Setelah melangkah sedikit ke sebelah selatan dari pintu masuk timur, saya menemukan sebuah bukit kecil yang relatif lebih kondusif untuk duduk dengan view Candi Borobudur yang memukau.
[caption id="attachment_307205" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Borobudur di Malam Waisak (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_307222" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Borobudur Pada Malam Waisak (dok. pribadi)"]
Sesuai informasi dari panitia perayaan Waisak, acara Waisak akan dipuncaki dengan pelepasan 1.000 lampion pada pukul 02.30 WIB. Sekali lagi, tujuan saya bukan mengabadikan umat yang sedang beribadah, atau pelepasan lampion, atau apapun, saya cuma pengen menikmati Borobudur saat malam. Jadi, biarpun ada lampion atau tidak, tidak masalah.
Rupanya gara-gara menunggu lampion, sebagian besar orang yang datang bertahan hingga pukul 02.30. Setelah ditunggu, akhirnya lampion mulai terbang sekitar pukul 04.20an. Hampir bertepatan dengan adzan subuh.
Namun, kabut cukup tebal mengepung Borobudur. Lampion yang diterbangkan hanya lamat-lamat saja terlihat.
[caption id="attachment_307216" align="aligncenter" width="425" caption="Wisatawan yanng sedang mengabadikan Lampion Waisak (dok. pribadi)"]
Sejenak setelah lampion mulai terlihat, hampir semua orang mengangkat kamera atau ponselnya untuk mengabadikan cahaya yang mulai mengawang di langit. Dengan dilepaskannya lampion, perayaan Waisak pun berakhir.
Sambil berjalan pulang, saya terus bertanya, apakah kita sudah benar-benar tahu tentang Borobudur yang katanya warisan leluhur kita? Apakah anak-anak muda yang tadi sangat riang berfoto di depan Borobudur mengerti dan memahami nilai-nilai yang ada di Borobudur?
Ah, nanti. Saya butuh kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H