Laut tidak pernah bercerita
Indonesia dan apa yang dimiliki nya, sebuah narasi membatasi ingatan ku tepat ditahun 2012. Dimana ada setiap kegaduhan dipelipis mata ku, sinar matahari membakar semua tepat diubun-ubun kepala, menggosongkan kulit dan memutar semua isi perut. Tak ada yang bisa ku simpan kala semua keletihan itu terjadi semua keinginan untuk meninggalkan lautan Indonesia.Â
Ada beberapa hal yang membuat kita begitu letih menjadi indonesia atau sebagian orang justru menjauh dari kata warganegaranya bahkan ketidak tahuan menyelimuti pengetahuan mengapa kita indonesia.
Disekolah sedikitnya kita begitu dibuat bersemangat untuk menjadi indonesia, guru mengatakan bahwa indonesia adalah kaya, atau saat mencari dimana kata kaya itu disimpan dalam indonesia. Jawaban sederhana dan salah satu penyimpanannya adalah lautan. Itu cukup memuaskan mengingat tidak semua negara memiliki laut seperti kepada manusia yang sadar akan kaya karena memiliki mata sebab tidak semua manusia memiliki mata atau penglihatannya. Lihat, betapa berartinya sebuah penglihatan di saat ada manusia lain yang tak memilikinya, ku pikir begitupun lautan, tak semua negara beruntung memiliki lautan dan indonesia memilikinya bahkan sangat luas.
Aku mengulang kembali tahun 2012 yang ku ucapkan di awal bahwa ada ingatan yang tak sengaja ku bawa pulang saat usia ku 17 tahun, usia yang sebenarnya dibawa oleh anak-anak lain untuk melakukan aktifitas belajar atau mencari kepakaran, belajar bahasa asing, mengasah kemampuan bela diri, mengikuti kemah pramuka atau berada diatas panggung dalam sebuah olimpiade.
Dan aku adalah anak remaja dengan usia 17 tahun berada diatas lautan selama 3 bulan tidak dalam upaya memfasilitasi bahasa asing atau membekali kepakaran dalam hidup untuk tumbuh menjadi manusia dewasa. Meskipun begitu 3 bulan di atas lautan adalah bekal yang ku ingat sampai hari ini bukan untuk hidupku, tetapi untuk sebuah pertanyaa yang tak pernah ku sampaikan kepada guru saat dia bilang indonesia adalah negara yang kaya dengan lautan dan hasil lautnya, sebab waktu itu aku menerimanya tanpa mengangkat tangan dan berkata mengapa indonesia kaya dengan lautan sementara pekerja laut atau pekerja dengan hasil laut tidak sejahtera.
---------
Hari-hari yang terasa rumit menjadi seorang pelajar yang berada diatas lautan dengan kedalam yang jauh diatas bumi, di hempas ombak, di gulung tiupan angin di buat terbakar dengan panasnya terik matahari. "Gila..." itu yang diucapkan oleh seorang nelayan kepada kami, aku dan satu orang kawan yang ikut dalam pelayaran sebuah kapal penangkap ikan, "kalian anak sekolah, sudah bagus disekolahkan, justru mengikuti pekerjaan gila ini, menjadi pelaut adalah pekerjaan gila yang dilakukan manusia. Sebagai seorang remaja yang mengikuti pertama kali sebuah pelayaran penangkapan ikan membuat tanda tanya besar mengapa bapak nelayan ini mengatakan bahwa menjadi seorang nelayan adalah gila.
Mengapa begitu pak ? kawan ku bertanya
Kau lihat pekerjaan ini, kau lihat konsekuensi dari pekerjaan ini, pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa dengan harga yang murah...
Semua kemungkinan bahwa laut akan membunuh kami, meninggalkan anak-anak kami sebagai yatim dan istri kami menjadi janda dan tak ada tanggung jawab apapun untuk memeberikan kehidupan bagi keluarga lalu kemudian ketika kami pulang dengan selamat, kami tidak membawa kesejahteraan dikehidupan keluarga kami, kami hanya membawa sehari dua hari untuk mereka cukup makan, aku tak pernah berfikir bahwa anak ku akan menjadi nelayan itulah kenapa mereka harus ku sekolahkan.
Ini kali pertama ku dengar angin laut berbisik kepada ku tentang apa yang difahami seorang nelayan mengenai lautan, mereka memaksa untuk hidup dalam maut yang begitu kejam, berfikir kehidupan yang akan mereka selesaikan dan pertaruhkan demi pendidikan anak-anak mereka, tak satupun dari para nelayan ini melihat kami sebagai orang yang sedang pempelajari kehidupan penangkapan ikan yang lebih aman di masa depan, mereka fikir kami juga adalah orang-orang yang sama yang sedang menjual diri kami untuk maut ditengah lautan.
Mereka tidak melihat bahwa proses penangkapan ikan ini akan lebih maju dengan pengembangan pendidikan penangkapan ikan, sangka mereka pendidikan itu menyelamatkan kehidupan manusia untuk tidak menjadi pelaut, sangka mereka bahwa dalam hidup ini tidak ada lagi kepedulian hidup nelayan yang lebih layak atau memang manusia sudah berlari jauh dari kepedulian bagi simiskin yang menderita hidupnya, makan dan kebutuhan pokok menjadi segalanya sehingga mengikis dari toleh mereka tentang sulitnya menjadi seorang nelayan.
Tapi tidak dengan perasaan ku kala itu, sebab ku fikir kita akan hidup dalam pelajaran untuk satu hal lain bagaimana ini semua akan mudah untuk dikerjakan, bahwa ada sebuah negara dengan kehidupan nelayan mereka yang lebih makmur dengan dijadikannya prikanan sebagai sebuah metode pendidikan dan mampu menghadirkan teknologi, sebut sajalah Jepang dengan keahlian produksi prikanan mereka yang tak serumit ini, kita tak mau bahwa ayah-ayah kita akan mati dilautan 10 tahun yang akan datang dengan segala kemungkinan maut yang datang di setiap menitnya.
Begitupun setiap saat coba ku dengarkan lagi tentang cerita-cerita dilautan ini untuk menjadi kegamangan menimang pendidikan, jikapun esok menjadi jalan bahwa kita bisa membawa nelayan bekerja tanpa bertaruh nyawa akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah.
Tidak... tidak, kita tidak boleh menyerah, jika Indonesia mampu memamerkan laut sebagai kekayaannya maka disitu Indonesia harus bertanggung jawab untuk kehidupan manusia yang mencari rezekynya di tengah lautan ini.
Hari itu menjadi hari yang panjang sebenarnya bagi ku sebab banyak hal yang membuat kita tidak bisa tidur sebenarnya, aku menunggu hari-hari berikutnya untuk sampai "Laut tidak pernah bercerita" lagi, sehingga yang terdengar adalah kehidupan yang diceritakan seorang pelaut dan nelayan bahwa lautan memberikan kehidupan dan kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H