Sebagai daerah wisata, Kota Yogyakarta sudah begitu familiar bagi masyarakat. Tugu, Malioboro, Kraton, Tamansari, dan Pasar Beringharjo menjadi tempat-tempat favorit jujugan wisatawan yang bertandang ke kota gudeg ini.Â
Di balik berbagai hiruk pikuknya, Kota Yogyakarta berhadapan dengan berbagai hal yang perlu segera diselesaikan. Sebagai ibukota provinsi, permasalahan Kota Yogyakarta hampir sama dengan daerah lainnya, seperti Bandung dan Jakarta.Â
Luas wilayah Kota Yogyakarta hanya 32,5 km2 (atau hanya 0,01 persen dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta). Dengan luas kawasan tersebut, yang harus diurus pertama adalah masalah kebutuhan lahan.Â
Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sesuai data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kepadatan Kota Yogyakarta pada tahun 2016 telah menyentuh angka 12.853,66/km2. Kota Yogyakarta pun menjadi daerah terpadat di DIY.Â
Permasalahan berikutnya adalah perumahan. Ketersediaan lahan yang semakin menipis memaksa harga properti menjadi tinggi. Saat ini, begitu susah mencari rumah dengan harga terjangkau. Di sisi berikutnya, kebutuhan air bersih pun perlu diperhatikan. Karena semakin banyaknya alih fungsi lahan di Kota Yogyakarta menjadi bangunan, resapan air pun semakin berkurang.
Bertambahnya penduduk juga akan berdampak pada urusan lainnya, salah satu yang kontras terlihat adalah masalah kemacetan. Jumlah jalan yang tidak bertambah, berbanding terbalik dengan pertumbuhan kendaraan yang beredar di jalanan Kota Yogyakarta. Pada tahun 2012, titik jenuh kemacetan Kota Yogyakarta telah mencapai 0,7-0,8 dari skala masimal 1 (sumber: Tribun Jogja). Permasalahan ini relatif tidak ada penanganan serius selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2017 ini, titik jenuh sudah hampir mencapai puncaknya. Dalam publikasi okezone.com, disebutkan bahwa titik jenuh kemacetan di Kota Yogyakarta sekitar 0,8-0,9.Â
Polemik kemacetan di pusat kota ini mulai jelas muncul saat melihat kondisi riil di jalanan yang semakin memprihatinkan. Sudah mirip Jakarta, pengendara di Kota Yogyakarta mulai lupa lampu merahnya di mana, berhentinya di mana. Ruang tunggu sepeda pun tak dipedulikan fungsinya karena lebih sering diisi kendaraan bermotor. Tak sedikit pula yang menyerang trotoar untuk dijadikan jalan bagi kendaraannya.
Kota Yogyakarta juga relatif masih kurang memiliki ruang publik sebagai wadah ekspresi warganya. Berbeda dengan di Kota Bandung yang justru masive menyediakan taman-taman bertema, perkembangan ruang publik di Kota Yogyakarta hanya itu-itu saja. Sebutlah Pasar Ngasem yang pada masa Walikota Hery Zudianto direlokasi ke PASTY, Jl. Bantul. Pasar Ngasem kini menjadi lokasi andalan ketika ada event-event yang ada di Kota Yogyakarta. Selebihnya, penyelenggaraan event dilaksanakan di daerah-daerah penyangganya.Â
Sampai sekarang, Kota Yogyakarta juga relatif masih belum hadir di tingkat nasional sebagai kota yang mengimplementasikan smart city untuk menangani berbagai keluhan warganya. Justru sebuah forum online bernama Info Cegatan Jogja yang secara swadaya menjadi rujukan utama warga ketika ada keluhan-keluhan publik tentang kotanya. Â