Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Untuk Bumi: Taman Manggi-Manggi Papua Barat

22 April 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:18 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_172753" align="aligncenter" width="634" caption="Taman manggi-manggi (vegetasi bakau) Pulau Tarak, Fakfak, Papua Barat"][/caption]

Hari minggu, saat yang tepat untuk rehat. Kegiatan selama 6 hari menjadi alasan utama untuk merebahkan badan agar tetap kuat. Namun tidak untuk hari minggu kali ini, sebuah janji telah kusepakati dengan bapak tua (pak dhe/kakak dari bapak angkatku).

“Pak guru, kitong jalan sudah e?”, suara bapak tua menerobos di rumahku. Aku segera mengemasi kameraku, melapisi dengan dry-bag, menghabiskan kopi, kemudian berpamitan dengan kedua orang tua angkatku.

Seperti biasa, saya duduk di posisi paling depan, di muka perahu. Om syarif, adik terakhir bapak angkatku yang menjadi driver longboat.

Kulihat cuaca belum bersahabat, rupanya musim angin barat masih tersisa di awal bulan maret ini.

“Bapak, kitong mau ke mana ini?”, tanyaku.

“Ah sudah…anak tua tinggal duduk saja sambil angkat bazooka itu sudah”, seru bapak tua sambil tertawa menunjuk kamera.

Sebenarnya kita mau masuk ke daerah di dekat pulau patirar, namun air sedang surut jadi nanti saat pulang saja kita baru singgah.

Setelah melintas dari Pulau Patirar, Om Syarif menggerakkan perahu dengan ber”hasa-hasa”, atau menepi menyusuri laut di sebelah daratan. Dan di sinilah kembali mataku terpesona dengan keeksotisan alam Papua.

[caption id="" align="aligncenter" width="416" caption="Pulau Patirar"][/caption]

Orang Fakfak biasa menyebutnya “manggi-manggi”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut bakau, mengisi mataku pagi ini. Vegetasi yang lebat dan hijau alami membuatku menamakan area ini “taman manggi-manggi”.

Di sisi kiriku mulai tampak pulau-pulau kecil yang dari dulu kugemari. Nusa teri, nusa karaf, dan nusa lasi, berjejer manis dan semakin membuatku lupa bahwa aku membawa kamera.

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Gugusan Pulau Nusa Teri, Kampung Tarak, Fakfak"][/caption]

Akhirnya kita sampai di daerah Fuduning, ternyata di area ini manggi-manggi lebih lebat lagi. Om Syarif kembali mengarahkan haluan perahu ke tempat yang membuatku terpukau. Di depanku sudah ada semacam celah masuk, dan perahu kita sedang menuju ke ujung celah ini.

Air di sini seperti air sungai, tanpa ombak. Yah, itu karena celah ini dikelilingi oleh ribuan manggi-manggi di sebelah kanan dan kiri. Sambil bergerak pelan-pelan, perahu sudah menerobos masuk area yang mirip sungai amazon ini. Sesekali kudengar suara burung yang sedang berkicau seolah menyapa kehadiran kami. Ternyata celah ini punya celah lagi, dan celah lagi, seperti sungai subsekuen, yang berlapis-lapis menyerupai labirin.

Wow! Sungguh mengesankan!

[caption id="attachment_172756" align="aligncenter" width="567" caption="Celah manggi-manggi Fuduning, Kampung Tarak, Fakfak"]

13349041992120221063
13349041992120221063
[/caption]

Perahu akhirnya melambat karena air sudah sangat surut. Sambil melihat bapak tua mendorong perahu dengan sebuah kayu tokong, aku menikmati suasana di tengah rimba bakau ini.

“Bapak tua, yang menggantung itu sarang semut to?”, tanyaku melihat gumpalan besar di dahan bakau. “Itu sudah, anak tua minta berapa kapal?”, sahut bapak tua sambil tersenyum.

Gila, sarang semut yang katanya banyak dicari orang jawa karena berkhasiat mengobati berbagai penyakit dalam, ternyata bergelantungan bebas di sini. Tanpa dimanfaatkan untuk apapun.

“Bagaimana pak guru? Kitong sandar dulu kah?”, Tanya Om Syarif dari belakang.

“Terserah bapak kapten saja!”, aku berseru dengan tetap melontarkan senyum.

Perahu sekarang bersandar di bawah batang bakau yang seolah menjadi atap bagi air di bawahnya. Dengan cekatan, bapak tua naik ke atas batang bakau kemudian menjatuhkan sarang semut yang kurang lebih berdiameter 50 cm.

“Kalian jaga e..bapak tua mau lempar langsung ke perahu”, bapak tua serius.

“Mamamiaaa…..sarang semut besar begini?”, aku masih keheranan melihat benda berkhasiat di depanku.

Setelah mengambil 5 buah sarang semut akhirnya perahu sudah melaju ke arah hilir celah.

[caption id="attachment_172822" align="aligncenter" width="533" caption="Menyusuri celah manggi-manggi, Kampung Tarak, Fakfak"]

1334936544881344376
1334936544881344376
[/caption]

[caption id="attachment_172989" align="aligncenter" width="448" caption="Bapak Tua dan sarang semut Kampung Tarak, Fakfak"]

13350050781600423743
13350050781600423743
[/caption]

Aku bersyukur diajak bapak tua dan Om Syarif, kedua saudara kandung bapak angkatku, menikmati pesona alam yang sangat alami ini. Di beberapa tempat di bumi, ekosistem bakau sudah semakin kritis bahkan sudah banyak yang punah, tetapi di pulau kecil di sebelah selatan-timur Fakfak ini bakau masih sangat lebat dan dijaga kelestariannya. Keberadaan bakau seperti ini tentu saja membuat ekosistem di dalamnya tetap terjaga, dan kelestarian alam pesisir Papua juga akan terpelihara, demi kehidupan di bumi yang lebih lama.

Kampung Tarak, Fakfak, Papua Barat 2012. Selamat ulang tahun bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun