Bhe, Kabupaten gemah ripah loh jinawi di salah satu sudut selatan Negara Satu. Negara yang memang terkenal akan kesuburan tanah dan kekayaan hasil alamnya. Negara yang dengan kekayaan alamnya belum mampu menyejahterakan seluruh penduduknya. Bukan karena potensi itu tidak ada, tetapi karena potensi itu telah lama dikebiri oleh elit-elit penguasanya.
Atas kemurahan Tuhan petani kabupaten Bhe akan memanen padi yang dimulai seminggu kedepan. Kebutuhan air untuk puluhan hektar pertanaman padi murni dicukupi oleh Sang Ilahi. Tidak ada bangunan irigasi sama sekali. Itulah mengapa masyarakat Kabupaten tersebut begitu religius, begitu mudah bersyukur kepada Sang Kuasa.
Secara nasional, telah diumumkan pasokan beras di Negara Satu akan aman sampai beberapa bulan kedepan. Ditambah dengan pasokan yang telah tersimpan di gudang, potensi panen dari Kabupaten Bhe sangat mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Dari sisi petani, yang terbayang adalah harga yang relatif tinggi dari penjualan gebah atau beras nanti. Sebenarnya tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk membayar usaha keras selama total tiga bulan agar tidak menderita rugi.
Dan bayangan hanya tinggal bayangan. Yang diumumkan secara nasional nyatanya tidak seperti yang terjadi di lapangan. Tinggal menunggu beberapa hari menjelang panen, puluhan ribu ton beras berdatangan dari luar Negara Satu. Telah diimpor puluhan ribu ton yang katanya untuk menjaga ketersediaan pasokan.
Petani padi, khususnya di Kabupaten Bhe adalah kelompok sosial kemasyarakatan yang paling tidak percaya. Dan ketidakpercayaan mereka seketika sirna saat truk-truk berisi beras-beras impor telah sampai bahkan ke pasar-pasar tradisional di Kabupaten Bhe. Sebuah pukulan telak akan harapan yang tinggi. Pukulan telak akan bayangan penjualan panen yang tidak menyebabkan rugi.
Kecewa pastinya, namun tidak banyak yang mampu mereka lakukan selain berdoa, berdoa, dan berdoa. Tiada dialog, pemberitahuan, atau verifikasi data sebelumnya hingga tetiba beras impot telah sampai di pasar-pasar di Kabupaten mereka.
***
Pukul sebelas malam saat sebuah bus dari Kabupaten Che melewati hamparan persawahan di Kabupaten Bhe. Hanya ada seoarang supir, seorang kondektur, seorang kenek, dan seorang penumpang yang berada di dalam bus tersebut. Penumpang berpakaian serba hitam dengan kain yang juga berwarna hitam dililitkan di kapalanya.
Tidak sepatah katapun penumpang tersebut ucapkan sepanjang perjalanan. Hingga sampai di hamparan persawahan, dia benturkan cincin akiknya di kaca bus sebagai tanda ingin diturunkan. Bus masih dilajukan mengingat daerah tersebut adalah hamparan persawahan yang tidak ada rumah di sekitarnya. Hingga benturan cincin dengan kaca terdengar untuk kedua kalinya dengan volume  yang lebih keras.
Bus diberhentikan, sang penumpang keluar dari pintu belakang. Dilihat sang sopir dari kaca spion, yang keluar dari pintu bukanlah seorang penumpang, tetapi ribuan tikus yang berlarian ke lahan pertanaman. Diinjak pedal gas keras-keras dan bus pun melaju dengan kencang.
***
Pukul lima pagi saat para petani telah berada di sawah untuk beraktivitas seperti biasanya. Panen padi yang sekiranya tinggal beberapa hari lagi tidak terjadi. Padi-padi di hamparan yang telah menguning rusak dimakan tikus. Puluhan hektar pertanaman padi gagal panen. Puso.
Dan yang terlihat dari semua petani yang gagal panen adalah senyum di bibir yang menarik otot-otot di pipi. Entah senyum sebagai simbol apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H