Idealnya hubungan, hubungan apapun, adalah hubungan yang baik baik saja. Tidak harus sempurna. Tidak harus selalu senang semua. Tapi minimal baik-baik saja. Jadi, baik-baik saja sebenarnya bukanlah idealnya hubungan, tapi prasyarat minimal hubungan itu seperti apa.
Hubungan yang baik-baik saja antara negara dengan rakyat adalah hubungan yang saling tahu peran, tugas, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing. Selain tahu, tentunya juga melaksanakan dan menjalankan pengetahuannya tersebut dengan sebaiknya.
Siapa rakyat? Siapa negara?
Rakyat adalah bangsa. Adalah orang-orang yang mendiami negara. Orang-orang yang tidak memegang kekuasaan suatu negara. Adalah mereka yang harus patuh pada aturan yang dibikin penguasa dengan mengatasnamakan negara.
Dan negara adalah mereka yang membuat aturan dan kebijakan untuk ditaati oleh semua elemen negara. Adalah mereka yang berkuasa.
Lalu apakah hubungannya sesakit itu sampai harus disehatkan?
Pertanyaan yang sederhana dengan jawaban yang seharusnya tidak sederhana. Kalau dikatakan sedang sakit, faktanya banyak  yang baik-baik saja. Sebaliknya, ketika dikatakan sehat, faktanya memang banyak yang tidak baik-baik saja.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kebijakan atau perundang-undangan dinilai banyak yang tidak berpihak kepada kepentingan lebih banyak rakyak. Sebut saja omnibus law yang dinilai tidak mampu lebih "melindungi" kelas pekerja. Alih-alih berpihak kepada rakyat banyak, justru lebih berpihak kepada pengusaha.
Atas nama kemudahan investasi, atas nama pembangunan, hak-hak rakyat diabaikan. Kerusakan lingkungan yang pada akhirnya lebih dirasakan dampak negatifnya oleh mereka yang tinggal di dekat-dekat lokasi pembangunan. Kejadian-kejadian yang seperti tidak pernah dipikirkan dengan matang sehingga hanya menjadi permsalahan yang berulang dan berpindah. Kalau kejadiannya tidak berulang, lokasinya yang  hanya berpindah.
Hukum dan atau penegak hukum, yang mewakili negara juga tebang pilih kepada rakyatnya. Mereka yang di lingkungan penguasa, relatif aman dari ancama hukum. Atau setidaknya diperingan dalam hukuman. Kalau rakyat biasa, dihukum sesuai hukum yang berlaku, katanya. Itulah kenapa kemudian banyak yang tidak percaya negara.
Kritik-kritik kepada negara, dibungkam atas nama dilarangnya ujaran kebencian. Ya, terkadang orang-orang mengkritik karena memang karena kecintaannya pada negara. Karena kepeduliannya terhadap nasib bangsa. Bukan karena kebencian pada penguasa. Banyak kritik berlandaskan jernihnya gagasan bukan sekadar ajakan atau ujaran kebencian.
Negara mungkin memang tidak bisa mengakomodir semua kepentingan. Tapi juga harus diakui kalau peran negara untuk rakyatnya juga belum optimal.
Lalu bagaimana bisa rakyat menyakiti negara?
Tentu saja bisa. Yang paling ketara adalah saat ada masyarakat yang super negative subyektif dalam menilai kinerja pemerintahan (negara). Semua kebijakan dinilai merugikan negara dan masyarakat sekaligus menggaung-gaungkan kebencian pada penguasa. Yang lebih parah, kebenciannya juga disebarluaskan.
Menyehatkan hubungan negara dengan rakyatnya secara ideologis tentu saja sederhana. Tinggal melaksanakan peran, tugas, dan tanggung jawab dengan sebaiknya. Praktiknya pun sebenarnya juga sederhana. Tinggal kita semua mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan dan keuntungan pribadi atau golongan.
Sederhana bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H