Mahasiswa S2 Antropologi Budaya UGM ini membuka dengan catatan-catatan tentang bagaimana kondisi budaya Papua. Dr. Johsz R. Mansoben sebagai narasumber pertama mengutarakan bahwa sampai sekarang setidaknya ada sekitar 265 bahasa di Papua, dan banyak yang belum diteliti lebih lanjut. Angka tersebut menunjukkan bahwa Papua bukan hanya kaya alamnya saja, melainkan budayanya juga sangatlah potensial untuk diangkat.
Pak Johsz menambahkan, setidaknya ada empat zona ekologi di Papua yang sangat mempengaruhi perilaku dan kearifan lokal masyarakat Papua; pegunungan, pantai, laut, dan rawa. Sebagai salah satu contoh keterpengaruhan zona ekologi terhadap kearifan lokal Papua adalah di Raja Ampat dan daerah pesisir lain di Papua yang menerapkan sistem "sasi", sebuah aturan adat dari masyarakat untuk melindungi lokasi mereka.
Selain itu, penerapan nilai-nilai budaya di Papua juga sebenarnya tercermin dari aktivitas sehari-hari. Orang Papua bekerja tidak untuk mengejar keuntungan, tapi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Seperti kita ketahui, sebagian masyarakat Papua jika mendapatkan uang dalam sehari, maka uang yang didapat tersebut akan habis hari itu juga. Hal seperti ini jelas berbeda ketika dilihat dari kacamata budaya bangsa lain.
Melihat kondisi budaya Papua yang memiliki karakteristik tersendiri, Pak Johsz menuturkan bahwa proses pembangunan sebaiknya menyesuaikan kondisi lokal di Papua. “Kebijakan yang bertujuan baik, jangan sampai keliru pelaksanaannya karena tidak memperhatikan kondisi lokal Papua”, Pak Johsz melanjutkan.
Tantangan tersebut membuat masyarakat Papua mengalami ambivalensi, menempatkan mereka selalu berada di wilayah ‘antara’. Berbagai riset terdahulu mengindisikan bahwa sebelum membuat kebijakan/melaksanakan kegiatan apapun di Papua, sebaiknya pelajari dahulu budayanya. Dr. Lakshmi mencontohkan, gereja bisa masuk di wilayah Papua karena pendekatan budayanya dilakukan oleh missionaris setelah lebih dari 100 tahun. Keberadaan PT Freeport Indonesia yang hadir di Tanah Papua selama sekitar 50 tahun juga ikut berpengaruh dalam proses pembangunan Papua.
Senada dengan pembicara sebelumnya, Michael Manufandu yang menjadi narasumber ketiga mengungkapkan pendapatnya tentang proses pembangunan di Papua. Menurutnya, sebenarnya PT Freeport Indonesia telah melakukan banyak hal untuk Papua, namun sayang jarang terpublikasi dengan maksimal.
Menurut mantan Walikota Jayapura ini, 97% karyawan PT Freeport Indonesia adalah orang Indonesia, dan didominasi oleh orang Papua. Semasa menjabat sebagai walikota, setidaknya beliau menyaksikan bahwa selain Mimika, setiap kabupaten di Papua mendapatkan transfer dana dari pemerintah pusat yang berasal dari dividen PT Freeport.
Pada kesempatan berikutnya Dr. Lakshmi kembali menekankan bahwa dalam menghadapi berbagai perkembangan pembangunan, masyarakat Papua sebaiknya perlu lebih percaya diri dan tidak terombang-ambing terhadap identitas budayanya.
Berikutnya sebagai penutup talkshow, moderator menyimpulkan bahwa kebudayaan Papua tidaklah semata-mata static dan panoramatic. Secara sadar harus diakui bahwa kebudayaan Papua berjalan dinamis bahkan tak sedikit yang kontradiktif dan ambivalen.
Acara Bicara Papua tetap berlangsung meriah meskipun talkshowtelah berakhir. Selain diselingi dengan mop (lelucon ala Papua), tampil juga pertunjukan teater dari alumni Seminari Petrus Sorong, dan pemutaran film Suku Kamoro di hari perdana ini.