Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Lebih Damai Aslinya, Tak Seperti Komentar Dunia Maya

19 Juli 2015   23:13 Diperbarui: 19 Juli 2015   23:13 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Anak-anak Kepulauan Karas saat sedang mandi air garam"][/caption]

Dua tahun yang lalu, saya ditugaskan oleh lembaga tempat saya bekerja untuk terbang ke Nabire, Papua. Pilihan tugas jatuh kepada saya karena kata atasan saya masih muda, biar lebih mengenal Nusantara dan menambah jam terbang mengelola hubungan dengan stakeholders, selain karena saya pernah bertugas di Papua menjadi alasan kuat berikutnya.

Tugas yang diamanatkan kepada saya sebenarnya tertunda, karena beberapa minggu sebelum saya berangkat ada konflik di sana. Informasi dari berbagai media yang dihimpun tentang konflik yang terjadi membuat keberangkatan akhirnya diundur. Tugas luar kota yang biasanya diurus oleh dua orang pun diringkas untuk seorang saja, karena biaya yang relatif lebih mahal untuk menuju Papua.

Saat itu pesawat yang saya naiki berputar 3 kali menghindari badai di sekitar Teluk Cenderawasih sebelum akhirnya landing dengan selamat di bandara Nabire. Sesaat setelah saya menjejakkan kaki pertama kali di Nabire, saya langsung diajak sopir yang mengantar saya berkeliling sebentar menilik keadaan kota. Kondisi telah kondusif saat kami melintas. Tidak ada keributan sama sekali, bahkan bekasnya pun tidak saya jumpai.

Saat pelatihan yang mempertemukan guru, kepala sekolah, dan perwakilan Dinas Pendidikan berlangsung, banyak hal menarik yang saya amati. Rupanya akulturasi telah terjadi di sini. Meskipun tak sesulit Bintuni yang hanya bisa disinggahi pesawat jenis cessna, Nabire sebenarnya tidak semudah diakses seperti Jayapura dan Sorong. Namun Nabire sudah ditinggali oleh orang Bugis, Toraja, apalagi Jawa. Bermacam suku dari berbagai daerah di Papua juga menetap di kota ini, tidak hanya pribumi Nabire. Selain dari Paniai dan warga suku Dani, beberapa warga asal Kaimana dan Ayamaru juga saya temui.

[caption caption="Mereka berbeda suku dan agama, tetapi tetap rukun dan damai di Papua (dok. pribadi)"]

[/caption]

Melihat harmonisnya peserta pelatihan, saya jadi teringat Fakfak, sebuah kota tua di Papua yang pernah saya tinggali setahun sebelumnya. Kota dengan julukan kota pala tersebut sangat plural. Tak jarang saya naik ojek dengan sopir dari Jawa Timur. Sering juga saya membeli sembako dari Mama Banda. Bahkan saya tinggal di rumah yang melafalkan bahasa Gorom (sebuah daerah di Maluku) dengan sangat fasih.

Fakfak menganut prinsip ‘satu tungku tiga batu’, satu keluarga bisa tiga agama. Di Fakfak saya sering menemui satu keluarga besar dengan nama marga yang sama, tapi agamanya berseberangan. Sudah ratusan tahun kota ini telah deal dengan perbedaan.

Beberapa praktek kerukunan saya alami dan saksikan sendiri saat berada di Papua. Saya masih sangat ingat, saat menumpang untuk menginap di rumah orang keturunan Kei (Maluku) yang telah lama menetap di Papua. Kami bertemu baru beberapa kali, tetapi orang ini berbaik hati memberi tempat menginap sementara kepada saya di rumahnya. Saat saya selesai sholat di kamar yang saya tempati, saya baru sadar bahwa yang saya tumpangi ini bukanlah seorang muslim, karena dengan gamblang saya melihat salib yang rapi terpasang di dinding. Namun tak ada cekcok apalagi pertikaian. Semua aktivitas selama saya menumpang di rumah ini berjalan lancar. Sampai sekarang kami masih berkirim kabar. Terakhir saat saling mengirim ucapan lebaran beberapa hari yang lalu.

Selama di Papua, saya juga pernah menjumpai seorang kepala sekolah asal Biak yang menjadi penganut Kristen yang taat. Setiap kali menjelang sholat jumat, kepala sekolah ini justru mengingatkan murid-muridnya yang muslim untuk segera bergegas ke masjid.

Cerita lain tentang kerukunan di Papua yang saya saksikan adalah saat ada seorang teman yang beragama katolik pernah diberi tumpangan oleh saudaranya yang muslim menyeberang laut 2 jam, kemudian diantar menggunakan sepeda motor menembus hujan agar tidak terlambat hadir di acara misa di sebuah gereja.

Beragam bentuk kerukunan dan kedamaian antar pemeluk agama begitu sering saya jumpai. Mungkin tak cukup jika saya tuliskan semuanya di postingan ini.

[caption caption="Perkantoran, toko, rumah penduduk, masjid, dan gereja tampak menghias Fakfak, Papua Barat (dok. pribadi)"]

[/caption]

Bukan berarti tak pernah ada gesekan, saya juga pernah menemui kejadian yang mendebarkan. Saya masih ingat saat terjadi keributan antar suku di Pasar Tumburuni yang menjadi ikon perekonomian Fakfak. Sekelompok orang sudah turun ke jalan membawa senjata tajam, panah, dan bersiap untuk waita. Segera saya hubungi Dandim asal Palembang yang saat itu menjabat untuk meminta keterangan.

"Hanya salah paham, dewan adat yang akan ambil sikap. Kondisi bisa dikendalikan.”, begitu jawab Pak Komandan.

Benar saja, sore harinya para raja dari 9 petuanan yang masih ada di Fakfak dan beberapa tokoh adat berkumpul. Dialog pun dilakukan. Kesepakatan damai diputuskan. Keributan setengah hari itupun segera mereda. Jual beli pinang, transaksi ikan, dan aktivitas penduduk lainnya di pasar kembali normal.

Mungkin hampir semua orang merasa tak ada yang aneh dengan kedamaian di Tanah Papua. Toleransi yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari di Papua dianggap sesuatu yang lumrah. Maka saya sendiri heran, mengapa image tentang Papua masih sering diidentikkan dengan daerah rawan konflik? Dan parahnya, mengapa setiap ada keributan selalu digeneralisir seolah semua wilayah Papua sedang ribut?

Saat saya berada di Papua, berkali-kali, setiap ada berita konflik di Papua keluarga saya di Jawa selalu khawatir. Ya, memang ada keributan, tapi bukan se-Papua. Kekhawatiran keluarga muncul saat melihat pemberitaan di media. Ketika ada masalah di Timika contohnya, tulisan beritanya adalah "Papua Berdarah". Tapi saat ada kebakaran di Surabaya misalnya, mengapa judul beritanya bukan "Jawa Dilahap Si Jago merah"?

Setahu saya, gabungan luas Papua dan Papua Barat tiga kali lebih besar dari luas Pulau Jawa. Di wilayah Papua dan Papua Barat ada lebih dari 500 suku bangsa dengan beragam agama dan budaya. Papua terlalu luas untuk dibuat satu penggambaran bukan? Dan mengapa pemberitaan positif mengenai Papua relatif jarang sekali dinaikkan sebagai headline pemberitaan dan trending topic sebuah obrolan?

Saya mengiyakan, bahwa tidak semua orang Papua tertib aturan. Silahkan lihat di beberapa kota saat ada orang Papua yang tidak memakai helm di jalanan. Praktek korupsi juga masih mudah ditemukan di beberapa lembaga di Papua. Tapi, ada juga kan warga dari kabupaten yang lain yang melanggar aturan? Yang ditangkap KPK juga ada orang Batak, Jawa, atau daerah lainnya?

Tidak, saya tidak meminta kemakluman atas kesalahan orang Papua yang tidak sesuai aturan, apalagi membenarkannya. Saya hanya menyebutkan sedikit dari sekian banyak fakta bahwa yang berbuat keliru di negeri ini tidak hanya Papua.

Saya juga ingin sedikit menjembatani pandangan, bahwa apa yang kita lihat tentang Papua selama ini terlalu dipaksakan dengan framing yang cukup tidak seimbang. Sejauh ini, saya merasakan hal serupa dalam melihat insiden di Tolikara yang sedang ramai-ramainya dibicarakan.

Berita yang kita baca di media bisa saja belum menggambarkan secara utuh dan mendetail seperti keadaan aslinya. Namun saat berita dibaca, pembaca berita sangat mungkin memberikan tanggapannya. Penambahan kata-kata atas respon setelah membaca berita ini dibaca lagi oleh orang lainnya, dan sangat mungkin memberikan komentar-komentar tambahan lagi.

Saya paham bahwa setiap orang berhak untuk berkomentar di era keterbukaan seperti ini. Tapi setidaknya berkomentarlah dengan bijak, dan bisa dipertanggungjawabkan serta mau bertanggungjawab atas apa yang dilontarkan.

Kembali tentang kejadian di Tolikara, pertanyaan pentingnya adalah apa yang terjadi sesungguhnya di Tolikara? Mengapa, sebagian dari kita yang tidak sepenuhnya tahu tentang kejadian senyatanya di tempat kejadian perkara, hanya membaca berita, apalagi yang menerima komentar, bahkan komentar dari komentar, tiba-tiba mengajak massa untuk memberi kesimpulan singkat dan mempengaruhi mereka untuk melakukan kekerasan?

Saya melihat, ketika yang terjadi di Tolikara tidak bersentuhan dengan persoalan agama, exposure beritanya mungkin tidak seheboh ini. Cek saja respon terhadap musibah embun beku di Lanny Jaya yang telah merenggut 11 nyawa. Sama-sama ada yang meninggal di sana, tetapi mana kepedulian kita terhadap saudara di Lanny Jaya? Silahkan cek juga tentang kebesaran hati umat kristen yang membantu saudara muslimnya selama masa lebaran, dan kebaikan orang muslim yang membantu saudara kristen saat natal, adakah beritanya?  Berapa jumlah share beritanya dibanding peristiwa Tolikara?

Bagi saya ada yang aneh saat mendengar dan melihat kabar bahwa orang Papua tidak suka dengan kedamaian. Rasanya ada yang ganjil dan masih belum percaya kalau orang Papua menentang toleransi dan kerukunan. Betulkah itu orang Papua yang memang menginginkan adanya kerusuhan? Mengapa demikian? Mungkinkah hanya sebagian oknum saja yang menjadi pelaku peristiwa ini? Siapa sebenarnya dalang insiden ini? Apakah ada kaitannya kejadian yang terjadi di Tolikara dengan isu disintegrasi?

Jika memang kasus pelarangan sholat ied dan mengenakan hijab serta pembakaran tempat ibadah di Tolikara memang terbukti, mari didiskusikan dan dicari solusi terbaiknya. Saya percaya, umat apapun yang hidup di Papua mau diajak bicara.

Sebagai orang yang telah dan sampai sekarang berinteraksi dengan saudara-saudara dari Papua, saya merasa Papua lebih indah dan ramah aslinya, daripada yang saya lihat dari komentar-komentar yang muncul di dunia maya.

Sebagai seorang muslim, saya juga merefleksi sikap saudara-saudara muslim lainnya. Saya cukup salut atas komentar cepat terhadap insiden di Tolikara, tak sedikit pula yang bergegas mengumpulkan donasi untuk kembali membangun masjid di sana. Namun saya juga menunggu aksi cepat tanggap kita atas penyelesaian pembangunan masjid lainnya, agar tidak betambah lama panitia pembangunan masjid meminta sumbangan di pinggir jalan sambil kepanasan.

Sebagai orang Indonesia, sakit rasanya saat melihat negeri yang memang terlahir dengan berkah kebhinekaan ini mulai mudah goyah ketika diadu domba. Ada perasaan kalut saat semakin ramai membicarakan bangsa yang konon diprediksi seagai calon pemimpin bangsa-bangsa lainnya di dunia, masih terus bergejolak mengurusi perbedaan yang menjadi fakta sejak bangsa ini merdeka.

Salam damai untuk kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun