Mohon tunggu...
Arif Maulana
Arif Maulana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Melihat Dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pulang Sekolah

20 Januari 2021   21:05 Diperbarui: 20 Januari 2021   21:11 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pulang Sekolah

Sebuah desa mulai ku kenang dari masa kecil ku, lahir sebagai anak dari ibu yang melihat hidup adalah dirumah, dan seorang ayah lain lagi dengan sawah.

Ku pikir ayah tak pernah meminta ku pergi kesekolah dengan transaksi apapun, seperti rangking satu atau memiliki raport tanpa nilai merah.

Beberapa orang tua melihat anak anak mereka dengan air mata, atau rasa kecewa.
Memaksa mereka pandai membaca atau matematika.

Ku pikir ayah ku berbeda sebab tak pernah bertanya apa yang ku bawa pulang dari sekolah..

Ayah sosok yang tak pernah diam tanpa berisik, mencari kebutuhan ku tanpa bertanya apa yang ku butuhkan.

Ku pikir ayah tak pernah tau apa itu sekolah, dia sering bilang;  sekolah biar pintar.
Aku sendiri tak tau apa itu pintar. Apakah sebuah hidup yang tidak diikat dari kebingungan terhadap perhitungan, atau sebuah literatur yang bisa kita baca atau fahami.
Memang, hidup selalu dibuat rumit atas banyak yang kita hitung. Seperti orang ingin menikah menghitung calon pasangannya;  sudah punya pekerjaan tetap, penghasilan mencukupi, wajah yang indah, prilaku baik, dan mampu memberi kebahagian?
Kebahagian pun akan dihitung mereka, berapa banyak?

Kedua adalah membaca dan memahami.
Aku tak bisa mengeja apa itu membaca dan memahami: Dua orang anak berangkat sekolah terburu-buru untuk mengikuti ujian disekolah pelajaran PKN, di tengah jalan seekor kucing ditabrak dan tidak di kuburkan, salah satu dari mereka mengambil tindakan dan yang satunya pergi kesekolah.
Keesokan harinya mereka melihat hasil ujian, seorang anak tidak mendapatkan nilai karena terlambat masuk sebab mengubur seekor kucing, yang lainya mendapat nilai 90 sebab mengikuti ujian.

Lalu di mana kata pintar itu hadir?
Ayah tak pernah meminta ku untuk mengubur seekor kucing yang mati di jalan, di meminta ku untuk datang kesekolah, belajar biar pintar.

Sebabnya aku menjadi tidak pintar, aku ketinggalan memahami moral dan prilaku untuk mengejar waktu agar pintu gerbang sekolah kami tidak di kunci atau ruang kelas di tutup guru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun