Sejak sore tadi gemericik hujan masih membasahi bumi merapi. Lukisan awan hanya berarsir dua warna, abu-abu dan hitam. Setelah sholat maghrib kupercepat langkahku menyusuri beberapa bagian rumah bambu menuju sebuah rumah bambu di bagian yang lain. Jalan yang kulewati hanya tumpukan-tumpukan batu dan tanah yang bergelombang karena terseok derasnya air hujan. Penerangan pun hanya dari senter yang kupegang.
Suasana malam di Shelter Gondang I
Kali ini aku singgah di sebuah rumah, sambil menahan rintihan angin pegunungan yang menyelinap di jaketku aku memasuki rumah Alex. Kontras sekali suasananya dengan di luar, karena di dalam bangunan temporer yang berukuran 6 x 6 meter itu muncul kehangatan yang bersumber dari berkumpulnya anggota keluarga yang lengkap; ada kakek, nenek, ayah, ibu, paman, dan Alex.
Setelah beramah-tamah dengan seisi rumah, konsentrasiku mengikuti arah pandangan seisi rumah, berpindah pada satu buah produk china yang teronggok di atas rak kayu. Benda yang menyerupai kubus itu mampu memberikan informasi melalui audio visual yang terlihat dan terdengar. Tidak bisa dipungkiri, televisi adalah media informasi dan hiburan yang paling akrab dengan masyarakat kita, tak memandang agama, tak mengukur usia.
Alex, anak brilian yang sering mewakili sekolahnya untuk lomba beberapa mata pelajaran, malam ini matanya masih terfokus pada benda kubus tadi. Kutanya kenapa dia tak belajar malam ini? Jawabannya sederhana, “Ndak ada PR Mas Arip”. Kalaupun mau belajar kelompok dia harus keluar rumah, padahal di luar masih hujan, dan gelap, jadilah melihat tayangan televisi bersama dengan anggota keluarga adalah solusi sesaat yang mungkin baginya cukup tepat.
Sayangnya, aku kurang sepakat. Tayangan yang dilihat seisi rumah hangat tersebut terlalu dini untuk dihayati seorang murid kelas 3 SD seperti Alex. Dominasi selera ibu-ibu pada jam-jam ba’da maghrib dan malam hari adalah saat aktif-aktifnya tayangan serial drama berseri di beberapa stasiun televisi. Unsur edukasi pada tayangan televisi kurang punya porsi untuk dilihat Alex malam ini.
Aku membayangkan, jika aku adalah Alex, malam ini aku seperti berada di sebuah rumah kosong yang tak berjendela. Hanya ada satu pintu di depan untuk keluar dan masuk. Solusinya adalah menutup pintu rumahku jika terjadi hujan lebat di luar. Apa yang akan aku lakukan jika ingin tahu keadaan di luar tanpa harus basah kuyup karena membuka pintu depan?
_________________________________
Di suatu sore yang lain, aktifitasku bersama dua teman relawan dari SFSC Yogyakarta yang sampai saat ini tersisa cukup padat. Saat itu aku berada di sekretariat dusun sedang memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak kelas 5 SD. Tiba-tiba dari balik pintu seorang anak kecil memanggilku. “Mas Arip, reneo—Mas Arip, ke sini,” dia memanggilku. Aku bilang “Mlebu wae, ora usah isin-isin—Masuk saja, tak usah malu-malu”. Setelah kupaksa dia masuk, akhirnya dia menyerah. “Mas, niki pengumuman sing mangke dipasang nek perpustakaane sampun dados—Mas, ini pengumuman yang nanti dipasang kalau perpustakaannya sudah jadi”, katanya sambil membawa sepotong papan padaku. Aku hanya menghela nafas ketika membaca tulisan di papan tersebut. Tulisan rapi buatan Dika,
MAAF BILA SUDAH SELESAIMEMBACA BUKU HARAP BUKU
DI KEMBALIKAN KE TEMPATNYA
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!