Bekerja sudah semestinya dilakukan secara profesional. Hal-hal yang bersifat personal apalagi menyangkut perasaan sudah seyogyanya jauh-jauh dibuang. Hanya simpati dan empati perasaan yang boleh dilibatkan. Selebihnya, hanya akan memunculkan kekacauan demi kekacauan.
Senin ini kantor sepi. Banyak yang mengajukan cuti berkenaan dengan esok hari yang sudah libur kembali. Sepi dibandingkan biasanya tetapi masih tetap ramai jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain yang jauh lebih kecil.
Ada pembicaraan serius di ruangan berukuran 3 x 3 m dengan pendingin udara di dalamnya. Dari luar, nampak gurat wajah Margono, Sang  Manager yang tengah berbicara dengan semangatnya. Seharunya ruang berpendingin dengan settingan suhu berapapun tetap bisa menjadi hangat karena semangatnya. Sebaliknya, Tantri, Asisten Margono tampak dengan ekspresi datar. Dan dengan settingan suhu berapapun akan kalah dengan sikap dingin Tantri kepada Margono.
"Jadi Dek, orang-orang kantor telah tahu kedekatan kita. Dan mereka pun sangat setuju dengan hubungan kita. Tidakkah kau selalu dengar dari anak-anak bahwa kita ini memang pasangan yang serasi?"
Margono memang selalu memanggil Tantri dengan sebutan Dek. Sebutan yang baginya adalah juga panggilan sayang. Walaupun mungkin tidak bagi Tantri.
"Maaf Mas, ini sedang jam kerja. Kurang pantas ketika kita berbicara masalah personal di waktu kerja. Bukankah Mas yang selalu bilang untuk selalu efisien waktu. Untuk selalu memanfaatkan waktu bekerja dengan sebaik mungkin?", Jawab Tantri dengan datar tanpa memunculkan kecurigaan Margono kalau dia sedang defensif. Bertahan sebertahan-bertahannya.
"Selalu itu jawabmu Dek. Setiap aku ajak keluar di luar jam kerja, kau selalu saja banyak alasan untuk menolak"
"Maaf Mas, tapi memang aku capek setiap sepulang kerja. Aku hanya ingin istirahat di waktu sengganggku, Mas"
"Jadi bagaimana Dek? Maukah dirimu menerima cintaku?"
"Maaf Mas, saya tidak bisa. Sudah ada Tarno di hidupku. Aku sayang padanya. Dan dia juga menyayangiku lebih dari siapapun mampu"
"Aku tahu. Tapi untuk jenjang yang lebih serius, aku yang lebih pantas buatmu. Dirimu pantas berbahagia dengan mendapatkan Pria yang mapan dan punya segalanya. Aku lah orang itu. Dan bukannya Tarno. Aku lebih mapan. Dan pekerjaanmu pun akan terjamin ketika dirimu bersamaku. Lagian aku bisa membuat Tarno dikeluarkan dari pekerjaannya. Aku sangat kenal baik pimpinannya"
"Mas mengancam saya? Maaf Mas, keputusan saya sudah bulat. Aku tetap memilih Tarno. Memilih Tarno mungkin aku hanya akan kehilangan pekerjaanku dan pekerjaannya.
Tapi memilih Mas, aku akan kehilangan masa depanku. Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi soal pekerjaan, saya pamit Pak. Masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan", Tantri keluar dengan tenang dan tetap sopan. Seolah tidak ada masalah serius yang tampil dari raut mukanya.
Tantri dan Tarno masih bekerja dengan bahagia di tempat kerja seperti sebelumnya. Justru sekarang Margono yang tidak tampak di ruangannya. Banyak pertanyaan mencuat terkait hilangnya Margono dengan tiba-tiba. Sampai pada akhirnya General Manager datang bersama dengan seorang lalaki yang seumuran sekitar lima tahun lebih tua dari Margono.
"Selamat siang Bapak-Bapak dan Ibuk-Ibuk sekalan. Perkenalkan, beliau adalah Pak Petrus. Beliau adalah manager kalian. Beliau menggantikan Margono yang telah resign dua hari yang lalu. Selamat siang dan selamat bekerja sama" Sang General Manager kemudian memberi kesempatan kepada manager baru untuk memperkenalkan diri kepada anak buahnya yang baru.