Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Energi Baru dan Terbarukan; Modal Nasional di Ruang Internasional

30 Desember 2015   23:12 Diperbarui: 31 Desember 2015   15:49 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Beberapa potret energi baru dan terbarukan di Indonesia (Pusdatin Kementerian ESDM)"][/caption]“Untuk daerah Kepulauan, hingga kini kami masih belum terbayang bagaimana mekanisme energinya agar listrik tersedia di sana. Yang paling realistis ya menggunakan tenaga diesel. Ujung-ujungnya sama, membutuhkan BBM juga, Mas.”, demikian kira-kira yang terlontar dari Manajer salah satu perusahaan energi milik negara saat saya bertugas di Papua. Saat itu saya berkunjung ke kantornya untuk berdiskusi tentang masalah energi di beberapa pulau yang ada di Papua dan Papua Barat.

Cerita singkatnya, empat bulan kemudian sang manajer seakan terheran-heran karena sebuah provider telekomunikasi datang ke kepulauan tempat saya bertugas. Beberapa orang juga bertanya-tanya, ‘listrik saja belum ada, bagaimana mungkin sinyal bisa menyala?’.

Jawabannya satu; energi terbarukan. Kebutuhan energi yang digunakan berbagai perangkat yang membuat sinyal hadir diakomodasi oleh solar cell. Penampang yang menyerap energi matahari tersebut dikonversi menjadi energi listrik dan ditampung dalam baterai-baterai besar yang disusun dalam rak. Sinyalpun hadir melalui bantuan energi yang minim residu ini.      

Sebulan sebelum saya pulang dari Papua, sang manajer akhirnya datang bersama timnya ke pulau. Kemudian sungguh mengejutkan, perusahaan milik negara tempatnya bekerja akhirnya menyediakan fasilitas solar cell di setiap rumah dan fasilitas publik untuk menunjang kebutuhan penerangan. Pulau yang dulunya gelap, tak terjamah, dan cast away di tengah laut Papua, telah terang dengan lampu dan dapat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Dan satu hal yang paling penting; kami telah membuktikan bahwa semua ketersediaan energi ditopang oleh energi terbarukan.    

[caption caption="Panel surya yang menjadi sumber energi BTS yang menyediakan sinyal (dok. pribadi)"]

[/caption]

Kita harus mengakui bahwa energi kini menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, setara dengan pangan, papan, dan sandang. Namun sayangnya komponen ini masih saja menjadi kendala saat berada di berbagai remote area di Indonesia. Padahal, ketersediaan energi menjadi salah satu penentu masa depan sebuah komunitas, bahkan sebuah bangsa. Ada atau tidaknya energi akan menunjang beragam aktivitas masyarakat; menerangi anak-anak sekolah belajar dengan baik hingga meraih masa depan terbaiknya, menjadi bahan bakar saat ibu-ibu memasak, mempermudah nelayan dalam mencari nafkah, dan seterusnya sampai dalam skala yang lebih besar  energi berkontribusi dalam menggerakkan perekonomian secara agregat.

Hingga saat ini, isu yang berkaitan dengan energi menjadi perdebatan yang tak pernah usai di berbagai lapisan. Mulai dari petinggi legislatif hingga sopir ojek, dari perdana menteri sampai dengan buruh, hampir semua pihak memasukkan komponen energi dalam daftar kebutuhan hidup mereka.

Indonesia sebagai negeri yang dikaruniai berbagai macam sumber energi, sebenarnya sangat potensial untuk menjadi pionir dalam isu ini. Sebagian kalangan memang mengamati dengan teliti bahwa ketersediaan sumber energi yang berasal dari fosil semakin tahun semakin menipis. Tetapi sesuai data yang dipublikasi oleh Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) Kementerian ESDM, kita masih punya potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang cukup besar. Potensi tersebut diantaranya mini/micro hydro sebesar 450 MW, biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3 GW.

Lalu apa yang sebaiknya bangsa ini lakukan?

Tentu jawaban normatifnya adalah sudah saatnya kita memaksimalkan kekayaan sumber energi tersebut menjadi penopang kebutuhan rakyat. Negara dituntut untuk hadir mengurus energi hingga menghadirkannya secara langsung kepada masyarakat di berbagai penjuru negeri.

Kalaupun sumber energi dari fosil kian menipis, Indonesia yang diperkirakan memiliki 40% (atau sekitar 27 GW) cadangan panas bumi dunia, akan sangat aneh jika saja mengalami krisis energi. Kayanya kandungan panas bumi di Indonesia tidak lain karena banyaknya gunung berapi (ring of fire) yang tersebar di berbagai wilayah. Bahkan, di beberapa titik yang tidak ditemui gunung berapi pun memiliki potensi panas bumi.

[caption caption="Overview persebaran dan potensi panas bumi di Indonesia (www.gbgindonesia.com)"]

[/caption]

Pemerintah baik melalui Kementerian ESDM, PLN, Pertamina, maupun berbagai elemen lainnya telah mengupayakan panas bumi sebagai salah satu sumber energi altermatif, salah satunya dengan membangun beberapa PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi).

 [caption caption="Peta sebaran panas bumi di Indonesia (Statistik EBTKE 2014, Pusdatin Kementerian ESDM)"]

[/caption]

 

Energi terbarukan lainnya yang sangat mudah dijumpai di Indonesia adalah energi surya. Sampai sekarang, ketersediaan sinar matahari yang melimpah hampir sepanjang tahun di Indonesia masih belum optimal pemanfaatannya. Seperti pada cerita pembuka yang saya tulis di atas, energi surya sebenarnya sangat tepat untuk menjangkau daerah-daerah kepulauan, apalagi yang jauh dari pusat kota kabupaten/propinsi, atau berada di garis depan perbatasan.

Hingga sekarang, pemerintah telah bergerak dengan membangun PLTS di 121 lokasi/unit dengan total kapasitas yang dihasilkan sebanyak 5.270 KW. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17.246 KK telah memanfaatkan energi surya sebagai sumber energi listrik. PLTS Terpusat di pulau terdepan juga telah mencapai 58 unit dengan kapasitas 2.900 KW, dan melistriki 10.578 KK.

Angka-angka tersebut masih dianggap belum maksimal dibanding jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi energi nasional yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Mengapa?

Permasalahan utamanya adalah perkara biaya. Sebagai catatan, baru-baru ini Presiden Jokowi meresmikan IPP PLTS (Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang yang menghasilkan daya 5 MWp. Total investasi untuk PLTS yang tertanam di lahan sekitar 7 hektar ini US$ 11,2 juta. Bisa dibayangkan berapa dana yang harus disediakan untuk menyediakan energi surya di negara seluas Indonesia.

Investasi awal untuk mengelola energi yang sangat ramah lingkungan ini memang relatif masih mahal. Selain nominal investasi yang fantastis, energi baru dan terbarukan juga bersaing dengan harga energi fosil yang sekarang sedang mengalami penurunan harga dengan signifikan.

Kiprah Pertamina Sebagai Pemasok Energi Nasional

Permasalahan energi yang terjadi selama bertahun-tahun di Indonesia membuat sorotan kepada beberapa perusahaan negara yang mengelola energi semakin tajam, salah satunya Pertamina. Perusahaan negara yang meraih peringkat 130 dunia versi Forbes magazine pada tahun lalu ini dianggap ikut bertanggungjawab dalam penyediaan pasokan energi nasional.

Di satu sisi, Pertamina dituntut untuk untung, sementara di sisi lain belanja semakin mahal. Kondisi Pertamina kian terjepit karena kandungan minyak bumi semakin menipis, padahal harga minyak dunia belum menunjukkan tren peningkatan. Melihat situasi seperti ini, saya sepakat dengan komentar Dirgo W Purbo (pakar ketahanan energi), yang menyatakan bahwa Pertamina yang bisa bertahan seperti sekarang ini sudah sangat luar biasa. Tidak ada perusahaan multinasional yang bisa berperan seperti Pertamina yang membeli minyak dalam dolar kemudian menjualnya dalam rupiah. Sebagai perusahaan milik negara, Pertamina juga diwajibkan menjalankan PSO (public service obligation).

Meskipun ditempa dengan berbagai kondisi yang menyulitkan, langkah yang dilakukan perusahaan yang pada pembukuan 2014 berpendapatan sebesar US$ 70,6 miliar dan total aset US$ 50,3 miliar, dan menaungi 27.429 karyawan ini cukup tepat ketika mulai berkonsentrasi pada energi baru dan terbarukan. "Kami menargetkan untuk memenuhi bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025," kata Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina saat perayaan HUT 58 Pertamina beberapa waktu yang lalu. Pernyataan tersebut memperkuat penuturan Direktur Gas, Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani yang pada kesempatan sebelumnya mengatakan bahwa Pertamina siap berinvestasi bisnis hulu energi baru dan terbarukan. Menurutnya, capital expenditure yang diperlukan untuk pengembangan bisnis energi baru terbarukan, di luar panas bumi hingga 2019 diperkirakan mencapai sekitar US$1,5 miliar.

Melihat bagaimana Pertamina berjibaku memenuhi kebutuhan energi nasional, rasanya memang perlu dukungan penuh dari pemerintah pada perusahaan yang dinahkodai oleh Dwi Sutjipto ini. Namun, seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi saat Kompasianer diajak makan siang di istana (12/12/2015), rasanya pemerintah akan lebih ‘berani’ menantang perusahaan milik negara untuk berkompetisi dengan perusahaan dari luar negeri, dan meminimalisir proteksi agar daya saingnya semakin tinggi. 

Maka ketika berharap dukungan pemerintah, yang paling realistis bagi Pertamina adalah dengan menunjukkan kinerja terbaiknya dalam mengelola bisnis energi, terutama energi baru dan terbarukan. Komitmen Nawacita yang diusung Presiden Jokowi cenderung ideal bagi Pertamina dengan membuat terobosan di bidang energi baru dan terbarukan. Selain karena jumlah potensinya yang melimpah, energi inilah yang dianggap bisa memeratakan kedaulatan energi di negeri kepulauan seperti Indonesia.  

 

[caption caption="Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto dan Direktur Gas, Energi Baru & Terbarukan Pertamina Yenni Andayani menjelaskan tentang kapasitas terpasa proyek pengembangan bisnis geothermal Pertamina kepada Presiden RI Joko Widodo didampingi Menteri ESDM Sudirman Said di booth Pertamina, pada The 4th Indonesia EBTKE ConEx 2015, di Jakarta Convention Center, Rabu (19/8/2015) (sumber: Mingguan Energia edisi 24 Agustus 2015)"]

[/caption]

 

Kolaborasi Sebelum Berkompetisi

Langkah utama yang perlu dilakukan oleh Pertamina agar didukung penuh oleh pemerintah bahkan dipercaya lebih oleh masyarakat dalam mengelola kekayaan energi Indonesia adalah dengan kembali fokus kepada urusan sumber daya manusia, baik dari sisi internal, maupun eksternal.  

Sebagai sebuah perusahaan, Pertamina memiliki berbagai lini bisnis. Kolaborasi antar unit mutlak diperlukan, dan segera membuang jauh ego sektoral antar unit usaha. Dengan beragam anak perusahaan yang kompak dan berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, kemampuan Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia akan semakin powerful

Sampai dengan 2014, Pertamina menaungi 27.429 karyawan. Dan sudah bukan rahasia lagi, Pertamina diisi oleh lulusan-lulusan terbaik dari berbagai kampus besar nasional maupun internasional. Manusia-manusia brilian yang kini duduk di berbagai posisi Pertamina inilah yang menjadi modal Pertamina sebelum keluar dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam proses bisnis.  

Langkah berikutnya adalah secara proaktif Pertamina melakukan sinergi antar BUMN. Rasanya tak asing bagi BUMN melakukan sinergi, seperti yang telah dilakukan Pertamina bersama PLN saat mengadakan workshop bersama terkait energi baru dan terbarukan beberapa waktu yang lalu. Sinergi seperti ini perlu semakin diperkuat dan diperluas agar jangkauan Pertamina semakin besar. Sinergi yang dilakukan ke depan tidak hanya sesama perusahaan yang bergerak di bidang energi, tetapi juga lintas sektor. 

Selanjutnya, Pertamina bisa lebih mengintensifkan lagi kerja sama dengan pemerintah daerah seperti yang pernah dilakukan dengan Pemerintah Kota Palu beberapa waktu yang lalu. Kerja sama seperti ini adalah salah satu wujud pelibatan entitas lokal yang mengedepankan transparansi dan bentuk 'pancingan' bagi pemerintah pusat agar lebih mendukung lagi proses bisnis yang dilakukan Pertamina. 

Langkah cerdas berikutnya adalah mengedepankan pendekatan kreatif dengan masyarakat. Kedekatan dengan masyarakat setempat menjadi kunci bagaimana sebuah project bisa berjalan mulus. Bahkan kadang tidak terduga, masyarakat grass-root memiliki kecerdasan alami yang sesuai dengan karakter wilayah dan sosialnya sehingga memunculkan inovasi-inovasi untuk menyelesaikan masalah energi seperti pada cerita sederhana di awal tulisan ini.

Maka sudah saatnya Pertamina mengganti istilah bagi masyarakat sebagai 'yang terdampak' menjadi 'subjek' dari proses penyediaan energi nasional. Pertamina bisa mencoba membalik konsep CSR dengan menerapkan CSR before business saat mengawali mengeksekusi rencana bisnisnya di suatu wilayah. 

Masyarakat yang telah tergandeng melalui 4 pilar konsep CSR Pertamina yaitu: green village (pemberdayaan ekonomi masyarakat),  Pertamina SEHATI (kesehatan), Bright With Pertamina (Pendidikan) dan ecopreneurship kemudian akan menjadi kepanjangan tangan Pertamina dalam memonitor unit bisnisnya. Dari sinilah mutualisme menjadi nyata; masyarakat merasa diuntungkan dan akan ikut menjaga ketersediaan energi di daerahnya, dan Pertamina mendapatkan untung karena menyediakan energi bagi mereka. 

[caption caption="Issue Program CSR Pertamina (www.pertamina.com/social-responsibility/)"]

[/caption]

Sebagai Perusahaan yang bulan ini berusia hampir 6 dekade, Pertamina tak perlu ciut nyali berhadapan dengan kompetitor yang datang dari luar. Sekali lagi, modal nasional yang dimiliki Pertamina bukan hanya suntikan APBN dan kekayaan sumber daya alam maupun beragam energi baru dan terbarukan yang ada di Indonesia semata. Manusia Indonesia juga menjadi modal utama Pertamina untuk mempersiapkan pertarungan di ruang-ruang internasional.

 

Pertamina Menginspirasi Indonesia, Mendunia

Mampukah Pertamina mendapat tempat di kancah global? Sangat mungkin! Seiring dengan laju perekonomian berbagai negara di dunia, kebutuhan energi menjadi semakin esensial untuk menopangnya. Data dan fakta membuktikan bahwa Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Rusia sebagai negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di dunia menghadapi permasalahan konsumsi energi yang tinggi pula. Kebutuhan energi mereka inilah yang menjadi ruang bagi Pertamina untuk menduniakan tagline renewable spirit dengan menghadirkan energi terbarukan kepada mereka.

Berikutnya, Timur tengah dan negara tropis lainnya di kawasan Asia Pasifik adalah daftar negara-negara yang menjadi incaran pasar utama Pertamina. Kondisi alam yang relatif mendapatkan karunia energi terbarukan yang hampir serupa dengan Indonesia akan memudahkan Pertamina untuk hadir mengisi celah-celah kebutuhan energi di sana. 

[caption caption="Konsumsi Energi Dunia (https://yearbook.enerdata.net/)"]

[/caption]

 Konsumsi energi dunia (https://yearbook.enerdata.net/)

Pertamina sudah seyogyanya optimis menghadapi persaingan internasional, karena modal nasional yang dimiliki Pertamina sudah semestinya menjadi andalan. Kontur Indonesia yang secara geografis begitu beragam dan secara sosiologis pastinya menemukan berbagai tantangan adalah tempaan yang membawa Pertamina menjadi perusahaan unggulan. Artinya, ketika Pertamina bisa menaklukkan pasar di Indonesia, kemungkinan akan melenggang dengan mulus di ruang internasional. 

Semoga impian Pertamina yang ingin menginspirasi Indonesia dan mendunia bisa terwujud nyata, segera! 

 

___________

Referensi: 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun