Jangan Rabun Melihat Realitas Kemiskinan, Antara Aniesnomics, Ganjarnomics dan PrabowonomicsÂ
Publik menunggu debat capres dan cawapres yang bertarung dalam Pemilu 2024 terkait dengan masalah realitas kemiskinan. Publik ingin mengetahui pemikiran dan solusi dari para capres dan cawapres menghadapi masalah kemiskinan tanpa "tedeng aling-aling" ( apa adanya ). Yakni melihat kemiskinan dengan kacamata kejujuran dan dengan ukuran yang logis. Jangan lagi penguasa ibarat menderita rabun dekat dalam melihat masalah kemiskinan. Bahkan dengan dalih yang kurang masuk akal angka kemiskinan dimanipulasi dengan berbagai cara.
Perlu terobosan para capres terkait dengan paham dan strategi mengatasi kemiskinan. Publik ingin mendapat gambaran tentang haluan atau konsepsi ekonomi dari para Capres untuk mengatasi kemiskinan. Salah satu haluan yang mulai tampak bentuknya adalah paham dan strategi itu dengan tajuk Aniesnomics dan Ganjarnomics. Aniesnomics berpangkal dari gagasan kesemakmuran berbagai aspek sosial dan ekonomi bangsa Indonesia. Kesemakmuran yang berbasis demokratisasi sumber daya merupakan koreksi dan perbaikan dari kebijakan pembangunan rezim sebelumnya. Sedangkan Ganjarnmomics bersumber kepada pemberdayaan kaum Marhaen secara tulus dan totalitas. Oleh sebab itu Ganjar dalam tahapan pemilu kali ini dengan cara menghabiskan malamnya dengan cara bermalam di rumah-rumah penduduk. Untuk merasakan langsung dan melihat realitas tingkat kesejahteraan rakyat.
Sedangkan Prabowonomics masih menekankaan pentingnya program Sinterklas dengana cara ingin mewujudkan makan siang gratis dan membanjiri rakyat dengan susu gratis.
Yang otentik dari Aniesnomics salah satunya adalah menolak kebijakan pemberian subsidi mobil listrik kepada orang-orang kaya. Mestinya subsidi itu diberikan kepada kendaraan listrik yang digunakan untuk transportasi massal. Masalah subsidi pada saat ini seringkali tidak tepat sasaran. Anies sebagai seorang ekonom lulusan UGM tentu saja memahami tentang praktik-praktik subsidi sesuai dengan perkembangan zaman.
Strategi Mewujudkan Keadilan Sosial
Pemilu 2024 diharapkan bisa menjaring pemimpin otentik. Menurut Profesor Bill George dari Harvard kepemimpinan otentik terbentuk oleh dialektika dan perjuangan yang berbasis lokalitas. Tidak ada peta jalan pintas untuk menuju keadilan sosial. Namun visi dan kecerdasan pemimpin nasional ditambah dengan daya kreativitas dan kekuatan inovasi segenap bangsa secara alamiah bisa mempercepat terwujudnya keadilan sosial. Sila Kelima Pancasila adalah bagian paling penting dari filosofi kenegaraan Indonesia. Mengutip potongan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Yang dengan tegas mengatakan Indonesia Merdeka tidak hanya mengejar demokrasi politik saja, tetapi juga harus mewujudkan keadilan sosial.
Keadilan sosial adalah konsepsi atau teori yang sudah sangat tua tetapi terus berkembang sesuai dengan semangat zaman. Aniesnomics dan Ganjarnomics sejalan dengan konsep keadilan sosial model Soekarno. Hal tersebut pernah dia ditegaskan dalam sebuah pidato kuliah umum tentang Pancasila yang diselenggarakan Liga Pancasila di Istana Negara. Menurutnya arti dari kata keadilan sosial adalah suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de l'homme par l'homme.
Salah satu sisi wajah keadilan sosial di Indonesia kini tergambar dalam usaha pemerintah untuk mengatur mekanisme subsidi berbagai barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup rakyat luas. Hingga kini pemerintah masih kesulitan menempatkan proporsi dan reposisi kebijakan ekonomi yang bernama subsidi. Bahkan ada beberapa sisi kebijakan ekonomi pemerintah yang salah sasaran dalam hal subsidi. Misalnya subsidi energi, antara lain subsidi elpiji dan subsidi pembelian mobil listrik.
Dalam kebijakan yang lain pemerintah justru memberikan banyak insentif lewat bermacam paket ekonomi. Sebagian besar paket terlihat mengistimewakan para investor yang notabene adalah para kapitalis. Bermacam insentif itu pada hakikatnya adalah bentuk subsidi.Arah kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah harusnya searah dengan esensi nilai keadilan sosial yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Dimana paham keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya adalah sosialisme yang mampu mengendalikan kapitalisme tanpa menghancurkannya.
Realitas Kemiskinan
Dari tahun 1970 hingga 1996 kemiskinan turun dari 60 % menjadi 11,30 % .Tahun 1997 sampai dengan 1999 ada gejolak dan transisi ke masa reformasi, sehingga kemiskinan naik dari 11,30 % menjadi 23,43 %.
Merujuk kepada data per 10 tahun, dari tahun 1970 hingga 1999 menunjukan fluktuasi data.
Pada tahun 1996 sebenarnya tingkat kemiskinan pernah tersisa 11,3 %, artinya apabila tidak ada gejolak pada tahun 1997-1998 tingkat kemiskinan relatif hampir sama dengan saat ini (tahun 2019) hanya selisih 1,88 %, hal ini berarti penanggulangan kemiskinan mundur 20 tahun.
Penurunan angka kemiskinan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1970 sampai dengan 1980, yaitu 31,4 % atau rata-rata pertahun 3,14 %.
Data kemiskinan tiap masa jabatan presiden RI :
1. Periode Presiden Soeharto, perhitungan data dari tahun 1970--1996, kemiskinan turun dari 60 % menjadi 17,47 % artinya turun 42,53 % atau rata-rata turun 1,64 % pertahun.
2. Periode Presiden BJ.Habibie tidak dihitung karena masa pemerintahanya singkat.
3. Periode Presiden Abdurrahman Wahid / Megawati , perhitungan data tahun 2000--2004 turun dari 19,14 % menjadi 16,66 % artinya turun 2,48 % atau rata-rata per tahun turun 0,5 %.
4. Periode pertama Presiden SBY dari tahun 2005--2009, kemiskinan turun 1,82 % atau rata-rata 0,36 % per tahun. Periode kedua Presiden SBY dari tahun 2010--2014 kemiskinan turun 2,37 % atau rata-rata 0,47 % pertahun.
5. Periode pertama Presiden Jokowi dari tahun 2015--2019 kemiskinan turun 1,80 % atau rata-rata 0,36 per tahun.
Data 20 tahun terakhir dari tahun 2000 sampai dengan 2019 persentase kemiskinan dari 19,14 % menjadi 9,42 % artinya selama 20 tahun kemiskinan turun 9,72 %, sehingga rata-rata penurunan kemiskinan tiap tahunnya hanya 0,49 %.
Implementasi UU Nomor 23 Tahun 2011 untuk Mengentaskan Kemiskinan hingga kini masih belum optimal. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU tersebut mendefinisikan kemiskinan. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Pasal 1 ayat (2) Perintah Pemenuhan Kebutuhan Dasar, Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, dan ayat (2) menjelaskan kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Pasal 6 Sasaran Penanganan Fakir Miskin adalah, perorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat.
buruh yang mestinya merupakan sasaran penanganan fakir miskin ironisnya justru kurang atau sama sekali tidak tersentuh program pengentasan kemiskinan dan program jaring pengaman sosial lainnya.
Nasib buruh sejak berstatus lajang dengan masa kerja nol tahun hingga kepalanya dipenuhi dengan uban tetap saja terpuruk dan menjadi tumbal pertumbuhan ekonomi.
Sederet dusta pembangunan sudah sangat akrab di mata dan telinga buruh. Berbagai program pembangunan yang bersifat populis bahkan jarang sekali menyentuh kehidupan kaum buruh. Seperti program beras miskin atau raskin. Begitu juga dengan program populis lainnya seperti program keluarga harapan (PKM) dan program kredit usaha rakyat (KUR).
Selain itu juga program-program seperti transportasi massal dan program lain yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK).Mestinya pemerintah pusat dan daerah tidak lagi memunculkan dusta pembangunan terhadap kaum buruh. Pemerintah harusnya berpikir keras untuk meringankan beban kaum buruh agar upah buruh tidak semakin tergerus habis untuk kebutuhan kesehatan, transportasi, biaya perumahan dan biaya pendidikan.
Selama ini ada dana alokasi khusus sektor perhubungan kepada pemerintah daerah. Namun hal itu peruntukannya tidak efektif dan salah sasaran. Sebaiknya alokasi semacam itu diberikan untuk pelayanan transportasi kaum buruh. Oleh karena itu pelayanan angkutan buruh perlu segera dipadukan dengan menyempurnakan pelayanan transportasi massal. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 158 ayat 1 UU 22/2009 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan massal berbasis jalan.
Untuk mewujudkan stimulus transportasi buruh adalah mengalihkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk transportasi perkotaan dalam konteks sistem transit untuk membantu melayani kaum buruh secara gratis. Selama ini kaum buruh cukup menderita karena tinggal berdesak-desakan dalam kamar kontrakan yang kumuh selepas mereka bekerja keras. Hingga kini mereka sulit mendapatkan akses untuk mendapatkan rumah yang layak huni.
Melihat kondisi ini perlu pengadaan rumah bagi para pekerja dalam jumlah yang cukup dengan skema pembiayaan yang bisa digapai. Harapan para pekerja berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah harus segera diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
*) Arif Minardi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Anggota LKS Tripartit Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H