Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terima Kasih PLN

27 Juni 2012   04:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184904" align="aligncenter" width="616" caption="Suasana belajar anak-anak SDN Tarak, Fakfak, Papua Barat"][/caption]

Siang yang lenggang. Matahari menghangatkan pulau cantikku. Cahayanya menerobos di jendela rumah dan membantu menerangiku yang sedang menata beberapa buku untuk anak-anak. Hari ini aku bermaksud mendatangi rumah Om Udin untuk mengambil rak buku yang dia buatkan sebagai perpustakaan darurat untuk anak-anakku di SDN Tarak.

Tiba-tiba ada rombongan datang menggunakan sebuah perahu motor yang berlabuh di dermaga kampung. Kulihat dari mereka, sepertinya kunjungan dari sebuah institusi di pusat kabupaten. Siapa gerangan?

Sesampai di rumah, rombongan tersebut menyatakan tujuan dan maksud, dan ternyata mereka adalah tim dari PLN yang akan memasang paket lampu SHS bertenaga surya.

“Kami diutus oleh manajer PLN Fakfak, untuk memasang lampu SHS di Kampung Tarak. Mungkin bapak-bapak sudah mendengar informasi dari bapak manajer di RRI.”, begitu ucap salah satu perwakilan rombongan, yang dilanjutkan dengan penjelasan singkat tentang kedatangan PLN di pulau kecil Papua Barat ini.

“Kebetulan Pak guru yang duduk di ujung sana, yang menjadi perantara datangnya bapak-bapak”, seru Bapak Desa.

“Saya Arif, guru Indonesia Mengajar yang ditugaskan di SDN Tarak sejak setahun yang lalu. Bulan Juni 2011 saya datang ke sini, saat itu sekolah masih libur, namun anak-anak meminta untuk belajar. Di ruangan ini, saya bersama adik-adik angkat saya belajar di bawah cahaya pelita. Saya bangga melihat semangat hebat anak-anak saya, kemudian merekam kegiatan belajar mereka di bawah cahaya pelita. Pak, di Jawa itu setiap hari terang dengan cahaya dari listrik PLN, tapi di sini ternyata masih ada, anak-anak yang tetap semangat belajar, meskipun menggunakan pelita. Video itu saya upload di youtube dengan judul terima kasih pelita.”, aku menjelaskan duduk perkaranya.

“Iya, pak guru. Informasi dari manajer PLN memang begitu. Beliau mendapatkan email dari Jakarta yang ditembuskan ke Kepala PLN Propinsi, katanya ada Kampung Tarak, anak-anaknya belajar menggunakan pelita. Kebetulan kami punya program penerangan menggunakan solar cell.”, perwakilan PLN terlihat antusias.

“Kami masyarakat Tarak sangat berterimakasih kepada pihak PLN karena telah memberikan perhatian, terutama tentang fasilitas penerangan ini yang tujuan utamanya untuk lebih menyemangati anak-anak dalam belajar. Dengan program ini berarti PLN telah ikut turun tangan membantu memberikan solusi pendidikan di Republik ini.”, kataku, merasa berbahagia.

Perwakilan PLN kemudian melanjutkan, “Pak guru, Bapak Desa, dan semua tokoh masyarakat, PLN hanya menyediakan 3 buah lampu khusus untuk penerangan saja, tidak bisa untuk yang lainnya karena tujuan utamanya untuk membantu anak-anak selama proses belajar di malam hari. Lampu ini menggunakan remote control untuk menhidupkannya. Kemudian bisa diatur cahayanya, umpanya saat anak-anak belajar 100%, saat duduk-duduk atau memasak bisa 50%, dan kalau mau istirahat 10% saja cahayanya.”

[caption id="" align="aligncenter" width="623" caption="si lampu remot"][/caption]

Seluruh masyarakat yang hadir terlihat menggelengkan kepala tanda kagum.

“Otak manusia ini e... lampu saja tinggal tindis (tekan) remote su (sudah) bisa menyala. Bisa atur-atur cahaya lagi”, bapak desa masih penasaran.

Siang itu juga tim PLN memasang panel surya di atas rumah-rumah warga. Bapak RT dan sekretaris beserta aparat kampung membantu tim PLN. Seluruh masyarakat mulai penasaran, kemudian menanti giliran.

Senja telah bersemburat di ufuk barat. Aku mulai bersiap sholat berjamaah maghrib di masjid bersama anak-anak.

Selesai sholat berjamaah, rutinitasku dengan anak-anak hebat dari pulau kecil di ujung Fakfak ini adalah mengaji bersama. Di sela-sela mengaji aku mulai membuka cerita kepada mereka.

“Pak guru yakin, kalian sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah. Kenapa? Karena di rumah ada barang baru to? Ya, hari ini kalian punya barang su datang. Lampu PLN yang ada di rumah-rumah kalian itu adalah barang kalian, kalian yang telah mengusahakan barang itu datang. Kalian masih ingat waktu belajar bersama pak guru menggunakan pelita saat pak guru masih baru-baru datang? Kalian juga mengajak pak guru untuk pergi ke hutan, mandi air garam di dermaga, kemudian main bola, menari di kelas bersama. Kegiatan pak guru dengan kalian itu pak guru rekam pakai kamera itu to, kemudian pak guru kasih naik di internet, yah..alhamdulillah suara hebat kalian didengar PLN, jadi sekarang PLN datang membawa lampu untuk kalian.”

“Iya, kitong lompat dari dermaga sama-sama to pak guru?”. Si cerdas Rahim bersuara

“Betul! Kalian semua hebat! Makanya, sekarang sudah ada lampu, jadi kalian harus lebih rajin BE-LA-JAR!”, kata yang ku-tebal-kan itu diserukan anak-anak secara bersamaan.

Sepulang dari masjid, anak-anak mengiringku sampai di rumah bapak desa, rumah yang sering dikerumuni anak-anak untuk mengajakku belajar.

Di rumahku lampu PLN sudah menyala, kulihat bapak dan mama angkatku sedang duduk di ruang tengah, sambil menatap lampu.

“Assalamualaikum...”, aku membuka keheningan.

“Waalaikumsalam...”, jawab mereka berdua.

“Kenapa pace?”, tanyaku.

Kitorang masih tara habis pikir. Pak guru dengan anak-anak bikin gambar-gambar di internet sampai barang pakai remot ini datang.”, kata Bapakku.

“Bapak, inilah bukti kalau Tuhan masih sayang dengan orang-orang yang masih semangat dalam berjuang. Bapak dan Mama jangan bosan-bosan kasih ingat orang tua supaya mengawasi anak-anaknya. Besok-besok anak-anak hebat dari Tarak yang akan membawa segala kemajuan di kampung ini, makanya mulai dari kecil harus dipersiapkan pendidikannya agar meraih cita-cita yang tinggi”, kataku.

“Itulah pak guru. Kitorang su sadar. Pak guru dan anak-anak su bawa bukti. Masih kecil saja su bisa begini, apalagi kalau anak-anak sekolah tinggi?”, kata bapakku.

Lamat-lamat aku mendengar suara anak-anak di ruang depan. Benar tebakanku, mereka telah mengerubuti rak buku yang menjadi satu-satunya aset perpustakaan darurat. Kulihat mata mereka semakin cerah mengeja huruf, merangkai kata-kata, dari setiap buku yang ada.

Aku tak sabar mendekati mereka, “Sekarang lampu su ada, kalian tidak lagi susah-susah pakai pelita, jadi harus rajin apa?”.

“BELAJAAAAAR!!!”, seru anak-anak hebat dari SDN Tarak.

[caption id="" align="aligncenter" width="617" caption="Suasana belajar anak-anak SDN Tarak, Fakfak, Papua Barat setelah ada fasilitas dari PLN"][/caption] Keesokan harinya aku kembali melihat anak-anakku, penasaran dengan cerita mereka. "Pak guru, katong tara bisa tidur. Masih senang lihat-lihat lampu remot.", seru Arifin. "Hah? Sampe tara bisa tidur?", tanyaku. "Iyooo.. rasa bagaimana e. Biasa katong tidur harus urus pelita dulu to, mulai ini hari su terang!", Moksen bercerita. ______________________________ Juni 2012. Bersama anak-anak hebat di pulau kecil Papua Barat. Video tentang anak-anak hebat tersebut ada di sini:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun