Sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa ada sekitar 466 suku bangsa yang berada di Papua. Dari jumlah tersebut, artinya hampir 35 persen suku bangsa yang ada di Indonesia berada di Papua (sumber).
Di antara ratusan suku bangsa tersebut, salah satu suku yang berada di Papua adalah Suku Kamoro. Suku ini mungkin tak terlalu asing ketika kita menyebut tentang Papua. Keberadaan suku yang masih menerapkan pola hidup semi-nomaden ini mulai sering menjadi bahan kajian, diskusi, maupun project sebuah kebijakan.
Kamis siang (2/06/2016) saya mendapat kesempatan untuk mempelajari sekilas tentang Suku Kamoro di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Dalam acara bertajuk 'Bicara Papua' yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada (KEMPGAMA) dan didukung oleh PT Freeport Indonesia ini, sebuah sesi pemutaran film dokumenter tentang Suku Kamoro digelar.
Mbak Luluk selaku pemrakarsa film dokumenter mengisi sesi ini. Menurut penuturan Mbak Luluk yang hidup bersama Suku Kamoro selama 20 tahunan ini dulunya Suku Kamoro ini dikenal dengan sebutan Mimika we (Muimuka artinya buih-buih akibat banjir dari mana leluhur mereka berasal, dan we artinya manusia). Suku yang terkenal dengan keahlian berburunya ini terakhir terdeteksi penyebarannya dari Teluk Etna hingga di sebelah timur berbatasan dengan Suku Sempan, di sekitar sungai Minajerwi, sungai Otakwa, di pesisir Papua.
Suku Kamoro juga relatif kaya dengan hasil-hasil kebudayaannya. Seni ukir, topeng, nyanyian, dan tarian telah familiar dengan suku ini. Hal ini langsung dibuktikan pada acara Bicara Papua di PKKH UGM. Sebelum film dokumenter tentang Suku Kamoro diputar, perwakilan masyarakat Suku Kamoro hadir ke tengah-tengah audiens dan dengan terampil menari.
Dalam kesehariannya, warga Kamoro biasa membuat berbagai jenis ukiran, untuk bermacam keperluan. Perisai, dayung, mangkuk sagu, gendang, dan barang-barang sehari-hari lainnya, mereka buat dengan begitu indahnya. Selain itu mereka juga membuat ukiran khusus. Wemawe, patung yang berbentuk manusia dan mbitoro, totem yang dibuat untuk para leluhur, adalah kreasi para seniman ukir Kamoro yang sulit dicari tandingannya di dunia. Segala ukiran ini mereka buat dengan dua tujuan: untuk perangkat upacara adat dan juga untuk mereka jual.
Selain itu, aktivitas berburu juga biasanya dilakukan Suku Kamoro. Kepiting, biawak, tambelo (sejenis kerang), dan larva sagu menjadi tambahan asupan bagi Suku Kamoro. Dua jenis makhluk hidup yang saya sebutkan terakhir mungkin agak asing. Tambelo biasanya ditemukan di pohon bakau yang tumbang, dagingnya mirip daging kerang. Suku Kamoro tahu mana pohon yang memiliki tambelo atau tidak. Jika menemukan tambelo, sebagian masyarakat Suku Kamoro akan memakannya secara langsung. Konon masyarakat Suku Kamoro percaya bahwa tambelo bermanfaat bagi kesehatan dan berkhasiat bagi urusan seksual mereka.
Suku Kamoro tidak mahir bercocok tanam. Meskipun demikian, kini Suku Kamoro telah berlatih berkebun. Tanaman yang ditanam pun dipilih jenisnya yang tak terlalu merepotkan; ubi kayu. Selain tidak menyusahkan dalam merawat, daun ubi kayu juga biasa dimanfaatkan mace-mace (ibu-ibu) untuk dimasak.