Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ingat, Kamu Guru!

21 Oktober 2011   02:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Ingat, Kamu Guru", sebuah pesan yang sederhana kami dapatkan saat pelatihan intensif Pengajar Muda angkatan 2. “Kalian datang sebagai guru, datanglah dengan rendah hati”, begitu kata Pendiri Yayasan Indonesia Mengajar, Bapak Anies Baswedan. Dan sesaat sebelum kami menaiki pesawat, di Bandara Soekarno Hatta, Community Engagement Manager Indonesia Mengajar, Bapak Israrudin juga berpesan, “Ini saatnya bagi kalian, entah sudah berprestasi seperti apa, entah sudah pergi ke negara mana, entah karir kalian itu sudah setinggi apa, saatnya untuk menge-nol-kan diri. Masyarakat yang kalian datangi tidak mempedulikan kalian sudah menjadi apa di sini. Kalian datang ke seluruh penjuru Indonesia untuk menjadi guru, jadi datanglah dengan rendah hati”.

Pesan-pesan itu melengkapi pesan-pesan dari berbagai pihak yang masuk ke telinga kami. Dan aku, selalu terngiang muatan petuah para orang bijak tersebut. Setiap akan melangkah di jalan kampung, menyapa ibu-ibu yang mencuci di sumur umum, bertutur kata dengan bapak-bapak di pantai, atau saat melakukan lobbying, membuka peluang dengan berbagai pihak di daerah penempatan, seolah kata-kata mereka mengiringi derap kakiku.

Dua bulan lebih sudah terlewati di daerah penugasan, saatnya genderang program memasuki ritme yang lebih cepat. Baseline assessment telah dirangkum, rencana program pembelajaran masyarakat akan segera dilaksanakan dengan hentakan kencang.

Tahap pertama yang akan aku lakukan untuk menjembatani urusan masyarakat adalah membuka jalan untuk mereka, istilah jawanya mungkin “mbabat alas”. Aku seolah membawa gergaji untuk membuka lahan sebelum proses pembuatan jalan untuk program masyarakat. Maka aksi yang kulakukan adalah melakukan kunjungan ke dinas-dinas, ibarat “setor muka” untuk perkenalan siapa kami, di mana kami di tempatkan, lalu menceritakan bagaimana keadaan kampung kami.

Dari beberapa lembaga dan orang-orang yang kami jumpai, hampir semua tak menyangka kalau kami adalah guru. Mereka umumnya mengira kami ini wartawan. Ada juga yang mengira kami ini semacam bagian jaringan intelijen yang akan melakukan penyelidikan, atau sejenisnya. Saat kami ceritakan dengan penuh penekanan, mereka baru bisa menerima, bahwa kami ini memang guru yang diperbantukan di Papua.

Ya, sesuai dengan amanat yang kami terima, kami harus datang dengan rendah hati, harus selalu ingat kalau kami adalah guru. Satu-dua instansi telah disambangi. Kini melangkah ke instansi ketiga untuk dijajaki.

“Permisi, kami dari Indonesia Mengajar, bisakah kami bincang-bincang sebentar?”, kataku di depan pintu sebuah kantor. “Ya, silahkan. Sebentar, saya panggilkan bapak dulu”, kata seorang pegawai. Dari jauh muncul seorang sosok berupa laki-laki setengah baya yang mengamati dengan seksama kenampakan tubuh kami. Lalu kami menyapanya, memohon waktu untuk sekedar tatap muka. “Maaf Pak, saya ada urusan. Saya harus meninggalkan kantor. Permisi”, kata bapak tersebut dengan wajah panik. Aneh, kami padahal hanya mau “say hi!”, ingin berkenalan saja, bukan untuk mengintrogasi, tetapi kenapa seolah lari? Ah, mungkin memang dia sedang ada urusan. Atau gara-gara kostumku yang memakai rompi jadi mirip seorang wartawan?

Lain waktu, lain ceritanya. Saat itu aku sedang berbelanja di area pertokoan di pusat kota Fakfak. Aku masuk ke sebuah toko untuk menggandakan materi pelajaran untuk anak-anak. Ketika masuk ke pintu toko. “Heh, ko orang gila to? Ini bawa dia sudah, sana bawa!”, kata pemilik toko dengan nada tinggi kepadaku. Aku bingung, apakah memang ketika aku jalan seorang diri begini memang mirip orang yang tak waras? “Kalau ko tra mau makan, laki-laki ini akan pukul ko! Ayo, makan sudah!”, kata perempuan tadi sambil memberi kode kepadaku.

Ah, ya ya ya!

Ternyata aku disuruh berakting menjadi orang sinting agar anak si pemilik toko mau makan. Oke, hanya akting saja, aku masih terima. Yang penting tidak gila sebenarnya. Dan saat aku melakukan aktingku bak guru Wiro Sableng itu aku langsung ingat petuah para orang bijak, “datang dengan rendah hati, kamu ini guru!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun