Saya selalu teringat keriangan masa kecil saat melihat orang bersepeda (ilustrasi: goodwp.com)
Kring kring kring ada sepeda
Sepedaku roda tiga
kudapat dari ayah
karena rajin bekerja
Â
Potongan lagu ciptaan Pak Kasur tersebut mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Saya baru masuk SD waktu itu. Sebuah fase baru di mana saya berangkat sekolah bersama teman sebaya, menanggalkan kaos dan celana yang biasa dipakai untuk bermain dan menggantinya dengan seragam putih-merah. Tak jarang, beberapa teman berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Saya yang belum bisa mengendarai dan belum punya sepeda hanya melihat mereka dengan tatapan penuh harap semata. Kapan saya bisa bersepeda? Atau kapan saya punya sepeda?  Â
Hingga saat saya duduk di kelas 3 SD, saya memberanikan diri berlatih bersepeda. Masih kuat ingatan saya saat suatu hari sepulang sekolah waktu itu saya melihat sepeda tetangga tergeletak di halaman rumahnya begitu saja. Dengan rasa penasaran yang membumbung, saya mencoba mengayuh pedal sepeda untuk kali pertama. Sebagai pembuka, saya berlatih "anja-anja", istilah di kampungku untuk menyebut gerakan awalan saat berlatih sepeda dengan menggerak-gerakan pedal agar sepeda berjalan.Â
Bruuuuuk!!! begitu suara pagar bambu yang menjadi batas rumah tetangga saat ambruk. Saya menabrak pagar rumah tetangga, dengan sepeda yang kupinjam dari anaknya pula. Kaki lecet, darah segar mengalir di atasnya. Bapak langsung membopong dan membaringkan saya saat tiba di rumah.
"Sudahlah, tak perlu belajar bersepeda dulu. Nanti juga ada waktunya kamu bisa.", Ibu menasihati sambil memijat kakiku.
"Aku ingin punya sepeda, Bu.", saya berseru.