Jingga yang sejuk telah mengepung Jogja pagi ini. Sambil terus berdecak kagum melihat prosesi kemunculan sang surya, saya dan dua orang teman memacu kendaraan ke sebelah selatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Akan ke mana sepagi ini ke selatan? Bukan, bukan Ratu Boko tujuan kita.
Mentarimulai hangat saat kita sampai di Desa Sambirejo. Setelah berputar-putar dan menyaksikan berbagai aktivitas masyarakat pedesaan, akhirnya kita singgah di sebuah titik yang aduhai.
Inilah titik di mana di depan kita terlihatCandiSojiwan, Candi Prambanan, danMasjidMuttaquun berjajar teguh. Gunung Merapi yang berada di belakangnya seolah denganbijaksanamemeluk keharmonisan ketiga monumenperlambang tiga agama yang berbeda.
Ketiganya sama, tapi berbeda. Ketiganya, semuanya, sama-sama mengacung ke langit.Ketiganya berharap keberkahan. Dan ketiganya sama-sama berdiri damai di awang-awang tanpa ribut rebutan kekuasaan. MenaraMasjid Muttaquunsama-sama kehujanan saatCandi Prambanan terkena hujan.Candi Prambanan sama-sama tersengat matahari saatCandi Sojiwan kepanasan. Ketiga menara dengan penuh keteduhan menaungi umatyang berbeda agama di bawahnya;Islam,Hindu, dan Budha. Dengan masing-masing cara mereka menunjukkan ketentraman dalam bersebelahan.
Jika saja bukan karena panasnya matahari seiring datangnya waktu siang yang menyengat, mungkin saya masih tak mau beranjak dari bukit ini. Saya masih mau menikmati kerukunan monumen-monumen yang seolah menengadah ke langit yang sama, dan penuh toleransi berdampingan menaungi masing-masing umatnya.
*
Ketika malam, masihdi hari yang sama, saya mengayunkan kaki untuk berkumpulmemenuhi kewajiban bela negara; ronda. Seperti biasanya, ronda malam ini saya terlibat dalam diskusi khas masyarakat. Obrolan ngalor-ngidul penuh keguyuban mulai menghangat saat memasuki topik mainstream akhir-akhir ini, politik.
Seorang warga bernama Pak Manto mulai menguasai ruang diskusi. Pak Manto adalah seorang tokoh masyarakat yang keislamannya seolah telah genapsetelahbeliau beribadah haji beberapa tahun silam.“Pokoke saya sebagai umat Islam ikut imam saja. Ustad saya ndukung Prabowo, jadi saya juga Prabowo”, seru Pak Manto mantap.
Pilihan Pak Manto berbeda dengan Pak Edy. Pak Edy adalah umat katolik yang sangat gemar dengan dunia pewayangan. Dengan nada asik, beliau berujar “Jokowi pas tenan berpasangan dengan JK. Jokowi relatif muda sebagai calon presiden, JK sebagai senior bisa ngemong”.
Kedua orangini adalah putra daerah kelahiran Jogja yang juga hidup menetap di Jogja. Agak ngawur menurutku kalau ada orang hidup di Jogja yang berbeda paham kok dipisuhi. Bukannya sejak bangsa ini merdeka, perbedaan adalah fakta? Menurutku jika ada yang berbeda, terus dianiaya, pikirane janndeso tenan! Kaya kejadian beberapa hari yang lalu di Ngaglik dan di Tridadi, Kabupaten Sleman.
Lha Pak Manto yang sudah haji dengan Pak Edy yang katolik saja sore harinya ngontel bareng. Pak Manto yang mendukung Prabowo dan Pak Edy yang pro-Jokowi sama-sama ronda menjaga keamanan lingkungan warga. Kedua tokoh ini penuh perbedaan, tapi sama-sama merawat Jogja dengan penuh guyub rukun bebarengan. Mungkin dalam skala yang lebih besar, hubungan harmonis juga tetap terjaga antara Ponpes Pandanaran yang baru saja disambangi Jokowi, dengan kelompok Muhammadiyah Jogja yang mendukung Prabowo-Hatta.
Untuk sampeyan yang sudah baca berita tentang sekelompok orang yang ngamuk-ngamuk di Jogja, harap disaring. Tidak semua orang Jogja suka keributan. Harus benar-benar dicek, bahwa tidak semua titik di Jogja suka gelut-gelutan yang tidak jelas dasarnya.
Semoga yang saya lihat dan saya alami sehari ini bukan anomali, melainkan sebuah esensi. Karena yang saya lihat sebagian besar daerah di Jogja masih tetap guyub meladeni perbedaan, sejak jaman mataram hindu, mataram islam, perjuangan, kemerdekaan, sampai jaman ramai pariwisata dan penuh riuh mahasiswa seperti sekarang ini. Bahkan warga Jogja sudah mantep dengan konsep manunggaling kawula gusti, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha.Maafkan saja, isu panas perpolitikan negeri ini tak mampu membuat seluruh warga Jogja turut bergesekan dan menimbulkan perpecahan.
Biarlah para elit politik di pusat sana bermanuver seperti ulang-alik mau menubruk meteor, tetapi di bawah tetap adem ayem. Terserah mau black campaign atau maumencak-mencak tentang rumor SARA, yang penting toleransi di masyarakat tetap terjaga. Saya tetap merasa Jogja yang istimewa adalah Jogja yang mewadahi semua perbedaan anak bangsa, Jogja yang tetap guyub memegang esensi bhineka tunggal ika.
Klik tulisan lainnya:
Borobudur, Perpustakaan Bangsa yang Belum Selesai Dibaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H