[caption id="" align="aligncenter" width="599" caption="Miniatur Kepulauan Indonesia di TMII (www.tamanmini.com)"][/caption]
Mungkin hampir semua orang di negeri ini mengenal TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Sesuai namanya, taman yang terletak di Jalan Raya Taman Mini, Jakarta Timur ini sering diidentikan dengan ringkasan Indonesia dalam sebuah lokasi yang terintegrasi.
Saya sendiri sudah sejak SD menginjakkan kaki di Taman seluas 150 hektar ini. Dulu merasa benar-benar antusias memasuki TMII untuk pertama kali. Karena gambar, foto, dan keterangan tentang beranekaragamnya Indonesia yang ada di buku RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) seolah terpampang nyata di depan mata.
Rasa penasaran dan keingintahuan masa kecil pun terobati saat melihat anjungan tiap propinsi yang lengkap dengan rumah adat, pakaian adat, dan ciri khas masing-masing daerah. Lebih dari itu, kebanggaan akan Indonesia yang penuh dengan kebhinekaan seolah tergugah di dalam satu tempat ini.
[caption id="attachment_358141" align="aligncenter" width="640" caption="Beragam anjungan dan wahana tersedia di TMII (dok. pribadi)"]
Ingatan masa kecil tentang berbagai macam kekayaan budaya dan adat istiadat dari berbagai daerah di Indonesia yang saya jumpai di TMII terus terngiang di kepala. Hingga seiring berjalannya waktu, saya bertekad untuk menjelajah secara langsung tiap daerah di Indonesia.
Namun, ketika melakoni kegiatan petualangan ke berbagai wilayah di Indonesia ini saya dihadapkan pada dua hal yang menjadi pertimbangan utama; biaya yang relatif besar dan waktu yang cukup lama. Terlebih jika ingin mengetahui secara detail aneka budaya dan sisi-sisi kehidupan masyarakat yang tersebar di berbagai suku bangsa Indonesia, butuh waktu khusus yang lebih longgar dan dana yang tak sedikit untuk disediakan.
Terhitung sudah empat tahun saya lewatkan untuk menjelajah Indonesia. Hanya 5 pulau besar Indonesia, dan beberapa pulau kecil yang saya sambangi. Tak lebih dari 15 propinsi sudah saya datangi. Masih kurang dari setengah wilayah Indonesia.
[caption id="attachment_358142" align="aligncenter" width="609" caption="Saya bersama anak-anak hebat Indonesia saat berada di Papua (dok. pribadi)"]
Kenangan masa kecil kemudian kembali mencuat, tentang sebuah taman yang menyimpan dan merangkum Indonesia, dan bisa dijelajahi dalam sehari. Dengan rasa antusias yang hampir sama dengan waktu kecil dulu, akhirnya saya kembali mengunjungi TMII setelah sekitar dua dekade tidak menengoknya.
TMII sebagai miniatur Indonesia tampak semakin riuh. Saya dibuat terkesima saat kembali memasuki TMII karena pembenahan telah dilakukan di berbagai sisi. Tak hanya anjungan tiap propinsi sebagai sajian utama, rupanya TMII juga menambah beberapa wahana edukatif seperti taman burung, taman bekisar, taman reptilia, hingga taman budaya tionghoa. Beragam museum juga telah hadir, dari museum minyak dan gas bumi, museum transportasi, museum timor timur, museum telekomunikasi, museum penerangan, museum serangga, sampai museum keprajuritan yang semakin mewarnai pengetahuan bagi siapapun yang mengunjungi TMII.
[caption id="attachment_358140" align="aligncenter" width="640" caption="Museum Transportasi, salah satu wahana edukasi di TMII (dok. pribadi)"]
Atas berbagai inisiatifnya, tak heran jika TMII sudah beberapa kali mendapat penghargaan dan pengakuan. Mulai dari penetapan sebagai Obyek Vital Nasional di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata dari Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan pada 2008, hingga ditetapkan sebagai Wahana Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia oleh Kementerian Dalam Negeri RI setahun yang lalu.
Indonesia yang ibarat menu besar, disajikan oleh TMII sesuai selera tiap pengunjung dari berbagai lapisan dan beragam kalangan. Saya yang kali ini menyambangi TMII setelah menjelajah ke beberapa kota di Indonesia dan setahun hidup di Papua, langsung memilih menu sesuai pilihan saya.
Setelah berkeliling ke berbagai anjungan dan wahana, langkah saya langsung tertuju ke Anjungan Propinsi Papua. Saya harus ke sana, dan mengobati kerinduan pada negeri mutiara hitam. Tampak rumah adat honai berjejer anggun saat saya memasuki anjungan ini. Pada bagian depan anjungan, saya menjumpai seorang seniman Papua yang sedang mengukir kayu khas kekayaan suku Asmat. Kemudian tak jauh dari sanggar tempatnya beraktivitas, saya bertemu dengan seorang pemuda dari suku Dani. Segera saya hampiri, dan berinteraksi dengan pemuda ini.
“Kaka asli dari Papua kah?” tanya saya.
“Iyo. Baru...Kaka juga kah?”, sahut si pemuda.
“Sa pernah hidup di Papua. Kaka pu negeri memang paling indah e!", saya berseru.
“Itu sudah. Kaka ada acara apa di sini?”, si pemuda giliran menanyaiku.
“Trada. Sa cuma rindu saja dengan Papua. Tapi biaya transportasi ke Papua masih mahal to. Belum lagi sa pu waktu sekarangsu semakin sibuk. Jadi sa pi ke sini sudah.", saya menjelaskan sambil berusaha mengingat kembali dialek ala Papua.
“Iyo Kaka. Main-main di sini saja biar mengobati kaka pu rindu itu...”, seru sang pemuda, ramah.
[caption id="attachment_358136" align="aligncenter" width="576" caption="Berfoto bersama sa pu saudara dari Suku Dani di TMII (dok. pribadi)"]
Obrolan singkat dengan pemuda Papua itu setidaknya mampu mengobati kerinduan saya tentang eksotisnya alam bumi cenderawasih, apalagi ketika mengingat tentang ramahnya masyarakat adat yang pernah saya jumpai sewaktu hidup di Papua. Ya, di TMII ini saya merasa direkatkan kembali dengan Papua, pulau yang begitu penuh kesan dan tak mungkin terlupakan saat berpetualang. Alhamdulillah, pengobat rindu sudah ditemukan di TMII, dan saya tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi yang relatif masih mahal dan waktu yang panjang untuk pergi ke Papua.
TMII memang tidak hanya menjadi tempat edukasi yang tepat bagi anak-anak, tetapi TMII juga menjawab kerinduan tentang kebhinekaan sebuah bangsa besar seperti Indonesia. Di TMII, hampir setiap anjungan dan wahana lainnya sering diisi dengan beragam acara menarik setiap minggunya, mulai dari pentas seni, lomba kreatifitas, diskusi tematik, sampai kegiatan karnaval. Beragam kegiatan tersebut membuat TMII lebih "hidup" dan semakin menguatkan semangat perekatan kebudayaan nusantara.
Dorongan semangat positif tersebut membuat saya langsung mengiyakan untuk hadir di Kompasianival 2014 yang diselenggarakan di Gedung Sasono Budoyo dan Gedung Sasono Utomo TMII. Alasan utama saya untuk hadir adalah pilihan tempatnya yang sangat tepat! Selain bisa mengakomodasi bermacam komunitas dan acara yang variatif, semangat Kompasianival dengan tema “Aksi Untuk Indonesia” juga sangat relevan dilaksanakan di taman yang merepresentasikan kebhinekaan Indonesia.
Taman yang diresmikan pada 20 April 1975 ini menjadi saksi bagaimana beragamnya manusia Indonesia berkumpul dan beraktivitas positif bersama di acara Kompasianival 2014. Acara yang terbilang sukses dalam mempertemukan kompasianer dari berbagai daerah, dengan latar belakang yang sangat beragam. Dan kembali, di area taman yang bersejarah ini saya menemukan obat kerinduan tentang bangsa yang penuh dengan nuansa kebhinekaan.
[caption id="" align="aligncenter" width="559" caption="Gedung Sasono Budoyo TMII, tempat berlangsungnya Kompasianival 2014 (www.kompasiana.com)"]
Tepat tiga minggu dari hari ini, taman yang telah menyabet penghargaan sebagai Taman Peradaban Internasional dan Wahana Perdamaian Dunia oleh Komite Perdamaian Dunia ini berusia 40 tahun. Usia yang tak lagi muda, dan menunjukkan kematangan serta kemapanan dalam menghadapi tantangan.
Akhirnya, selamat ulang tahun Taman Mini Indonesia Indah. Teruslah menginspirasi dan mengayomi indahnya bumi pertiwi. Tetaplah berinovasi dalam merekatkan budaya pada bangsa besar yang penuh dengan kebhinekaan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H