Banyak pabrik gula yang tercekik oleh konsumsi energi dan biaya listrik. Dibutuhkan inovasi yang mampu menurunkan biaya listrik dengan optimalisasi sistem produksi. Inovasi diatas sebaiknya menjawab karakter pabrik gula berbasis tebu yang merupakan industri istimewa karena jika dikelola secara baik mampu memenuhi kebutuhan energi dari pengolahan ampas atau limbah produksi.
Dengan mengapliaksikan sistem pembangkitan ganda atau sistem cogenerator. Pada prinsipnya mesin tersebut merupakan rangkaian ketel pembakaran ampas dengan mesin atau turbin uap.Â
Lalu energi potensial uap dari ketel dimanfaatkan untuk penggerak peralatan atau pembangkit listrik dan dihasilkan energi uap bekas yang digunakan untuk proses pemanasan, penguapan, dan kristalisasi. Penerapan sistem cogenerator terkait industri berbasis tebu bisa jadi akan berperan dalam menambah pasokan daya listrik nasional.
Pada gilirannya audit gula nasional merupakan salah satu langkah untuk peningkatan daya saing industri gula nasional untuk menghadapi perdagangan bebas. Selama ini beberapa pihak selalu menekankan beberapa indikator daya saing pabrik gula semata-mata berdasarkan perbandingan biaya produksi gula lokal terhadap biaya produsen terefisien di dunia ditambah biaya untuk mendatangkannya.Â
Ukuran tersebut identik harga pokok produksi (unit cost) maksimum 240 dollar Amerika per ton. Unit cost sebesar itu hanya dapat dicapai apabila pabrik gula berhasil menerapkan efisiensi dan produksi per hektar menjadi sekurang-kurangnya 10 ton. Penguatan kapasitas pabrik gula selama ini belum terintegrasi dan masih jauh dari transformasi pabrik gula menjadi industri berbasis tebu.Â
Strategi industrialisasi berbasis tebu juga menyangkut kehidupan industri dalam negeri yang merekayasa mesin dan peralatan pabrik gula, seperti komponen penggilingan, pemurnian, penguapan, pemasakan,rotasi, perangkat kelistrikan, konveyor, mesin boiler, turbin, hingga instrumen kontrol dan otomatisasi.
Hingga saat ini komponen pabrik gula diatas masih banyak yang di impor dengan biaya yang cukup mahal. Hal inilah yang menyebabkan program restrukturisasi mesin di beberapa pabrik gula berjalan tersendat-sendat. Perlunya sinergi BUMN yang memiliki kapasitas rekayasa industri, seperti PT Pindad, Bharata, BBI, PT Rekin dan lain-lainnya untuk mendesain dan memproduksi komponen pabrik gula yang cocok dengan kondisi saat ini.Â
Selain masalah teknologi produksi, pabrik gula sebaiknya segera melakukan restrukturisasi organisasi. Restrukturisasi bisa saja dengan jalan merger beberapa pabrik gula BUMN yang letaknya berdekatan sehingga sistem produksinya bisa lebih efektif. Fakta menunjukkan bahwa ada kabupaten yang memiliki lebih dari satu pabrik gula berkapasitas di bawah 2.000 TTH yang kondisinya dalam keadaan kritis.
Namun langkah merger tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhitungkan aspek ketenagakerjaan dan tidak menciutkan lapangan kerja rakyat terkait pabrik gula. Strategi industrialisasi berbasis tebu juga harus mendorong usaha petani tebu untuk mendirikan pabrik gula mini. Sebaiknya ada bantuan permodalan dan teknologi bagi gapoktan tebu yang bermaksud mendirikan pabrik gula mini.Â
Pemerintah harus bisa memberikan solusi kepada gapoktan tebu terkait seluk beluk pabrik gula mini, yakni pabrik gula yang berkapasitas kurang dari 250 TTH. Dengan demikian gapoktan tebu bisa menguasai proses produksi dan teknologi pabrik gula mini seperti ruang penggilingan, alat pemurnian, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan pengeringan. Penguasaan Gapoktan tebu diatas pada gilirannya akan membuka lapangan kerja yang lebih luas di pedesaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H