Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Obat Bagi Guru yang Sakit

7 Februari 2012   03:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_159595" align="aligncenter" width="300" caption="Pasukanku menunggu di dermaga"][/caption]

Liburan telah berakhir sejak sehari yang lalu, tetapi aku masih ada di kota, padahal tempat tugasku ada di kampung. Tidak! Aku bukan manusia yang tak mau bertanggungjawab. Aku ingin pulang, segera pulang, mengajar dan menunaikan tugasku di pulau nun jauh di sana.

Segera kucari perahu tumpangan yang akan berlayar dari pusat Kabupaten Fakfak menuju Pulau Tarak. Ya, akhirnya kutemukan sebuah perahu setelah berputar-putar dan menghubungi berbagai warga seharian. Pukul 03.15 WIT aku beranjak ke Pasar Tambaruni, menaiki perahu motor. Sebelum subuh perahu ini akan melaju menembus Laut Seram mengingat kondisi cuaca yang akan cepat berubah jika memasuki siang. Di kanan-kiri perahu hanya ada bayangan gelap pekat. Udara dingin musim angin barat telah membelenggu nelayan untuk memacu dayungnya ke laut. Lagi pula, siapa yang mau berada di atas laut jika cuaca gelap dan dingin begini? Tapi inilah yang harus kami lakukan, melawan ke-tidak-masuk-akal-an untuk menuntaskan kerinduan dengan anak-anak di daerah penempatan. Seberkas cahaya akhirnya menembus mendung yang menggantung saat kami memasuki Kampung Urat, sudah jam 6 lewat saat kulihat. "Paceeeeeeeeeeeeee, ko pu anak su pulaaaaaaaaaaaaaaang!"*), aku berteriak di depan kampung, masih di atas perahu. "Anak-anaaaaaak, ibu guru su dataaaaaaaaaaang!", aku berteriak lagi, perahu masih bergoyang-goyang di atas laut. Sejurus kemudian muncul 2 anak dan 1 bapak menggunakan sampan kecil menuju perahu. [caption id="attachment_159480" align="aligncenter" width="300" caption="wulan bersiap turun dari perahu motor menuju sampan :D"]

13285324911408952887
13285324911408952887
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Wulan meluncur di atas sampannya"][/caption] Wulan, seorang pengajar muda yang juga sama-sama sehaluan, akhirnya turun di atas sebuah sampan. Ibu guru yang mengajar 2 rombongan belajar sekaligus ini melambaikan tangan, penuh keoptimisan, dan aku yakin dia akan segera menuntaskan kerinduan di sekolah penempatan. Aku melanjutkan perjalanan, bersiap menghadapi tikaman gelombang 3 kali dari yang tadi kurasakan. Matahari semakin gagah saat perahu melintasi Tanjung Pamali, daerah yang terkenal dengan gelombangnya yang cukup membuat adrenalin tertantang. Di balik tanjung ini, gugusan 3 pulau mulai menampakkan diri. Pelan tapi pasti perahu motor mendekat ke salah satu pulau. Pulau Tarak, aku kembali datang, aku pulang. Sampailah juga perahu di ujung pulau, mulai terarsir di mataku sepotong tanjung berpasir putih dan dihiasi pepohonan kelapa. Itu dia, bangunan terujung di kampung ini, dua lokal yang bijaksana menaungi anak-anak, SDN Tarak, tempatku bercanda, belajar, dan bermain dengan pasukanku. Kuintip dari laut sekolahku tercinta ini. Apa? Sekolah sudah dibuka? Mungkin pak guru Kasim yang di sana. Pak guru Kasim adalah guru yang baru datang semester ini, anak negeri yang akhirnya ditugaskan di kampungnya sendiri. Ternyata benar. Aku langsung melambaikan tangan saat pak guru Kasim keluar kelas. Kulihat beliau sedang berpindah kelas, seperti yang kulakukan saat mengajar 6 kelas sekaligus saat kepala sekolah ada kepentingan. "Pak guruuu pulaaaang!", teriak anak-anak berhamburan keluar kelas. Sambil mendengar sahut-menyahut suara anak-anak, dua ruang kelas berubah layaknya sarang kelelawar, semua berlari ke arah jembatan (dermaga kayu tempat menambatkan perahu). "Pak guru pulaaaaaaaaaaaaaang!" teriak anak-anak kelas 1,2, 3 di tepi pantai. Sesampai di jembatan, ternyata pasukan kecilku ini semakin banyak, hampir 1 sekolah atau sekitar 100 anak datang ke jembatan. Aku akhirnya turun dari perahu, "Assalamualaikum", kataku. "Waalaikumsalam", kata warga. "Pak guru, kitong su pilih durian buat pak guru, kitong tunggu pak guru pulang"**), kata Supri kepadaku. "Masih musim durian?" tanyaku sambil menggendong ranselku. "Masih banyak pak guru, kitong su bawa turun 2 karung"***), kata Ruslan Patur. Memang enak makan durian yang matang langsung dari pohonnya, apalagi durian pemberian murid-muridku ini. Ya, memang bukan duriannya, tetapi lebih ke perhatiannya. "Eh, Said kenapa tara sekolah?", tanyaku. "Baru turun dari hutan, ambil hasil kebun buat pak guru", kata Said. "Duh... Sudah, sudah habis musim duriannya, sekarang musimnya sekolah", kataku. Mereka mengikutiku sambil berjalan menuju rumahku, rumah kepala kampung Tarak. Sambil berjalan aku mendengarkan cerita anak-anak tentang siapa yang tidak sembahyang jamaah, musim durian, berburu maleo, berburu ikan, dan cerita-cerita mereka yang sangat membuatku ceria. Sambil sesekali aku mengelus kepala mereka satu persatu, aku merasakan sakit rinduku pelan-pelan terobati. Sesampai di rumah, bapak angkatku yang ternyata sedang menerima tamu dari masyarakat, menyalami penuh hangat. Ibu angkatku seperti biasa langsung menyuguhkan secangkir kopi panas. Mantap sudah, sakit rinduku semakin mendekati kepulihannya. Pagi harinya, aku datang ke sekolah dengan penuh semangat. "Memberikan salam kepada Bapak guru", ucap Andi Baruan, petugas piket hari ini. "Selamat pagi Bapak guru!" seru anak-anak khas dengan dialek Papuanya. Aku langsung membuka pertunjukan seperti biasa, "Hari ini kita akan belajar Matematika dan IPA. SDN Tarak???". "Siap siaaaaaaaaaap!!!", anak-anak langsung menyahut. Pagi itu, di bawah pohon kelapa, di tepi pantai, kami beradu pikiran memecahkan tantangan soal tentang bilangan bulat positif dan negatif. Pelajaran kedua akhirnya digelar, kali ini belajar tentang gaya dan energi, yang kupraktekkan dengan membuat mobil dari balon, tutup botol, sedotan, dan kayu. Aku tak sabar menguji mobilku, "Anak-anak, lihat pak guru punya mobil ini. Apakah akan melaju dengan cepat?", aku menantang mereka. Ternyata mobilku tak bergerak, "Yaaaaaaaaaaah, lumayan.", kataku, mencoba membela diri. "Ayo, masuk sudah..." "Ini Ruslan dan Hermanus ke mana?" Tanyaku. "Masih di luar pak guru, dorang masih bermain", kata Andi. "Ruslan, Hermanus, masuk dulu sini", aku memanggil dorang dua. "Pak guru, katong pu mobil bisa jalan", kata Ruslan sambil tersenyum-senyum mencurigakan. "Coba praktekkan", Kataku. Ruslan dan Hermanus membagi tugas, saat balon sudah ditiup, kemudian dilepaskan ujungnya, meluncurlah mobil-mobilan karena udara di dalam balon menekan keluar. [caption id="attachment_159632" align="aligncenter" width="448" caption="Percobaan gaya dan gerak dengan mobil-mobilan "]
13285938281926215057
13285938281926215057
[/caption] "Horeeeeeeeeeeeeeeeeee!!!!", aku berteriak kegirangan, membuat murid-muridku ikut bertepuktangan dan tersenyum senang. Yah, murid-muridku inilah obat bagiku, saat aku dipenuhi aneka pikiran dan perasaan yang tak karuan. "Jangan lupa, sore ini les, dan malamnya mengaji", aku mengingatkan sebelum pulang sekolah. "Yaaaaaaaaaaaaaa...", sahut pasukanku. Les kali ini membuat magnet dari listrik, kupraktekkan dengan melilitkan kawat pada paku yang dihubungkan dengan batu baterai. "Panas! Ini berarti magnet su hampir jadi!", kataku. Moksen yang tidak percaya, langsung bergerak ke depan kelas, ingin mencobanya, "Tara panas mo...", katanya. Yah, kalah lagi sama anak-anak, batinku. "Aduh, panas pak guru!", kata Moksen sambil melepas tangannya dari baterai, semua tertawa melihat tingkah Moksen. "Kita sudahi les sore ini, silahkan bermain" ketika kata-kataku selesai, anak-anak langsung berhamburan ke lapangan, ke pantai, tanpa komando. Malam sudah menjelang, saatnya sholat jamaah kemudian mengaji. Saat mengaji inilah, perasaanku semakin dekat mengamati lekuk wajah mereka. Sesi mengaji seperti ini biasanya kuisi dengan cerita-cerita yang berkaitan dengan muatan agama, diselingi mop-mop (cerita humor) ala Papua. [caption id="attachment_159747" align="aligncenter" width="613" caption="saat mengaji di masjid"]
1328617175846575210
1328617175846575210
[/caption] "Awwwwwwww... Aduuuuuuuuuuh!", kataku sambil memegang betis, "Pak guru kraaam!" aku meronta. Anak-anak malah tertawa. "Betul ini, bukan mop, pak guru kraaam betul, kaki tak bisa bergerak", kataku sambil merengek. "eh, kamong cepat pegang pak guru pu kaki itu!", kata Andi kepada Rahim. "Ada yang bisa pijat atau urut?", tanyaku sambil menahan sakit. Sepersekian detik kemudian hampir 17 anak menyemut di kakiku, memijat, mengurut, mengelus, dan berusaha menopang kakiku. "Sudah sudah... Pak guru mungkin terlalu banyak berdiri dan berjalan sejak pagi. Terima kasih pijitannya". Malam itu juga, aku tak bisa tidur. Bukan karena kram yang kurasakan. Melainkan tentang sepenggal kisah hari ini. Tentang obat pelepas sakit rindu yang kualami. Ternyata masih banyak hiburan di pulau tanpa listrik ini. Seperti hiburan untuk para guru, adalah saat bertemu murid-muridnya. Karena acara belajar yang dilakukan oleh guru dan murid kerap dipenuhi kegiatan kekonyolan, banyolan, dan candaan di atas alam raya Papua. Biarpun sakit atau capek, obat sudah siap jika bertemu dengan muridku. ________________________________ 4 Januari 2012, tersenyum sendiri mengingat hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun