Di satu sisi, Pertamina dituntut untuk untung, sementara di sisi lain belanja semakin mahal. Kondisi Pertamina kian terjepit karena kandungan minyak bumi semakin menipis, padahal harga minyak dunia belum menunjukkan tren peningkatan. Melihat situasi seperti ini, saya sepakat dengan komentar Dirgo W Purbo (pakar ketahanan energi), yang menyatakan bahwa Pertamina yang bisa bertahan seperti sekarang ini sudah sangat luar biasa. Tidak ada perusahaan multinasional yang bisa berperan seperti Pertamina yang membeli minyak dalam dolar kemudian menjualnya dalam rupiah. Sebagai perusahaan milik negara, Pertamina juga diwajibkan menjalankan PSO (public service obligation).
Meskipun ditempa dengan berbagai kondisi yang menyulitkan, langkah yang dilakukan perusahaan yang pada pembukuan 2014 berpendapatan sebesar US$ 70,6 miliar dan total aset US$ 50,3 miliar, dan menaungi 27.429 karyawan ini cukup tepat ketika mulai berkonsentrasi pada energi baru dan terbarukan. "Kami menargetkan untuk memenuhi bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025," kata Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina saat perayaan HUT 58 Pertamina beberapa waktu yang lalu. Pernyataan tersebut memperkuat penuturan Direktur Gas, Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani yang pada kesempatan sebelumnya mengatakan bahwa Pertamina siap berinvestasi bisnis hulu energi baru dan terbarukan. Menurutnya, capital expenditure yang diperlukan untuk pengembangan bisnis energi baru terbarukan, di luar panas bumi hingga 2019 diperkirakan mencapai sekitar US$1,5 miliar.
Melihat bagaimana Pertamina berjibaku memenuhi kebutuhan energi nasional, rasanya memang perlu dukungan penuh dari pemerintah pada perusahaan yang dinahkodai oleh Dwi Sutjipto ini. Namun, seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi saat Kompasianer diajak makan siang di istana (12/12/2015), rasanya pemerintah akan lebih ‘berani’ menantang perusahaan milik negara untuk berkompetisi dengan perusahaan dari luar negeri, dan meminimalisir proteksi agar daya saingnya semakin tinggi.Â
Maka ketika berharap dukungan pemerintah, yang paling realistis bagi Pertamina adalah dengan menunjukkan kinerja terbaiknya dalam mengelola bisnis energi, terutama energi baru dan terbarukan. Komitmen Nawacita yang diusung Presiden Jokowi cenderung ideal bagi Pertamina dengan membuat terobosan di bidang energi baru dan terbarukan. Selain karena jumlah potensinya yang melimpah, energi inilah yang dianggap bisa memeratakan kedaulatan energi di negeri kepulauan seperti Indonesia. Â
Â
[caption caption="Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto dan Direktur Gas, Energi Baru & Terbarukan Pertamina Yenni Andayani menjelaskan tentang kapasitas terpasa proyek pengembangan bisnis geothermal Pertamina kepada Presiden RI Joko Widodo didampingi Menteri ESDM Sudirman Said di booth Pertamina, pada The 4th Indonesia EBTKE ConEx 2015, di Jakarta Convention Center, Rabu (19/8/2015) (sumber: Mingguan Energia edisi 24 Agustus 2015)"]
Â
Kolaborasi Sebelum Berkompetisi
Langkah utama yang perlu dilakukan oleh Pertamina agar didukung penuh oleh pemerintah bahkan dipercaya lebih oleh masyarakat dalam mengelola kekayaan energi Indonesia adalah dengan kembali fokus kepada urusan sumber daya manusia, baik dari sisi internal, maupun eksternal. Â
Sebagai sebuah perusahaan, Pertamina memiliki berbagai lini bisnis. Kolaborasi antar unit mutlak diperlukan, dan segera membuang jauh ego sektoral antar unit usaha. Dengan beragam anak perusahaan yang kompak dan berjalan sesuai dengan prinsip good corporate governance, kemampuan Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia akan semakin powerful.Â
Sampai dengan 2014, Pertamina menaungi 27.429 karyawan. Dan sudah bukan rahasia lagi, Pertamina diisi oleh lulusan-lulusan terbaik dari berbagai kampus besar nasional maupun internasional. Manusia-manusia brilian yang kini duduk di berbagai posisi Pertamina inilah yang menjadi modal Pertamina sebelum keluar dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam proses bisnis. Â