Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jika Perusahaan Terancam Pailit, Bagaimana Peran Serikat Pekerja?

13 Januari 2024   15:46 Diperbarui: 18 Januari 2024   05:51 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengumuman kepailitan perusahaan (Foto: KOMPAS.com)

Pailit alias bangkrut bisa dibilang seperti hantu di siang bolong bagi kaum pekerja. Teramat pilu jika karyawan mendengar perusahaan yang menjadi sumur kehidupannya dinyatakan pailit. Pekerja muda harus siap mental menerima kenyataan jika perusahaan terancam pailit.

Kondisi dunia yang diwarnai dengan disrupsi teknologi dan krisis global menyebabkan perusahaan apapun bisa terancam bangkrut. Kepailitan terus mengintip, tidak peduli perusahaan itu milik siapa.

Bahkan perusahaan BUMN saja. Yakni PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) dinyatakan pailit dan hingga kini hak-hak karyawan masih bermasalah. Perjuangan serikat pekerja dalam mengawal kepailitan tersebut patut diacungi jempol. Perjuangan panjang yang amat melelahkan dan menguras emosi.

Sangat fatal jika di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja. Kondisinya tentu sang pekerja dikeluarkan begitu saja tanpa hak-hak yang semestinya. Jika terjadi pailit pekerja akan ditinggal begitu saja oleh manajemen perusahaan.

Pekerja berserikat dalam wadah Serikat Pekerja (SP) salah satu fungsinya adalah memperjuangkan hak karyawan jika perusahaan terancam pailit. Meskipun ada ketentuan yang mengatur proses kepailitan tetapi belum ada rumusan yang secara jelas mengatur posisi yang menguntungkan pekerja yang perusahaannya dinyatakan pailit. Perlu mitigasi ketenagakerjaan terkait dengan perkara kepailitan yang bisa jadi pada tahun 2024 meningkat.

PKPU PT MNA di Pengadilan Negeri Surabaya (Foto: KOMPAS.com)
PKPU PT MNA di Pengadilan Negeri Surabaya (Foto: KOMPAS.com)

Permohonan PKPU

Proses kepailitan pada umumnya adalah proses yang berjalan panjang dan melelahkan lahir dan batin. Di satu sisi akan ada banyak pihak yang terlibat dalam proses ini, karena biasanya pihak debitur/perusahaan yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari pada satu kreditor dan belum tentu harta pailit mencukupi untuk membayar utang-utang tersebut. Masing-masing kreditur akan berusaha secepat-cepatnya mendapatkan pembayaran setinggi-tingginya atas piutang mereka masing-masing.

Meskipun tren perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sepanjang Januari hingga awal Desember 2022 tercatat menurun. Namun situasi perekonomian global yang tidak menentu berpotensi banyak perusahaan yang terancam pailit.

Mengutip data sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari lima Pengadilan Niaga, yakni Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, dan Pengadilan Niaga Makassar tercatat pada Januari hingga 7 Desember 2021, terdapat 684 perkara PKPU dan 140 perkara kepailitan.

Sedangkan pada periode yang sama pada 2022 terdapat 520 perkara PKPU dan 100 perkara kepailitan. Pun sepanjang Januari-November 2023 jumlah perkara PKPU yang masuk di lima pengadilan niaga bertambah 110 perkara dari tahun sebelumnya di periode yang sama.

Jika diteliti lebih jauh, banyak permohonan PKPU maupun pailit yang diajukan oleh kreditur, bukan dari debitur yang mengajukan restrukturisasi secara sukarela. Artinya memang semakin banyak perusahaan kesulitan keuangan. Banyaknya perkara kepailitan juga menunjukkan bahwa pelaku usaha makin sadar untuk menggunakan jalur hukum dalam restrukturisasi utang-utang debiturnya.

Perkara perdata niaga ini lebih efisien dibandingkan perdata biasa yang jika tak terima putusan para pihak bisa banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Misalnya permohonan PKPU harus putus 20 hari, kalau dikabulkan debitur harus siapkan proposal restrukturisasi, jika ditolak krediturnya konsekuensinya pailit.

Putusan pailit memerlukan mitigasi sebagai upaya untuk memperkuat posisi karyawan. Keputusan pailit cenderung menempatkan kepentingan atau hak normatif pekerjanya diposisi tidak menguntungkan. Pada prinsipnya kepailitan merupakan putusan Pengadilan Niaga yang meletakkan seluruh harta dari seorang debitur pailit dalam status sita umum atau public attachment. Untuk kemudian oleh kurator, yakni pihak yang diangkat untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut, akan dijual dan hasilnya akan dibagikan kepada seluruh kreditur berdasarkan dari masing-masing tingkatan hak yang dimilikinya.

Pengumuman kepailitan perusahaan (Foto: KOMPAS.com)
Pengumuman kepailitan perusahaan (Foto: KOMPAS.com)

Senjata Pekerja Hadapi Kepailitan

Kepailitan usaha dan industri di masa mendatang akan terus terjadi dan membutuhkan antisipasi. Hal itu penting karena di negara-negara maju yang memiliki sistem dan jaminan ketenagakerjaan yang baik saja jika terjadi kepailitan maka hak pekerja sering terkalahkan.

Masalah kepailitan di Indonesia acap kali menjauh dari esensinya. Pengertian Kepailitan dalam UU No. 37 Tahun 2004, pasal 1 ayat (1) adalah: sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Dalam konteks UU Kepailitan, ada beberapa jenis tingkatan hak kreditur yang dikenal. Kreditur yang memegang jaminan kebendaan, yaitu; jaminan berupa hak tanggungan, gadai dan fidusia, telah diakui secara tegas sebagai kreditur yang mempunyai hak preferensi eksklusif terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya.

Oleh karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan kreditur separatis atau secured creditor yang mempunyai hak eksekusi langsung terhadap jaminan kebendaan yang diletakkan oleh debitur kepadanya untuk pelunasan piutang terhadap debitur tersebut. Dilain pihak, aspek hak pekerja dalam posisi yang lemah.

Namun demikian, masih ada senjata bagi pihak pekerja untuk menerobos kondisi kepailitan, yakni "hak istimewa" yang dimiliki oleh pekerja berdasarkan pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Namun dalam prakteknya, dari kasus-kasus kepailitan yang terjadi di negeri ini "hak istimewa" tersebut sering terkalahkan. Oleh sebab itu pentingnya amandemen atau revisi UU terutama untuk pasal-pasal yang terkait dengan hak-hak pekerja jika terjadi kepailitan.

Skema kepailitan (istimewa )
Skema kepailitan (istimewa )

Apalagi selama ini pihak kurator sering memutuskan bahwa pemberian hak untuk didahulukan seperti yang diatur dalam pasal 9 ayat 4 UU Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditur separatis. Sebab, pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata juga telah secara tegas juga mengatur sebagai berikut:

Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana ditentukan oleh undang-undang sebaliknya.

Jelas bahwa hak istimewa yang diatur dalam pasal 9 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa hak buruh lebih tinggi dari hak separatis. Artinya bahwa hak istimewa dari buruh adalah untuk mendapatkan pembayaran dari harta-harta debitur pailit yang belum dijaminkan.

Fakta menunjukkan bahwa harta yang belum dijaminkan sangat kecil bahkan tidak ada. Dengan demikian pihak pekerja lewat serikat pekerja harus terus mencari upaya hukum dan politik.

Meski begitu ada beberapa kondisi di mana pekerja/buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya, seperti kondisi pertama ketika tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak maka dalam.kondisi ini pekerja/buruh tidak akan mendapatkan apa-apa.

Kondisi kedua ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditur, apabila nilai tagihan kreditor melampaui nilai-nilai dari benda yang dieksekusi maka otomatis tidak ada sisa dari harta pailit, namun apabila nilai eksekusi dapat menutupi piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya dapat dibagi, tentu saja upah pekerja/buruh ada di bawah biaya-biaya perkara dan tagihan pajak.

Rumah LEM, 13 Januari 2024

Catatan Arif Minardi
Ketum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun