Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjelajah Sejarah dan Budaya dengan Tour de Masjid Pathok Negara

8 Juli 2016   23:59 Diperbarui: 9 Juli 2016   11:58 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat, setahun yang lalu saya menyambangi beberapa masjid yang berkaitan dengan sejarah Mataram Islam untuk mengisi waktu saat berpuasa. Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Masjid Saka Tunggal adalah dua masjid yang saya dokumentasikan kala itu.  

Ramadan tahun ini mau diisi dengan apa? Ke mana? Dengan siapa?”, pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik benak saya. Bagaimana kalau belajar sejarah dan budaya? Bukannya di Jogja terdapat masjid-masjid yang sangat lekat dengan nuansa sejarah dan budaya?

Segera saya aktifkan panel tethering di smartphone. Koneksi jaringan 4G yang sudah menjamah rumah membuat cepat akses saat saya browsing tentang masjid-masjid bersejarah di Jogja. Dari hasil berselancar di dunia maya, muncullah sebuah istilah; Masjid Pathok Negara.

Menurut Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 5 masjid di bawah naungan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang fungsinya bukan hanya untuk kegiatan keagamaan semata, tetapi juga difungsikan sebagai titik pertahanan. Masjid-masjid ini juga merupakan tanda batas kekuasaan Kraton, dan biasa disebut sebagai Masjid Pathok Negara.

Saya pun segera mengulik lebih jauh di mana saja letak masjid pathok negara berada. Sambil membuka google maps, saya menandai sekaligus membuat rute kelima masjid tersebut.

Rute jelajah masjid pathok negara dibuat dengan cermat menggunakan koneksi 4G (googlemaps)
Rute jelajah masjid pathok negara dibuat dengan cermat menggunakan koneksi 4G (googlemaps)
  • Masjid Pathok Negara Dongkelan

Masjid pertama yang saya singgahi adalah Masjid Pathok Negara Dongkelan karena masjid ini paling dekat dengan tempat tinggal. Saya cek melalui aplikasi google maps di handphone, hanya 2,2 km atau 8 menit saja.

Konon nama daerah Dongkelan bermula dari nama Kyai Dongkol, seorang ulama yang mampu meredam konflik antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pangeran Sambernyawa. Nama asli Kyai Dongkol sebenarnya Kyai Syihabudin, namun karena tak dijadikan patih oleh Sultan Hamengkubuwana I, dia merasa mangkel atau dongkol. Penyebutannya kemudian menjadi dongkel, dan nama daerah tempatnya tinggal dinamai dengan Dongkelan.

Masjid Pathok Negara Dongkelan yang didirikan pada 1775 adalah penghormatan terhadap Kyai Syihabudin. Bentuk masjid ini sebenarnya mirip dengan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. 

Namun pada tahun 1825 masjid yang terletak di sebelah barat perempatan Dongkelan ini dibakar oleh Belanda saat Perang Diponegoro berlangsung. Hanya umpak (batu penyangga tiang) yang tersisa kala itu. Setelah beberapa waktu perang berakhir, masjid kembali dibangun secara sederhana dengan atap dari ijuk dan mustaka dari tanah liat.

Hasil penelusuran saya di internet membawa pada publikasi Tribunnews.com yang mencatatkan bahwa pada tahun 1901 semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, masjid pathok negara dongkelan dibangun kembali seperti semula. Kemudian pada tahun 1948 dilakukan pembangunan serambi masjid. 

Hingga kegiatan renovasi yang dilakukan pada tahun 2002, Masjid Pathok Negara Dongkelan mengalami berbagai pembaruan pada bagian tembok, lantai, dan mustaka.

Masjid pathok negara Dongkelan (dok. pribadi)
Masjid pathok negara Dongkelan (dok. pribadi)
  • Masjid Taqwa Wonokromo

Penelusuran masjid-masjid bersejarah berikutnya saya arahkan ke selatan, menuju Masjid Taqwa yang terletak di Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Masjid Pathok Negara yang berada paling selatan di wilayah Kraton Ngayogyakarta ini jaraknya sekitar 9,7 km dari Masjid Dongkelan. 

Rute menuju Masjid At Taqwa dari Masjid Dongkelan diakses menggunakan jaringan 4G (googlemaps)
Rute menuju Masjid At Taqwa dari Masjid Dongkelan diakses menggunakan jaringan 4G (googlemaps)
Masjid yang berdiri di atas tanah seluas 750 m2  ini didirikan oleh Kyai Mohamad Fakih, seorang ulama yang begitu dikagumi oleh Sultan Hamengkubuwana I hingga Sultan ingin belajar pengetahuan agama darinya. Namun tak disangka, Kyai Fakih menolak.

Sultan kemudian menyamar, hingga Kyai Fakih akhirnya mau menerimanya sebagai murid dan diajarkan mengenai ilmu-ilmu seputar dunia keislaman.

Konon, ide Sultan Hamengkubuwana I untuk menempatkan abdi dalem pada berbagai masjid bermula dari ajaran Kyai Fakih. Melalui penempatan abdi dalem dan ulama yang dianalogikan sebagai ‘pathok’ yang dipasang di empat penjuru mata angin yang mengelilingi wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, penyebaran Islam akan semakin meluas dan posisi Kraton akan lebih aman.

Singkatnya, sebagai tanda terima kasih karena telah diajarkan berbagai pengetahuan, Kyai Fakih diberi tanah perdikan oleh Sultan. Tanah tersebut kemudian digunakan oleh keturunan Kyai Fakih sebagai pusat pengembangan ajaran Islam, terutama melalui pembangunan masjid.

Masjid Taqwa begitu kuat menyimpan catatan sejarah. Tak hanya untuk beribadah, Masjid Taqwa juga digunakan oleh gerilyawan untuk berkoordinasi dan mengatur strategi sebelum menggempur Belanda pada masa kolonial. Masjid Taqwa akhirnya dijadikan sebagai markas Kompi III Batalyon I Brigade 10 yang pimpinan Letda Komarudin. Para pahlawan yang gugur selama masa perjuangan dimakamkan di sisi barat masjid. 

Hingga saat ini, Masjid Taqwa masih kokoh berdiri dan menjadi salah satu masjid pathok negara yang terlihat megah. Dominasi warna hijau menjadi pemandangan utama pada dinding dan tiang masjid. Beberapa bagian masjid masih terawat dengan baik dan tampak masih mempertahankan nuansa klasiknya.

Masjid Taqwa tampak megah dengan dominasi warna hijau di bangunan utamanya (dok. pribadi)
Masjid Taqwa tampak megah dengan dominasi warna hijau di bangunan utamanya (dok. pribadi)
  • Masjid Ad-Darojat Babadan

Masjid berikutnya yang saya datangi adalah Masjid Ad-Darojat. Masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774 ini terletak di Dusun Babadan Kauman, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Untuk menuju Masjid Ad Darojat, saya kembali membuka aplikasi google maps dan diketahui jaraknya sekitar 12 km dari Masjid At Taqwa. 

Rute menuju Masjid Ad Darojat Babadan dari Masjid At Taqwa (googlemaps)
Rute menuju Masjid Ad Darojat Babadan dari Masjid At Taqwa (googlemaps)
Di masa awal berdirinya, Masjid Ad-Darojat juga difungsikan sebagai pengadilan dan semacam KUA di masa sekarang. Dalam buku Bunga Rampai Masjid Pathok Negara, disebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwana I menunjuk atau menempatkan para tokoh dan abdi dalem untuk melaksanakan proses peradilan di berbagai titik, di antaranya adalah yang berada di masjid-masjid pathok negara. 

Terdapat Pengadilan Pradata untuk menyelesaikan urusan perdata dan pidana. Kemudian Surambi untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan keagamaan. Terdapat pula Bale Mangu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah administratif dan agraria.

Pada tahun 1940, Babadan dijadikan gudang mesiu oleh Jepang, sehingga Masjid Ad-Darojat dan masyarakat Babadan dipindah ke Desa Babadan Jl. Kaliurang, Kentungan, Sleman.

Setelah Jepang kalah dari perang dunia II, pada tahun 1950-an masyarakat mulai kembali ke Babadan. Atas inisiatif warga, pada tahun 1960-an didirikan kembali Masjid Babadan sesuai izin Sultan Hamengkubuwana IX. Nama Masjid Ad-Darojat terinspirasi dari kata Dorojatun, nama kecil Sultan Hamengkubuwana IX.

Meskipun berada di kawasan perkotaan, Masjid Ad-Darojatun masih mempertahankan arsitektur klasik khas masjid pathok negara lainnya. Selain ruang utama yang berbentuk limasan, pintu dan jendela masjid ini juga tampak masih dipertahankan seperti dulu kala.

Masjid Ad Darojat Babadan (dok. pribadi)
Masjid Ad Darojat Babadan (dok. pribadi)
Pintu dan jendela di Masjid Ad Darojat Babadan (dok. pribadi)
Pintu dan jendela di Masjid Ad Darojat Babadan (dok. pribadi)
  • Masjid Plosokuning

Masjid keempat yang saya jelajahi adalah Masjid Plosokuning yang terletak sekitar 10 km dari Masjid Ad Darojat Babadan. Masjid yang terletak di Jalan Plosokuning Raya No. 99, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman ini dibangun oleh Kyai Mursodo, putera dari Kyai Nur Iman dari Mlangi.

Rute menuju Masjid Plosokuning dari Masjid Ad Darojad segera diketahui melalui kecepatan jaringan 4G (googlemaps)
Rute menuju Masjid Plosokuning dari Masjid Ad Darojad segera diketahui melalui kecepatan jaringan 4G (googlemaps)
 

Sebuah sumber menyebutkan bahwa masjid ini telah ada sejak tahun 1724, atau 31 tahun sebelum Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri. Setelah Kraton Ngayogyakarta dideklarasikan oleh Sultan HB I, Masjid Plosokuning dipindah dan dibangun ulang di lokasi yang sekarang.

Secara arsitektur, bangunan Masjid Plosokuning dibuat mirip dengan Masjid Gedhe Kauman. Masjid yang dinamai dari nama pohon ploso yang berdaun kuning ini tergolong masih sesuai dengan aslinya dibanding masjid pathok negara yang lain. 

Tiang penyangga yang digunakan di Masjid Plosokuning adalah tiang asli yang terbuat dari kayu jati dan masih terawat hingga kini. Di bagian depan masjid terdapat dua kolam sedalam 3 meter. Di beberapa bagian menuju masjid dibuat lebih dangkal agar setiap orang yang hendak memasuki masjid dalam keadaan bersih dan suci.

Di bagian halaman depan masjid, terdapat pohon sawo kecik yang burumur ratusan tahun. Pohon ini memiliki filosofi tersendiri, yaitu agar setiap muslim memiliki sifat sarwo bejik (serba baik) dalam berbagai hal.

Yang menarik di Masjid Plosokuning adalah tetap dijalankannya dua kali adzan menjelang khatib menyampaikan khotbah menjelang sholat Jumat. Dulunya adzan pertama dilakukan oleh lima orang dan adzan kedua dilakukan oleh satu orang. Namun pada tahun 1960-an tradisi tersebut berubah, adzan pertama dilakukan oleh dua orang. Meskipun demikian, adzan tetap dilakukan dua kali.

Masjid Plosokuning tampak dari samping (dok. pribadi)
Masjid Plosokuning tampak dari samping (dok. pribadi)
Serambi Masjid Plosokuning (dok. pribadi)
Serambi Masjid Plosokuning (dok. pribadi)
  • Masjid Mlangi

Masjid Mlangi adalah masjid terakhir yang saya kunjungi saat tour de Masjid Pathok Negara saya lakukan. Jaraknya sekitar 13 km atau 27 menit berkendara dari Masjid Plosokuning. Masjid yang didirikan oleh Kyai Nuriman pada tahun 1758 ini terletak di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.

Koneksi cepat 4G membuat rute menuju Masjid Mlangi dari Masjid Plosokuning segera diketahui (googlemaps)
Koneksi cepat 4G membuat rute menuju Masjid Mlangi dari Masjid Plosokuning segera diketahui (googlemaps)
Saat pertama kali menginjakkan kaki di gapura yang menjadi pintu gerbang komplek masjid Mlangi, saya terpukau dengan keberadaan masjid yang lebih rendah dibanding tanah di sekitarnya.  Posisi ini membuat sudut untuk pengambilan gambar masjid menjadi lebih artistik.

Masjid ini didirikan oleh Kyai Nur Iman, putra sulung Susuhunan Amangkurat IV. Nama asli Kyai Nuriman adalah Raden Mas Sandiyo. Kyai Nuriman adalah seorang bangsawan Kraton yang lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama dibanding berebut kuasa. Saat adiknya, Sultan Hamengkubuwana I menjadi Raja Kraton Ngayogyakarta, Kyai Nuriman menolak ketika ditawari untuk duduk di singgasana. 

Beliau justru memilih hidup di luar benteng kraton dan berdakwah. Sebagai hadiah, Kyai Nuriman diberi tanah perdikan saat Sultan Hamengkubuwana I naik tahta pada tahun 1776. Tanah perdikan ini kemudian dijadikan pusat pengembangan ajaran Islam dengan mulangi (mengajarkan pengetahuan) kepada masyarakat. Dari kata mulangi itulah daerah dan masjid yang dikembangkan oleh Kyai Nuriman dinamakan Mlangi.

Masjid Mlangi dilihat dari gapura bagian depan (dok. pribadi)
Masjid Mlangi dilihat dari gapura bagian depan (dok. pribadi)
Masjid Mlangi telah banyak mengalami perubahan sampai dengan renovasi terakhir yang dilakukan pada tahun 2012. Meskipun demikian, arsitektur masjid tampak diupayakan agar sesuai dengan keasliannya.

Seperti pada mimbar masjid yang masih menggunakan model tangga dan ditutup kain mori (kafan), menyerupai mimbar-mimbar di masjid zaman Kerajaan Mataram Islam tempo dulu. Ruang utama Masjid Mlangi masih berbentuk limasan dengan empat tiang penyangga utama di bagian tengahnya. Di bagian depan masjid juga masih dipertahankan blumbang (kolam ikan) dan pada beberapa bagian dibuat lebih dangkal seperti di Masjid Plosokuning.  

Bagian dalam Masjid Mlangi berupa limasan dengan empat tiang penyangga utama (dok. pribadi)
Bagian dalam Masjid Mlangi berupa limasan dengan empat tiang penyangga utama (dok. pribadi)
Dari penjelajahan ini, ada beberapa hal yang identik ditemukan di semua lokasi masjid pathok negara. Pertama, masjid-masjid tersebut dikelola oleh sekelompok orang abdi dalem pamethakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kedua, lokasi masjid pathok negara adalah daerah mutihan (berasal dari kata ‘putih’, warna pakaian yang biasa dikenakan oleh para santri dan kyai) dan bersifat perdikan (bebas pajak).

Ketiga, di sekitar masjid biasanya terdapat pusat pengembangan ajaran Islam baik berupa pesantren maupun sistem pendidikan agama Islam lainnya. Keempat, secara arsitektur bangunan masjid pathok negara menyerupai Masjid Gedhe Kauman dengan mustaka masjid berupa gada dikelilingi ornamen daun kluwih, ruang utama yang berbentuk limasan, terdapat makam keluarga pendiri masjid/tokoh agama di belakang/di samping masjid, hingga terpasangnya logo Kraton Ngayogyakarta di bagian depan kuncung teras masjid. Terakhir, saya juga menemukan bahwa masjid-masjid pathok negara masih menggunakan lampu gantung model klasik yang digunakan sebagai alat penerangan sekaligus hiasan. 

Mustaka masjid pathok negara yang berbentuk gada dan ornamen daun kluwih (dok. pribadi)
Mustaka masjid pathok negara yang berbentuk gada dan ornamen daun kluwih (dok. pribadi)
Logo Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menandai masjid pathok negara (dok. pribadi)
Logo Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menandai masjid pathok negara (dok. pribadi)
Jenis lampu gantung klasik yang menghiasi masjid-masjid pathok negara (dok. pribadi)
Jenis lampu gantung klasik yang menghiasi masjid-masjid pathok negara (dok. pribadi)
Semoga keberadaan masjid-masjid bersejarah seperti masjid pathok negara tetap lestari. Selain menyimpan berbagai cerita sejarah dan refleksi budaya, masjid-masjid seperti masjid pathok negara juga sangat menarik untuk dikunjungi dan dikaji kembali. 

Anda juga bisa menjelajah dan mendokumentasikan hal menarik lainnya dengan mengikuti aksi #4GinAja Ramadanmu dan menangkan beragam hadiah seru di http://www.smartfren.com/id/4ginaja.

______________

Referensi:

Bunga Rampai Masjid Pathok Negara, Dinas Kebudayaan DIY 2015

Video dokumenter Masjid Pathok Negara, Dinas Kebudayaan DIY 2014

http://jogja.tribunnews.com/2014/07/23/ini-sejarah-berdirinya-masjid-pathok-negoro-dongkelan 

http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/30/masjid-ploso-kuning-berdiri-sebelum-keraton-yogyakarta 

https://gudeg.net/direktori/1187/masjid-pathok-negara-taqwa-wonokromo-yogyakarta.html 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun