Kini air mukanya datar. Tidak tampak rona bahagia seperti dua bulan sebelumnya. Masih ada senyum yang kadangkala tersungging di bibirnya. Tapi sekali lagi, tak tampak terpancar kebahagiaan di senyumnya.
Orang lain menganggap ia terlalu fokus pada permasalahan yang menimpanya. Ia kurang bersyukur dengan yang telah diterimanya.
Gunawan Handoko, Manager Proses di salah satu perusahaan makanan instan terbesar di Indonesia. Atasan saya.
Kesalahan kecilnya membuat General Manager menjatuhkan sanksi kepadanya. Bukan semata sanksi untuk menjatuhkannya. Tetapi sanksi yang sebenarnya memotivasi siapapun untuk tidak teledor dalam pekerjaannya. Khas didikan Sang General Manager yang menganggap anak buahnya seperti anak-anaknya sendiri.
Surat peringatan yang juga diikuti oleh pemotongan gajinya. Potongan 10 persen dari dua puluh juta total gajinya. Potongan yang hanya berlaku tiga bulan lamanya.
Orang lain bilang itu biasa. Tidak perlu dirisaukan sampai hilang bahagia seperti itu. Angka yang diterimanya masih jauh lebih besar daripada enam kali upah minimal regional di propinsi tempat ia bekerja. Toh juga hak dan kepercayaan kepadanya tidak ada yang berkurang dari sebelumnya.
Orang lain bilang ia hanya kurang bersyukur. Kurang bersyukur atas banyaknya beruntung yang ia peroleh. Tapi aku kasihan padanya. Ada rasa iba untuknya. Ada simpati yang mendalam dari hilangnya bahagia dari air mukanya.
***
Hendrianto, tiga puluhan tahun umurnya. Sama seperti Gunawan Handoko. Berat pekerjaannya yang mungkin menyebabkan wajahnya sedikit lebih tua dari umurnya.
Dia bekerja di bengkel las milik tetangganya. Soal penghailan, upahnya enam kali lebih rendah dari Gunawan Handoko.
Jarang senyum tersungging di bibirnya. Namun tak jarang ia tertawa. Tertawa dengan bahagia yang semurninya.