Mohon tunggu...
Arif Maulana
Arif Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Aktif jurusan Hubungan Internasional semester 7 dari Universitas Teknologi Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membingkai Papua : Analisis Pemberitaan Al Jazeera Dalam Konflik Papua

8 Januari 2025   21:37 Diperbarui: 8 Januari 2025   21:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pascapenyerahan diri 10 anggota OPM, aparat Polda Papua berjaga-jaga di kawasan Puncak Jaya. (Liputan6.com/Katharina Janur) 

Konflik Papua telah menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan media internasional dalam beberapa tahun terakhir. Al Jazeera, sebagai salah satu media global terkemuka, secara intens memberikan liputan tentang dinamika yang terjadi di Papua. Pemberitaan tersebut tidak hanya menyajikan fakta-fakta di lapangan, tetapi juga membentuk persepsi publik internasional terhadap situasi yang tengah berlangsung di wilayah paling timur Indonesia ini. Analisis terhadap cara Al Jazeera membingkai isu Papua menjadi penting untuk memahami bagaimana media internasional memandang dan menyajikan konflik tersebut kepada audiensnya.

Al Jazeera merupakan jaringan media yang berbasis di Qatar dan telah menjadi salah satu pemain utama dalam lanskap media global. Didirikan pada tahun 1996, Al Jazeera telah membangun reputasi sebagai media yang kerap mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, konflik, dan politik internasional. Media ini dikenal dengan pendekatan jurnalistiknya yang berani dan seringkali mengambil sudut pandang yang berbeda dari media mainstream Barat. Dalam konteks pemberitaan Papua, Al Jazeera telah secara konsisten memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, pembangunan, dan aspirasi politik masyarakat Papua.

Dalam pemberitaannya tentang Papua, Al Jazeera mengangkat beberapa isu utama yang menjadi fokus liputan dengan pendekatan yang mendalam dan sistematis. Pertama, isu hak asasi manusia yang mencakup dugaan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan, di mana Al Jazeera secara detail mengulas berbagai insiden kekerasan, penangkapan aktivis, dan pembatasan kebebasan berkumpul. Media ini juga secara khusus menyoroti pembatasan akses media internasional ke Papua, yang seringkali diinterpretasikan sebagai upaya membatasi arus informasi dari wilayah tersebut. Kedua, Al Jazeera memberikan perhatian besar pada isu pembangunan ekonomi dan kesenjangan sosial, dengan menghadirkan data-data statistik dan testimoni masyarakat lokal yang menggambarkan paradoks antara kekayaan sumber daya alam Papua, terutama dari operasi tambang Freeport, dengan tingkat kemiskinan dan kualitas layanan publik yang masih tertinggal. Ketiga, dalam mengulas isu politik dan aspirasi kemerdekaan, Al Jazeera secara konsisten mengaitkan gerakan separatisme dengan narasi historis tentang proses integrasi Papua ke Indonesia, termasuk kontroversi seputar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Media ini juga memberikan ruang yang signifikan bagi suara-suara aktivis pro-kemerdekaan dan tokoh-tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Analisis framing menunjukkan pola yang konsisten dalam cara Al Jazeera membingkai konflik Papua. Media ini menggunakan kerangka perjuangan hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri sebagai lensa utama dalam memahami dinamika di Papua. Penggunaan istilah-istilah seperti ”occupied territory” dan "independence struggle" tidak hanya mencerminkan pilihan bahasa yang sarat makna politik, tetapi juga mengkonstruksi narasi tentang Papua sebagai wilayah yang berada dalam kondisi pendudukan. Al Jazeera juga secara sistematis membangun narasi ketidakadilan struktural melalui pemberitaan yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan di Papua - dari kekerasan aparat hingga kemiskinan - dalam satu rangkaian sebab-akibat yang bermuara pada kebijakan pemerintah pusat. Dalam liputan-liputannya, media ini sering menggunakan teknik storytelling yang menempatkan masyarakat Papua sebagai protagonis yang menghadapi berbagai bentuk opresi sistemik. Pemberitaan Al Jazeera juga menunjukkan kecenderungan untuk menghadirkan suara-suara kritis secara lebih menonjol, terutama dari kalangan aktivis HAM internasional, akademisi, dan tokoh-tokoh pro-kemerdekaan, sementara perspektif pemerintah Indonesia dan kelompok pro-NKRI seringkali diposisikan sebagai bantahan atau tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut.

Dalam konflik Papua, Al Jazeera tampaknya mengambil posisi yang cenderung simpatik terhadap aspirasi masyarakat Papua. Hal ini terlihat dari pemilihan narasumber yang lebih banyak memberikan ruang bagi aktivis pro-kemerdekaan dan tokoh masyarakat Papua, hal ini dibuktikan dari salah satu artikel dari Al Jazeera yang menyinggung tentang Pemerintah pusat lebih fokus pada penanganan dampak konflik dibandingkan penyebab konflik. Kebijakan pemberantasan pemberontakan – baik program pembangunan, otonomi khusus untuk wilayah tersebut atau operasi militer menyeluruh – ditujukan untuk mengurangi ketidakpuasan masyarakat adat dan serangan kekerasan dari TPNPB (OPM) ke tingkat yang dapat dikendalikan. Belum adanya proses politik yang tulus antara pemerintah pusat, Masyarakat Adat Papua, dan kelompok nasionalis di Papua Barat (Wangge, 2023). sementara perspektif pemerintah Indonesia seringkali diposisikan sebagai tanggapan atau bantahan. Meski demikian, Al Jazeera tetap berupaya menampilkan standar jurnalistik profesional dengan mencantumkan pernyataan resmi pemerintah Indonesia dan memberikan konteks historis dalam pemberitaannya.

Dapat disimpulkan bahwa pemberitaan Al Jazeera tentang Papua mencerminkan kompleksitas media global dalam meliput konflik internal suatu negara. Framing yang dilakukan Al Jazeera cenderung menempatkan isu Papua dalam konteks perjuangan hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri, yang berbeda dengan narasi yang umumnya dibangun oleh media nasional Indonesia. Hal ini menunjukkan bagaimana media internasional dapat mempengaruhi persepsi global terhadap suatu konflik melalui pemilihan sudut pandang dan cara penyajian berita.

Seperti yang telah dijelaskan dalam salah satu artikel dari Al Jazeera yang menandakan bahwa Pasukan keamanan Indonesia selama bertahun-tahun dirundung tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas terhadap penduduk etnis Melanesia di Papua, termasuk pembunuhan di luar proses hukum terhadap aktivis dan pengunjuk rasa damai dalam upaya mereka untuk menghancurkan kelompok pemberontak (Al Jazeera, 2021). Analisis ini juga menggarisbawahi pentingnya pemahaman kritis terhadap peran media dalam membentuk opini publik tentang konflik Papua.

Referensi :
Al Jazeera. (2021, April 26). Indonesia: Papua intelligence chief killed in rebel attack. Retrieved from Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/news/2021/4/26/papua-intelligence-chief-killed-in-indonesia-rebel-attack
Wangge, H. (2023, Maret 14). Why Indonesia fails to address the West Papua conflict. Retrieved from Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/opinions/2023/3/14/why-indonesia-is-losing-the-west-papua-conflict

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun