Sabtu (18/02) kemarin, saya dan teman-teman Kompasianer Jogja berakhir pekan di kawasan Lava Bantal dan sekitarnya. Lava yang mirip bantal, kemudian dilabeli ‘lava bantal’, demikian tempat yang berada di Kalitirto dan Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman ini diberi nama dan familiar bagi masyarakat Jogja. Penyebutannya memang sederhana, mengacu pada bentuk fisiknya yang menyerupai bantal.
Dalam sebuah artikel di kompas.com disebutkan bahwa lava bantal terbentuk karena pembekuan lahar yang keluar dari gunung api bawah laut. Proses pembekuan ini tertahan oleh tekanan hidrostatis yang membentuk batuan lonjong tak beraturan yang sekarang disebut sebagai batuan lava bantal. Ciri fisik batuan ini berwarna hitam, keras, dan bertekstur tidak beraturan. Lava bantal juga merupakan rangkaian geosite purba yang terbentuk jutaan tahun silam.
Sebagai kawasan geo heritage, pengembangan lava bantal tak bisa sembarangan. Tak boleh merusak, ada unsur edukasi, dan tentu saja harus sejalan dengan usaha konservasi.
Setelah kawasan lava bantal diresmikan Gubernur DIY sebagai wilayah ekowisata pada 30 Mei 2016, kini kawasan sekitarnya tergerak untuk mengemas atraksi wisata baru. Sejak pertengahan Desember tahun lalu, Bupati Sleman telah meresmikan atraksi baru berupa geo tubing menelusuri Sungai Opak dan berakhir di Lava Bantal. Aktivitas ini kemudian dinamai Geo Tubing Lava Bantal.
Melalui Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), Pemerintah dan masyarakat Sleman sepakat menjadikan aktivitas Geo Tubing di kawasan Lava Bantal dan sekitarnya sebagai area pengembangan wisata edukatif, adventure, dan fun. Geo Tubing Lava Bantal memang relatif belum terlalu terkenal. Jika Anda berniat mencoba Geo Tubing Lava Bantal, jaraknya dari pusat Kota Yogyakarta sekitar 14-15 km atau ditempuh selama 35 menit dengan kendaraan bermotor. Di google maps bisa klik link ini.
Setelah mendapat cerita-cerita seputar Geo Tubing Lava Bantal, kami langsung diajak para pemandu untuk bersiap menyusuri Sungai Opak menuju Lava Bantal sebagai titik finish. “Setiap wisatawan wajib mengenakan pengaman berupa helm dan pelampung”, seru Mas Wahyu, pemandu kami.
Berikutnya, briefing dan pemanasan sebentar pun dilakukan agar peserta geo tubing terhindar dari kram atau gangguan otot lainnya. Tak ketinggalan, kami pun berdoa bersama agar aktivitas ini lancar.
Selama hampir setengah perjalanan, kami tidak menemukan jeram yang begitu menantang. Benar seperti yang diceritakan oleh pengelola Geo Tubing Lava Bantal bahwa kami masih menemukan sampah-sampah yang berada di beberapa titik di pinggir sungai. Masyarakat sekitar sudah mengagendakan untuk membersihkan kawasan Sungai Opak ini seminggu sekali. "Kami mohon maaf. Semoga urusan sampah ini bisa segera tertangani dengan baik di waktu-waktu mendatang", ujar pengelola Geo Tubing.
Pengelola pun mengakui bahwa masih dijumpai pula beberapa masyarakat yang mandi atau beraktivitas lain di pinggiran sungai. Bagi saya, ini malah menarik. Aktivitas khas ala desa seperti ini asik juga.
Pemandangan yang ditawarkan yang terasa spesial saat geo tubing adalah sewaktu kanan-kiri sungai diapit oleh pohon bambu. "Mirip goa atau lorong, tapi dari bambu. Ada yang menyebutnya lorong bambu. Tapi teman-teman di sini menyebut lorong syahdu. Ya karena kalau diamati terasa syahdu", seru pengelola Geo Tubing Lava Bantal.
Sebenarnya kalau saja air Sungai Opak ini bening dan bersih, mungkin akan terlihat lebih syahdu lagi. Apalagi pantulan sinar matahari akan terbius warna batu atau lumut yang menghijau, akan lebih wow lagi sepertinya.
Teriakan tanda keseruan dari rekan-rekan Kompasianer Jogja pun tak terelakkan saat melewati jalur pendek ini. Tak cukup sekali, beberapa kompasianer mencoba jalur pendek berkali-kali.
Ini saya sertakan video keseruan kami sewaktu di Geo Tubing Lava Bantal:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H