Berita yang kita baca di media bisa saja belum menggambarkan secara utuh dan mendetail seperti keadaan aslinya. Namun saat berita dibaca, pembaca berita sangat mungkin memberikan tanggapannya. Penambahan kata-kata atas respon setelah membaca berita ini dibaca lagi oleh orang lainnya, dan sangat mungkin memberikan komentar-komentar tambahan lagi.
Saya paham bahwa setiap orang berhak untuk berkomentar di era keterbukaan seperti ini. Tapi setidaknya berkomentarlah dengan bijak, dan bisa dipertanggungjawabkan serta mau bertanggungjawab atas apa yang dilontarkan.
Kembali tentang kejadian di Tolikara, pertanyaan pentingnya adalah apa yang terjadi sesungguhnya di Tolikara? Mengapa, sebagian dari kita yang tidak sepenuhnya tahu tentang kejadian senyatanya di tempat kejadian perkara, hanya membaca berita, apalagi yang menerima komentar, bahkan komentar dari komentar, tiba-tiba mengajak massa untuk memberi kesimpulan singkat dan mempengaruhi mereka untuk melakukan kekerasan?
Saya melihat, ketika yang terjadi di Tolikara tidak bersentuhan dengan persoalan agama, exposure beritanya mungkin tidak seheboh ini. Cek saja respon terhadap musibah embun beku di Lanny Jaya yang telah merenggut 11 nyawa. Sama-sama ada yang meninggal di sana, tetapi mana kepedulian kita terhadap saudara di Lanny Jaya? Silahkan cek juga tentang kebesaran hati umat kristen yang membantu saudara muslimnya selama masa lebaran, dan kebaikan orang muslim yang membantu saudara kristen saat natal, adakah beritanya? Berapa jumlah share beritanya dibanding peristiwa Tolikara?
Bagi saya ada yang aneh saat mendengar dan melihat kabar bahwa orang Papua tidak suka dengan kedamaian. Rasanya ada yang ganjil dan masih belum percaya kalau orang Papua menentang toleransi dan kerukunan. Betulkah itu orang Papua yang memang menginginkan adanya kerusuhan? Mengapa demikian? Mungkinkah hanya sebagian oknum saja yang menjadi pelaku peristiwa ini? Siapa sebenarnya dalang insiden ini? Apakah ada kaitannya kejadian yang terjadi di Tolikara dengan isu disintegrasi?
Jika memang kasus pelarangan sholat ied dan mengenakan hijab serta pembakaran tempat ibadah di Tolikara memang terbukti, mari didiskusikan dan dicari solusi terbaiknya. Saya percaya, umat apapun yang hidup di Papua mau diajak bicara.
Sebagai orang yang telah dan sampai sekarang berinteraksi dengan saudara-saudara dari Papua, saya merasa Papua lebih indah dan ramah aslinya, daripada yang saya lihat dari komentar-komentar yang muncul di dunia maya.
Sebagai seorang muslim, saya juga merefleksi sikap saudara-saudara muslim lainnya. Saya cukup salut atas komentar cepat terhadap insiden di Tolikara, tak sedikit pula yang bergegas mengumpulkan donasi untuk kembali membangun masjid di sana. Namun saya juga menunggu aksi cepat tanggap kita atas penyelesaian pembangunan masjid lainnya, agar tidak betambah lama panitia pembangunan masjid meminta sumbangan di pinggir jalan sambil kepanasan.
Sebagai orang Indonesia, sakit rasanya saat melihat negeri yang memang terlahir dengan berkah kebhinekaan ini mulai mudah goyah ketika diadu domba. Ada perasaan kalut saat semakin ramai membicarakan bangsa yang konon diprediksi seagai calon pemimpin bangsa-bangsa lainnya di dunia, masih terus bergejolak mengurusi perbedaan yang menjadi fakta sejak bangsa ini merdeka.
Salam damai untuk kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H