Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Lebih Damai Aslinya, Tak Seperti Komentar Dunia Maya

19 Juli 2015   23:13 Diperbarui: 19 Juli 2015   23:13 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beragam bentuk kerukunan dan kedamaian antar pemeluk agama begitu sering saya jumpai. Mungkin tak cukup jika saya tuliskan semuanya di postingan ini.

[caption caption="Perkantoran, toko, rumah penduduk, masjid, dan gereja tampak menghias Fakfak, Papua Barat (dok. pribadi)"]

[/caption]

Bukan berarti tak pernah ada gesekan, saya juga pernah menemui kejadian yang mendebarkan. Saya masih ingat saat terjadi keributan antar suku di Pasar Tumburuni yang menjadi ikon perekonomian Fakfak. Sekelompok orang sudah turun ke jalan membawa senjata tajam, panah, dan bersiap untuk waita. Segera saya hubungi Dandim asal Palembang yang saat itu menjabat untuk meminta keterangan.

"Hanya salah paham, dewan adat yang akan ambil sikap. Kondisi bisa dikendalikan.”, begitu jawab Pak Komandan.

Benar saja, sore harinya para raja dari 9 petuanan yang masih ada di Fakfak dan beberapa tokoh adat berkumpul. Dialog pun dilakukan. Kesepakatan damai diputuskan. Keributan setengah hari itupun segera mereda. Jual beli pinang, transaksi ikan, dan aktivitas penduduk lainnya di pasar kembali normal.

Mungkin hampir semua orang merasa tak ada yang aneh dengan kedamaian di Tanah Papua. Toleransi yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari di Papua dianggap sesuatu yang lumrah. Maka saya sendiri heran, mengapa image tentang Papua masih sering diidentikkan dengan daerah rawan konflik? Dan parahnya, mengapa setiap ada keributan selalu digeneralisir seolah semua wilayah Papua sedang ribut?

Saat saya berada di Papua, berkali-kali, setiap ada berita konflik di Papua keluarga saya di Jawa selalu khawatir. Ya, memang ada keributan, tapi bukan se-Papua. Kekhawatiran keluarga muncul saat melihat pemberitaan di media. Ketika ada masalah di Timika contohnya, tulisan beritanya adalah "Papua Berdarah". Tapi saat ada kebakaran di Surabaya misalnya, mengapa judul beritanya bukan "Jawa Dilahap Si Jago merah"?

Setahu saya, gabungan luas Papua dan Papua Barat tiga kali lebih besar dari luas Pulau Jawa. Di wilayah Papua dan Papua Barat ada lebih dari 500 suku bangsa dengan beragam agama dan budaya. Papua terlalu luas untuk dibuat satu penggambaran bukan? Dan mengapa pemberitaan positif mengenai Papua relatif jarang sekali dinaikkan sebagai headline pemberitaan dan trending topic sebuah obrolan?

Saya mengiyakan, bahwa tidak semua orang Papua tertib aturan. Silahkan lihat di beberapa kota saat ada orang Papua yang tidak memakai helm di jalanan. Praktek korupsi juga masih mudah ditemukan di beberapa lembaga di Papua. Tapi, ada juga kan warga dari kabupaten yang lain yang melanggar aturan? Yang ditangkap KPK juga ada orang Batak, Jawa, atau daerah lainnya?

Tidak, saya tidak meminta kemakluman atas kesalahan orang Papua yang tidak sesuai aturan, apalagi membenarkannya. Saya hanya menyebutkan sedikit dari sekian banyak fakta bahwa yang berbuat keliru di negeri ini tidak hanya Papua.

Saya juga ingin sedikit menjembatani pandangan, bahwa apa yang kita lihat tentang Papua selama ini terlalu dipaksakan dengan framing yang cukup tidak seimbang. Sejauh ini, saya merasakan hal serupa dalam melihat insiden di Tolikara yang sedang ramai-ramainya dibicarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun