Kondisi ekonomi keluarga yang masih apa adanya membuat orang tua belum bisa memberi ruang keuangan untuk membeli sepeda saat itu. Tapi namanya juga anak-anak, saya seolah tak mau tahu bagaimana keadaan orang tua. Tetap keras kepala dan terus merengek dibelikan sepeda.
Meskipun belum memiliki sepeda, hari-hari sepanjang kelas 3 saya isi dengan berlatih bersepeda bersama teman-teman hingga akhirnya saya benar-benar bisa mengendarainya. Saya selalu menantikan saat teman-teman meminta untuk giliran mengemudikan sepeda. Walaupun belum bebas memainkan sepeda karena bukan milik sendiri, setidaknya saya merasakan berbagai sensasi yang berbeda saat menaiki sepeda teman-teman yang jenisnya tak seragam. Ada model sepeda mini yang tampak manis dengan keranjang di depan yang biasa dipakai anak perempuan, ada pula yang dimodifikasi ala motor gede lengkap dengan "jalu" di bagian poros ban belakang yang biasanya ada di sepeda teman laki-laki. Â
Mungkin melihat kemauan keras atau karena bosan mendengar keluhan yang sering saya tunjukkan, akhirnya orang tua menyanggupi keinginan terbesar saya saat itu. Dengan penuh perhatian, bapak dan ibu memberanikan diri untuk meminjam sepeda milik anak dari teman kerja bapak. Beruntungnya, rekan seperjuangan bapak yang relatif berkecukupan tersebut berbaikhati dan meminjamkan sepeda anaknya kepada saya.Â
Sepeda pinjaman dengan dominasi warna kuning dan merah akhirnya menghias rumah. Meskipun statusnya masih pinjaman, sepeda ini bebas saya bawa ke mana saja, sampai batas waktu yang tidak dibatasi.Â
Tiga tahun kemudian, tiba saatnya saya disunat. Awalnya agak takut saat tahu akan disunat. Sakit, pastinya. Namun saat momentum disunat ini, biasanya orang tua begitu baik dengan menuruti apapun yang dimaui anak lelakinya. Pikiran tersebut kemudian memotivasi saya agar secepatnya disunat.Â
"Kamu pengen apa Jang?", Ibu menanyaiku selesai prosesi sunat selesai. Â
"Sepeda!" Saya menjawabnya mantap.
"Sudah bisa ditebak!", sahut Ibu.Â
Benar saja, orang tua langsung memenuhi hasrat kuat anaknya. Beberapa hari setelah acara sunatan selesai, ibu mengajak saya ke kota. Dan betul-betul tak disangka saat ibu menarik tanganku memasuki toko sepeda. Â
Girang luar biasa perasaan saya kala itu. Karena terlalu bahagia, saya bahkan menaiki sepeda pertama yang dibelikan orang tua tersebut dari toko hingga sampai di rumah. Sementara Ibu mengamati dari belakang di atas becak langganannya. Padahal jarak toko sepeda di pusat kota ke rumah kami sekitar 5 km.
Sayapun segera meluapkan kebahagiaan dengan memacu sepeda baru menyusuri tepian sungai. Sesekali sepeda kuarahkan dengan mencoba medan yang menantang dengan menjelajah kebun-kebun warga yang dirimbuni berbagai macam pohon yang menjulang.