Saya merasa diri saya akhir-akhir ini mengalami "keanehan" perilaku, bagaimana tidak, sejak Jokowi maju ke pentas perebutan tahta ibukota, sejak itu pula saya melihat ada harapan perubahan signifikan pada bangsa ini. Tubuh ini sepertinya ikhlas dibawa begadang setiap malam hanya untuk menyaksikan perkembangan pilgub DKI. Sebelumnya saya gak tau siapa gubernur DKI yang kemudian secara tidak langsung Jokowi lah yang memperkenalkan Fauzi Bowo, nara, dan ahok kepada saya lewat sihir politiknya. Kaget rasanya pertama kali mendengar gebrakan-gebrakan jokowi di solo, dalam hati saya bertanya, ini orang nyata ya? ternyata masih ada tokoh politik yang seperti itu, mengingatkan saya akan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini.
jika diperhatikan, ketika beliau berbicara, entah itu menyampaikan visi misi, stand up comedy, program kerja, kritik, solusi dan sebagainya itu dengan bahasa-bahasa lapangan yang ringan. Sangat-sangat jarang melihat Jokowi menggunakan bahasa-bahasa akademis ilmiah seperti bahasa nya pengamat, atau bahasa politis seperti Soekarno berpidato. Namun jika dibedah isi pikir nya beliau, saya merasa sosok ini telah membaca banyak sekali buku, yang terpancar dari bicara, perilaku dan kerja nyata nya.  Beliau menyampaikan Gagasan-gagasan nya Soekarno, Hatta, Tan malaka, Al Ghazali, Sunan Kalijaga, Mulla Sadra,  bahkan juga gagasannya Tung Desem Waringin, hingga Max Cavalera namun dengan bahasa yang berbeda ala Jokowi. Sosok ini telah menghipnotis banyak masyarakat Indonesia yang tadi nya apatis pragmatis terhadap perpolitikan menjadi tersadarkan kembali bahwa garuda itu bukan burung perkutut, sang saka itu bukan sandang pembalut, dan Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut ( lah kok malah nyanyi?).
Melihat intrik-intrik politik yang terjadi selama putaran pertama hingga putaran kedua ini, aneh bin ajaib saja cara yang digunakan. mulai dari maen uang, menyebar diskriminasi terhadap agama, suku, hingga fitnah-fitnah murahan yang gak ada relevansi logis nya terhadap layak nggaknya  seseorang untuk memimpin. Bukannya berkreasi program kerja malah menyulut emosi warga, tentu merupakan langkah yang keliru untuk pendewasaan politik negeri ini.
Pilihan yang ada sekarang sebenarnya sangat simpel, mau buat KTP cukup 1 jam jadi dengan tarif sesuai peraturan atau berminggu-minggu via amplop? Mau ngurus perizinan 6 hari atau masih mau 3 bulan selesai via amplop? Mau pendidikan kesehatan gratis yang sudah terlaksana atau pilih yang baru mau melaksanakan? Mau pilih Jakarta ini di create kota yang paling disukai atau  menjadi salah satu kota yang paling dibenci turis?  Mau Jakarta ini jadi salah satu kota terbersih dari korupsi atau nomor satu penyelewangan anggarannya? Mau Jakarta menjadi kota kreatif atau menjadi kota yang manipulatif? Mau Jakarta yang ramah huni atau menjadikan Jakarta ini penuh dengan arogansi? Mau Jakarta ini selalu diayomi Satpol PP ata malah dipentungi Satpol? Mau jakarta ini menjadi agen perubahan untuk daerah-daerah lainnya atau agen kepentingan yang semakin mengalami kebuntuan?
Pilihan ada di tangan pemilih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H