh pemberi kerja dan bagi pekerja sendiri. Persentase simpanan Tapera sebesar 3 persen dari gaji, terbagi atas 0,5 persen dibebankan kepada pemberi kerja dan 2,5 persen merupakan beban pekerja (swasta/pegawai negeri). Pemberlakuan Tapera otomatis akan mengalihkan dana PNS, TNI Polri dan BUMN yang ada di Bapertarum kepada BP Tapera.
Pembangunan perumahan rakyat sangat sesuai dengan cita-cita dan pemikiran Bung Hatta. Pada 1950 Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mencanangkan program perumahan rakyat. Lalu beliau dinobatkan sebagai Bapak Perumahan Rakyat.
Pemikiran Bung Hatta untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat pada prinsipnya mengharuskan pemerintah berpikir keras terkait solusi pendanaan rumah hingga tanpa agunan dan tanpa uang muka bagi masyarakat kecil.
Pada saat itu Bung Hatta sudah melihat masalah backlog atau kekurangan kebutuhan rumah di Indonesia yang sangat rumit dan perlu perjuangan dan terobosan.
Betapa menggebu keinginan kelas menengah untuk memiliki rumah sendiri. Namun, mereka tidak mampu membeli rumah dengan mekanisme apa pun.
Pemikiran Bung Hatta tentang perumahan rakyat pada intinya adalah pemerintah harusnya totalitas melakukan penjaminan. Kepada bank atau kepada pihak developer. Kebijakan serupa juga telah dipraktikkan oleh pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Segmen masyarakat yang sangat membutuhkan pemukiman yang layak adalah para pekerja. Pemerintah wajib memberikan kemudahan bagi para pekerja untuk memperoleh permukiman yang layak huni dan berkeadilan sosial. Apalagi pada saat ini para pekerja dalam kondisi rawan daya beli.
Harapan para pekerja untuk memiliki rumah harus segera diwujudkan. Perlu sinkronisasi program Tapera dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Pembangunan perumahan selama ini terkendala oleh sulitnya lahan. Masalah itu sebenarnya bisa diatasi dengan keberadaan dan pengelolaan aset milik pemerintah daerah. Celakanya, banyak pejabat dan aparat daerah yang kurang peduli dan belum mengelola aset itu secara baik.
Akibatnya, tidak sedikit aset daerah yang pindah tangan atau dikelola oleh pihak lain secara asal-asalan. Rakyat sering menyaksikan aset daerah yang dibiarkan terlantar atau diserobot oleh pihak lain.
Oleh sebab itu perlu tindakan tegas terkait dengan optimalisasi pemanfaatan aset daerah untuk pembangunan perumahan rakyat.
Pengadaan perumahan dengan sistem rusunawa selama ini masih banyak kendala dan kurang menguntungkan bagi pekerja. Apalagi standar mutu bangunan rusunawa dan letaknya yang terpencil menyebabkan pembangunan rusunawa menjadi mubazir dan utilitasnya tidak bisa optimal.
Dengan kasus seperti di atas perlu menetapkan dan melaksanakan standar serah terima pembangunan rusunawa sehingga mutu dan kualitasnya baik.
Terobosan pembangunan perumahan rakyat juga harus disertai dengan membuat standar mutu bangunan. Selama ini standar mutu bangunan sering diabaikan. Akibatnya menimbulkan kerawanan terhadap rusunawa-rusunawa yang telah dibangun.
Tujuan dasar pembangunan rusunawa sebagai salah satu solusi dalam penyediaan permukiman layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di perkotaan tidak tercapai akibat masalah mutu bangunan dan infrastruktur pendukung yang tidak memadai. Seperti infrastruktur transportasi dan minimnya fasilitas sosial.
Perumnas sebagai BUMN memiliki pengalaman yang cukup sehingga perlu diberikan kembali alokasi anggaran yang bersumber dari APBN seperti dalam bentuk skema PSO (Public Service Obligation) maupun dalam bentuk insentif atau stimulus lainnya guna membangun program perumahan rakyat. Baik perumahan di ibu kota maupun di pelosok daerah.
Kaum pekerja yang notabene adalah kelas menengah berpenghasilan pas-pasan harus menjadi prioritas program perumahan rakyat yang dicanangkan pemerintah. Sayangnya selama ini program perumahan rakyat masih angin-anginan. Akibatnya terjadi backlog atau kekurangan kebutuhan rumah hingga mencapai puluhan juta dari sisi kepemilikan.
Penyediaan rumah rakyat, terutama untuk kaum pekerja selama ini merupakan masalah dunia yang sangat rumit. Di dunia terdapat beberapa skema untuk penyediaan pembiayaan perumahan. Ada dua model tabungan perumahan yang banyak diadopsi di berbagai negara, yakni tabungan kontraktual atau contractual savings dan Housing Provident Fund (HPF).
Tabungan kontraktual merupakan pengembangan dari sistem mutual building society yang pada mulanya dikembangkan di Inggris. Mekanismenya sekelompok individu yang ingin memiliki rumah bergabung dan secara rutin menyimpan sejumlah uang hingga terkumpul cukup uang untuk membangun sebuah rumah yang akan dialokasikan untuk salah satu anggotanya melalui undian. Seluruh anggota kelompok tersebut akan terus menyetorkan uang hingga seluruh anggotanya telah memperoleh rumah.
Sedangkan sistem HPF muncul sebagai respons atas masalah yang timbul dalam perekonomian yang memiliki tingkat inflasi tinggi dan belum memiliki pasar modal yang berkembang. Situasi ini menyebabkan rendahnya animo masyarakat untuk menabung sehingga pada akhirnya akan menghambat kegiatan-kegiatan yang memerlukan pendanaan jangka panjang. Sistem ini digunakan di Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan India.
HPF merupakan institusi keuangan khusus yang mengumpulkan iuran wajib yang dikumpulkan dari pekerja sektor swasta. Iuran yang dikumpulkan merupakan persentase tertentu dari gaji para pekerja, dan biasanya pemberi kerja turut memberikan kontribusi iuran yang besarnya proporsional dengan iuran pekerja. HPF kemudian mengelola iuran tersebut dan melakukan pemupukan dana melalui berbagai instrumen investasi.
*) Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin ( FSP LEM SPSI ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H