Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekilas tentang Suku Kamoro, Penjaga Budaya di Pesisir Papua

3 Juni 2016   07:50 Diperbarui: 14 Juni 2016   11:28 2236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang penari asal Mimika menari tarian khas Suku Kamoro di PKKH UGM (dok. pri)

Sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa ada sekitar 466 suku bangsa yang berada di Papua. Dari jumlah tersebut, artinya hampir 35 persen suku bangsa yang ada di Indonesia berada di Papua (sumber).

Di antara ratusan suku bangsa tersebut, salah satu suku yang berada di Papua adalah Suku Kamoro. Suku ini mungkin tak terlalu asing ketika kita menyebut tentang Papua. Keberadaan suku yang masih menerapkan pola hidup semi-nomaden ini mulai sering menjadi bahan kajian, diskusi, maupun project sebuah kebijakan.

Kamis siang (2/06/2016) saya mendapat kesempatan untuk mempelajari sekilas tentang Suku Kamoro di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Dalam acara bertajuk 'Bicara Papua' yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada (KEMPGAMA) dan didukung oleh PT Freeport Indonesia ini, sebuah sesi pemutaran film dokumenter tentang Suku Kamoro digelar.

Mbak Luluk selaku pemrakarsa film dokumenter mengisi sesi ini. Menurut penuturan Mbak Luluk yang hidup bersama Suku Kamoro selama 20 tahunan ini dulunya Suku Kamoro ini dikenal dengan sebutan Mimika we (Muimuka artinya buih-buih akibat banjir dari mana leluhur mereka berasal, dan we artinya manusia). Suku yang terkenal dengan keahlian berburunya ini terakhir terdeteksi penyebarannya dari Teluk Etna hingga di sebelah timur berbatasan dengan Suku Sempan, di sekitar sungai Minajerwi, sungai Otakwa, di pesisir Papua.

Suku Kamoro juga relatif kaya dengan hasil-hasil kebudayaannya. Seni ukir, topeng, nyanyian, dan tarian telah familiar dengan suku ini. Hal ini langsung dibuktikan pada acara Bicara Papua di PKKH UGM. Sebelum film dokumenter tentang Suku Kamoro diputar, perwakilan masyarakat Suku Kamoro hadir ke tengah-tengah audiens dan dengan terampil menari.

Tari Wautu yang bercerita tentang seorang pemuda yang tenggelam dan diselamatkan burung camar ditampilkan (dok.pri)
Tari Wautu yang bercerita tentang seorang pemuda yang tenggelam dan diselamatkan burung camar ditampilkan (dok.pri)
Suku Kamoro juga dikenal sebagai suku yang memiliki kemampuan tinggi dalam hal seni ukir. Sebuah publikasi National Geographic menyebutkan bahwa:

Dalam kesehariannya, warga Kamoro biasa membuat berbagai jenis ukiran, untuk bermacam keperluan. Perisai, dayung, mangkuk sagu, gendang, dan barang-barang sehari-hari lainnya, mereka buat dengan begitu indahnya. Selain itu mereka juga membuat ukiran khusus. Wemawe, patung yang berbentuk manusia dan mbitoro, totem yang dibuat untuk para leluhur, adalah kreasi para seniman ukir Kamoro yang sulit dicari tandingannya di dunia. Segala ukiran ini mereka buat dengan dua tujuan: untuk perangkat upacara adat dan juga untuk mereka jual.

Warga Kamoro mendapat ide motif ukiran dari bermacam sumber. (Okke Kurniawan/Kompas TV sebagaimana dipublikasi dalam nationalgeographic.co.id)
Warga Kamoro mendapat ide motif ukiran dari bermacam sumber. (Okke Kurniawan/Kompas TV sebagaimana dipublikasi dalam nationalgeographic.co.id)
Sagu dan ikan adalah makanan pokok suku yang tinggal di rumah panggung dari kayu non-permanen ini. Mereka menangkap ikan dengan memancing atau menggunakan jala. Saat mencari ikan, rata-rata bisa selusin spesies ikan yang didapat. Keahlian memancing atau menebar jala telah dikuasasi anggota Suku Kamoro bahkan sejak anak-anak. Ikan hasil tangkapan dikonsumsi untuk anggota keluarga, dan sisanya dijual di pasar terdekat. Untuk konsumsi harian, mereka menyimpan hasil tangkapan ini sebagai cadangan makanan. Sebelum disimpan, ikan diiris-iris tipis kemudian diasap. Proses pengawetan alami ini membuat ikan bisa bertahan dan layak dikonsumsi sampai satu minggu.  

Selain itu, aktivitas berburu juga biasanya dilakukan Suku Kamoro. Kepiting, biawak, tambelo (sejenis kerang), dan larva sagu menjadi tambahan asupan bagi Suku Kamoro. Dua jenis makhluk hidup yang saya sebutkan terakhir mungkin agak asing. Tambelo biasanya ditemukan di pohon bakau yang tumbang, dagingnya mirip daging kerang. Suku Kamoro tahu mana pohon yang memiliki tambelo atau tidak. Jika menemukan tambelo, sebagian masyarakat Suku Kamoro akan memakannya secara langsung. Konon masyarakat Suku Kamoro percaya bahwa tambelo bermanfaat bagi kesehatan dan berkhasiat bagi urusan seksual mereka.

Suku Kamoro tidak mahir bercocok tanam. Meskipun demikian, kini Suku Kamoro telah berlatih berkebun. Tanaman yang ditanam pun dipilih jenisnya yang tak terlalu merepotkan; ubi kayu. Selain tidak menyusahkan dalam merawat, daun ubi kayu juga biasa dimanfaatkan mace-mace (ibu-ibu) untuk dimasak.

Para penari yang menampilkan tarian Suku Kamoro (dok. pri)
Para penari yang menampilkan tarian Suku Kamoro (dok. pri)
Suku Kamoro bukanlah suku yang sama sekali tidak tersentuh dengan arus modernisasi. Beberapa produk hasil pabrik dan barang-barang yang dijual di toko sudah mereka gunakan, seperti terpal plastik yang biasa digunakan untuk pelapis atap rumah, beberapa peralatan memasak, dan tentu saja parang yang selalu digunakan dalam berbagai aktivitas pace-pace (bapak-bapak) sehari-hari. 

Suku Kamoro berpindah tempat tinggal sesuai dengan ketersediaan pangan. Untuk memenuhi konsumsi pokoknya, masyarakat Kamoro mencari pohon sagu untuk dipangkur.  Sebelum menebang pohon sagu untuk dikonsumsi, ada semacam 'tim ahli' dari Suku Kamoro yg menentukan sebuah pohon sagu layak ditebang atau tidak. Lalu jika menemukan pohon sagu yang layak ditebang, mereka akan gotong royong untuk menebangnya dan melakukan pangkur sagu bersama seluruh anggota keluarga. Saat pangkur sagu dilakukan, bagian luar batang sagu akan dikelupas dengan kapak atau parang untuk mengambil bagian dalamnya. Daun pohon sagu juga dimanfaatkan oleh Suku Kamoro untuk dibuat keranjang yang sering disebut kumam. Keranjang tersebut langsung difungsikan setelah pangkur sagu selesai untuk mengangkut sagu.

Aktifitas Suku Kamoro saat mencari ikan (ilustrasi dari http://old.hifatlobrain.net/2011/11/kamoro-life.html)
Aktifitas Suku Kamoro saat mencari ikan (ilustrasi dari http://old.hifatlobrain.net/2011/11/kamoro-life.html)
Dari tayangan film dokumenter, Suku Kamoro sangat dekat dan cenderung kreatif memanfaatkan berbagai kekayaan lingkungan alam di sekitarnya. Pohon sagu yang telah tumbang pun masih bisa dimanfaatkan oleh Suku Kamoro. Jika ada larva di pohon yang tumbang tersebut, larva ini bisa dimakan, baik mentah ataupun dimasak terlebih dahulu. 

Untuk mengeratkan kekerabatan sekaligus melestarikan kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Kamoro, setiap tahun dihelat sebuah festival budaya Suku Kamoro yang sering disebut “Kamoro Kakuru". Kayanya budaya Papua seperti yang dimiliki oleh Suku Kamoro adalah salah satu kandungan Tanah Papua yang sudah semestinya diangkat di berbagai media. Kondisi Papua yang memiliki karakteristik tersendiri semakin memperkuat warna kebudayaan Nusantara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun