Aku terkejut saat menyambangi dua ruangan yang disebut sekolah di ujung kampungku. Kenapa ruangan sebelah masih dikunci? “Pak guru, ibu ijin ke Tanah Besar untuk menelpon orang tuanya di Ambon”, kata Ruslan Patur, punggawa kelas 6. Ibu Suhemi, satu-satunya guru tetap yang ada di SDN Tarak, adalah orang Ambon. Rekan kerjaku itu mungkin khawatir dengan keluarganya terkait dengan kerusuhan Ambon yang baru terjadi. Jadi beliau rela menyeberang 1 jam lebih ke Kampung Malakuli atau “Tanah Besar”, karena di sana tersedia layanan telepon satelit satu-satunya yang tersedia di Distrik Karas. Wajar jika ruang sebelah masih terkunci, kelas 1, 2, dan 3 diliburkan hari Sabtu ini. Melihat sekolah yang timpang sebelah, pasukanku terlihat kurang semangat. “Kelas 1, 2, 3, hari ini libur. Apakah kalian juga mau libur?”, tanyaku. “Mauuu!”, murid-muridku menjawab tanpa ragu. “Eits, tidak bisa. Ibu memang ada perlu, jadi kelas sebelah libur, tetapi kalian harus tetap belajar” kataku sambil terus mengamati raut muka murid-murid. Sesuai jadwal, pagi itu aku mengajar Bahasa Inggris, mereka kuajak bermain dengan memutar-mutar huruf kemudian diubah menjadi kata-kata Bahasa Inggris. Kemudian kulanjutkan dengan pengetahuan pramuka, yang pagi itu masih seputar menghafal Dasa Dharma. Ritme mengajar kupercepat karena kelas mulai terlihat lesu, sekarang giliran pengayaan matematika. Aku memutar otak hampir 360 derajat mencari cara agar anak-anak kembali semangat belajar. Akhirnya kuputuskan begini, “Ah, ini meti (air surut) pagi to? Ya sudah, cepat selesaikan pelajaran, katong (kita) pulang sudah, jalan ke balik pulau! Setuju???”. “Setujuuuuuuuuuuuuu!!!!”, dorang (mereka) menjawab seru. Ah, itulah mereka, terlalu dekat dengan alam yang mereka tinggali. Lebih betah di hutan, pantai, atau laut daripada di sekolah. Biar sudah. Biar pagi ini dipaksa belajar bahasa inggris pun hanya tangan mereka yang bergerak, tetapi otak ada di alam sekitar mereka. “Pak guru, paniki!”, kata Andi Baruan, salah satu siswa kelas 6, sambil menunjukkan paniki yang dalam bahasa Indonesia disebut kelelawar. “Heh, paniki besar begitu ko dapat dari mana e?”, tanyaku penasaran. “Elang bawa tadi di gunung itu”, Andi menjawab. Mamamia... kelelawar sebesar ini baru kutemui seumur hidupku. “Ya sudah, kalian pulang dulu, jangan lupa jam 10.15 su berkumpul di pak guru pu rumah”, kataku sambil melanjutkan perjalanan pulang dari sekolah. [caption id="attachment_133773" align="aligncenter" width="448" caption="Paniki alias kelelawar besaaar!"][/caption] Ibarat sebuah batalyon perang, pagi itu pasukanku langsung bersiap di depan markas, rumah tempat tinggalku. “Kalian mau jalan kaki kah naik dayung?”, tanyaku. “Katong jalan kaki saja pak guru”, kata Rahim, ketua kelas 5. “Pak guru naik dayung saja sudah. Nanti kita bertemu di belakang pulau”, aku berpisah dengan pasukan. Akhirnya semua telah berkumpul di sebuah hidden beach yang biasa disebut “Bom”, anggap saja ini tempat latihan tempur, semacam pusat pelatihan intensif perwira sebelum berperang. Setelah aku datang, aku langsung mengumpulkan mereka di bawah pohon rindang yang daunnya menjorok ke pantai. “Sebentar, kita lihat-lihat pohon dulu sebelum mandi air garam”, aku mulai mengatur anak-anak. Disitulah aku terangkan tentang materi IPA yang harus mereka kuasai sesuai standar kompetensi. Sambil duduk di pantai aku bercerita, bercanda, dan sama-sama belajar tentang dunia tumbuhan, dunia hewan, dan dunia anak-anak Papua. “Kalian lihat daun ini, kenapa warnanya hijau? Ada yang tahu?”, mereka diam sambil memutar bola mata.”Anak-anak kelas 5, kalian masih ingat yang ada di buku IPA, zat hijau daun disebut juga Klo....?” “Klorofil!”, kata Zulqaida Patur, siswa termungil di kelas 5. “Itu sudah. Sekarang bagi tugas, ada yang bersihkan pantai, ada yang siapkan api, ada yang molo (menyelam sambil berburu ikan)! Pak guru ikut molo e?”, kataku. “Yaaaaaaaaaaa!”,sahutan mereka memecah keheningan air di balik Pulau Tarak. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Pasukanku bersiap molo"][/caption] Aku langsung membuka baju dan mendayung menuju laut bersama dua anak kelas 4. Di sinilah, Ruslan, Arman, Ridwan, dan lainnya mulai menceburkan diri kemudian menyelam layaknya pasukan amphibi. Aku langsung menyusul mereka, dan ketika kupandangankan mataku ke bawah, penghuni laut bersorak sorai ramah menyambutku. Aneka jenis karang, kuda laut, teripang, ikan hias seperti manfish, ikan badut, dan bermacam-macam dunia bawah air terpampang di panca indraku tanpa sekat. Satu jam lebih aku menikmati pemandangan aduhai tersebut tanpa terasa. Saatnya istirahat di tepi pantai. Pasukan amphibi telah selesai molo, dan saat berkumpul di tepi pantai tim yang ada di darat juga telah selesai melakukan aksi bakar pisang. Sambil menunggu pasukan perempuan yang sedang membakar ikan hasil molo, tim laki-laki mulai berubah wujud menjadi pemain bola. Ah, mereka memang selalu punya acara. “Pak guru, air su naik, mari katong cepat pulang”, kata Jufri. Selanjutnya, aku memutuskan untuk menemani Moksen, jendral kelas 4, kembali ke kampung menggunakan dayung. Tetapi keadaan air laut saat ini sangat berbeda dengan keadaan saat berangkat tadi. Dengan mulai pasangnya air laut, angin meniupkan tenaganya sehingga ombakpun ikut bergerak. Cukup repot mengendalikan sampan kecil ini di tengah riuh ombak. Perahu mungil yang kami naiki terbalik dua kali karena terjangan ombak. Akhirnya saat ketiga kalinya terbalik, aku berkata baik-baik ke Moksen, “Pak guru jalan darat sudah, kau bisa bawa dayung to?”. “Iya pak guru, bisa.”, jawab Moksen. Jalan darat yang kutempuh saat air pasang begini tidak akan kelihatan pasir pantainya. Yang kuinjak hanya karang, karang, dan karang. Berkali-kali kakiku tersandung. Dan saat sudah lelah lagi-lagi kaki tersandung karang, aku memutuskan berenang. Ketika sudah terasa lelah untuk berenang, aku berjalan menembus batu-batu karang, begitu seterusnya. Oh... Mama... kapan berakhir kita orang jalan begini? Kalau diingat-ingat tentang teori konspirasi yang kuceritakan di Konspirasi Keluargaku di Papua, apakah ini konspirasi alam dan anak-anak untuk menjebakku? Ataukah ini memang jebakan, seperti dalam ceritaTerperangkap Jebakan Batman tempo hari? Aku benar-benar kewalahan berjalan di atas rentetan karang tajam-tajam ini. Mungkin kali ini bukan jebakan batman, ini lebih besar dari kelelawar biasa, ini pasti jebakan paniki! Sebesar paniki yang ditunjukkan Andi tadi pagi! Akhirnya aku pulang dengan badan lunglai, kedinginan, dan kaki lecet-lecet terkena goresan karang. Kalau begini caranya, sebelum berpetualang dengan anak-anak lain kali kutanya, “Kau pasang jebakan kah tara ada?”. _____________________ Anggap saja anda sudah membaca dua ceritaku; Konspirasi Keluargaku di Papua dan Terperangkap Jebakan Batman 17 September 2011, rehat sejenak menunggu senja sore di rumah panggung Bapak Tua. Kampung Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H