Jika sedari awal fokus pada esensi, urusan nomor urut ini semestinya kita tak terlalu peduli.
Namun fakta menunjukkan hal yang berbeda. Nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi topik yang hangat dan ramai (kalau gak mau disebut gaduh). Nomor urut satu untuk Jokowi-Ma'Ruf Amin bagi pendukungnya direpresentasikan sebagai jabatan Presiden untuk Jokowi masih akan berlaku sekali periode lagi. Sebaliknya, bagi kubu lawan nomor urut satu tersebut adalah representasi dari periode kepemimpinan Jokowi yang hanya satu periode. Bagi pendukung Jokowi juga, nomor urut dua untuk kubu Prabowo-Sandiga adalah representasi kegagalan Prabowo menjadi Presiden untuk kali kedua secara berturut-turut.
Nomor urut bukanlah grid balapan dimana nomor depan memiliki peluang lebih besar untuk menang. Nomor urut disini adalah nomor untuk membedakan antara satu pasang dengan pasang yang lain, yang sekali lagi, ketika kita fokus pada esensi, maka nomor tersebut amat gampang untuk kita abai.
Tapi kita semua ini suka dan terlalu peduli pada simbol-simbol, pada gimmik, pada hal yang diikilankan. Angka bagi sebagian besar dari kita membawa makna di belakangnya. Angka adalah tolok ukur keberungungan yang lebih penting dibandingkan siapa yang memiliki angka tersebut. Menjadi tidak mengherankan ketika orang-orang menjadi lebih tertarik dengan nomor urut, kepada siapa pemilik nomor urut, dibandingkan dengan program-program yang akan dijalankan ketika menjabat kelak.
Anga-angka di nomor urut juga mendapat perhatian istimewa karena darinya visual-visual menarik ditampilkan. Tagline-tagline yang berkaitan dengan didengungkan. Yel-yel pun sering diperdengarkan. Dan tidak mengherankan lagi kalau segian dari kita kemudian menjadi sangat hapal dan bahkan terpengaruh oleh visual, tagline, dan yel-yel yang saban hari masuk ke indra dan pikiran kita.
Kita, terutama pemilih menjadi hanya seperti korban iklan. Paparan audio visual dari nomor urut yang didapatkan lebih ditekankan dibandingkan rencana program kerja, sesuatu yang seharusnya lebih dikedepankan.
Tiada yang salah memang. Strategi pemenangan bisa ditempuh melalui beragam jalan. Bahkan fokus membangun citra dan branding berdasarkan nomor urut yang didapatkan adalah hal yang sangat diperbolehkan. Namun demi kebaikan di masa mendatang, boleh dicoba untuk kembali pada esensi.
Yang dibutuhkan adalah edukasi. Edukasi untuk mengetahui siapa dan apa yang akan dilakukan oleh calon presidennya. Pengetahuan yang membawa pada kesimpulan kepada siapa nantinya pilihan ditetapkan. Kalau dikatakan pemilih kita sudah cerdas dan tidak membutuhkan edukasi, rasanya hal tersebut masih sangat bisa diperdebatkan. Contoh paling kecil adalah masih adanya konvoi-konvoi yang menimbulkan polusi udara dan suara saat kampanye disamping juga amat sangat mengganggu pengendara yang lain. Kecerdasan apa yang mengganggu dan merugikan orang lain?
Dan terlalu peduli pada nomor urut adalah bentuk pengingkaran kepada edukasi. Fokus tersebut menjadikan berpikir hanya dari satu sudut pandang, hanya tahu segala sesuatu dari sisi paling luar, hanya suka didasarkan pada bentuk-bentuk yang ditampilkan. Persis seperti kita menyaksikan atau mendengarkan iklan. Dan kita semua, bisa jadi adalah korbanya.
Boleh dan sangat sah dilakukan sebagai strategi pemenangan. Namun menjadi kurang elegen dan kurang edukatif ketika mengajak memilih presiden adalah sama dengan mengajak membeli produk-produk yang tersebar luas di pasaran.
Soal nomor urut, biarlah ia hanya tetap menjadi nomor urut. Bukan menjadi dasar dan alasan kita untuk memenangkan pasangan capres dan cawapres. Kita baik di posisi juru kampanye atau sebagai pemilih.
Soal nomor urut, tak usahlah kita begitu gaduh.
Soal nomor urut, bisa kita sedikit abai atas naman edukasi.
Soal nomor urut, mari kia semua menyikapinya secara patut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H