Desa Nglanggeran terasa sejuk saat saya datangi. Entah karena berada sekitar 500-750 meter di atas permukaan laut (mdpl), atau memang karena hujan sedang menaungi saat saya berkunjung ke salah satu desa di Kecamatan Patuk, Gunungkidul ini. Alunan rintik-rintik air dari langit terus mengiringi kegiatan yang kami jalani bersama Dinas Pariwisata DIY dan Kelompok Sadar Wisata Nglanggeran Selasa (24/01/2017) kemarin. Saya ikut kegiatan digital media trip ini bersama rekan-rekan blogger (temasuk kompasianer) dan buzzer dari Jogja, Solo, maupun Magelang di antara jaringan Masyarakat Digital Jogja (Masdjo).
Nglanggeran mungkin tak asing bagi warga Jogja. Visualisasi yang muncul ketika membahas desa ini adalah tentang Gunung Api Purba dan Embung Nglanggeran. Namun, gambaran destinasi wisata tersebut rupanya baru 'kulitnya' Nglanggeran. Masih ada banyak hal yang sangat menarik untuk dikisahkan ketika bercerita tentang desa wisata yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai desa wisata terbaik se-ASEAN untuk bidang community based tourism Jumat (20/01) yang lalu ini.
Geosite Nglanggeran mulanya populer dengan Gunung Api Purba sebagai ikon utamanya. Dikutip dari laman resmi Gunung Api Purba Nglanggeran, secara fisiografi Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949) atau tepatnya di sub zona Pegunungan Baturagung (Baturagung range) dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%). Gunung Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang berumur tersier (oligo-miosen) atau 0,6 – 70 juta tahun yang lalu. Material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (old andesite formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung Nglanggeran antara lain breksi andesit, tufa, dan lava bantal.
Perlu diketahui bahwa Nglanggeran dulunya adalah salah satu desa pemasok TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri. Namun sejak dikelolanya Geosite Nglanggeran sebagai destinasi wisata, kini mereka lebih memilih tinggal dan merawat desanya. Sugeng Handoko, salah satu perwakilan kelompok sadar wisata Nglanggeran menuturkan kini ada 154 pemuda yang ikut tergerak untuk mengelola Geosite Nglanggeran. Rumah-rumah penduduk pun dimaksimalkan sebagai homestay yang bisa digunakan untuk live in wisatawan. "Sekitar 80 homestay telah siap digunakan wisatawan dengan rate per malam Rp 150 rb - Rp 250 rb per orang, sudah termasuk makan dua kali.", Sugeng bercerita dengan penuh semangat.Â
Sebagai destinasi wisata, Geosite Nglanggeran terus berbenah. Dari paket wisata edukasi, budaya, petualangan, agro, dan lingkungan yang telah dikreasikan di Nglanggeran, mampu mendongkrak wisatawan dari semula 13 wisatawan mancanegara dan 1.437 wisatawan nusantara pada tahun 2007 menjadi 476 wisatawan mancanegara dan hampir 325.000 wisatawan nusantara pada tahun 2014. Angka ini terus bergerak naik pasca dibukanya beberapa spot wisata tambahan dan dikukuhkannya Geopark Gunungsewu sebagai bagian dari geopark dunia oleh UNESCO.
Spot kedua adalah Puncak Watu Bantal. Batuan super keras dengan medan mendaki dan menurun secara berseling adalah tantangan utama sebelum menjamah puncak ini. Perjuangan menaklukkan medan tersebut adalah bumbu pemanis bagi pecinta trekking. Setelah mencapai Puncak Watu Bantal, panorama Geosite Nglanggeran begitu syahdu terpajang di depan mata. Dari titik ini pula kita bisa melihat Embung Nglanggeran di antara teduhnya vegetasi Nglanggeran.Â
Kami dijamu oleh Mbah Rejo dan Mbah Yatno, dua sesepuh Kampung Pitu yang merupakan keturunan Mbah Kyai Irokromo dan Mbah Kyai Tir. Sesepuh generasi ketiga Kampung Pitu ini bercerita bahwa dulu ada pohon Kinah Gadung Wulung yang didalamnya terdapat benda pusaka. Benda pusaka tersebut diketahui oleh abdi dalem Kraton Ngayogyakarta memiliki kekuatan. Berikutnya, diadakanlah sayembara bagi yang bisa menjaga benda pusaka ini akan diberi tanah secukupnya untuk penghidupan anak dan keturunannya. Mbah Irokromo adalah pemenang sayembara ini, sehingga dialah yang layak untuk mendapatkan tanah tersebut. Tanah ini kemudian dihuni oleh beberapa Empu. Namun dari sekian banyak empu tersebut, hanya tersisa dua orang yaitu Mbah Irokromo dan Mbah Kyai Tir yang hingga kini berlanjut keturunannya.Â
Kampung Pitu dulunya dikenal dengan nama Dusun Telaga karena adanya telaga yang konon menjadi tempat pemandian kuda sembrani. Selain dikenal sebagai Kampung Pitu, kini secara administratif kampung ini dikenal sebagai wilayah RT 19 Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Dengan luas sekitar 7 hektare, kampung ini sekarang dihuni oleh 25 jiwa.Â