Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesan Sunan Kalijaga untuk Calon Presiden

11 Juni 2014   19:59 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:12 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Seorang pedagang sate menyunggi dagangannya (dok. pribadi)"][/caption] Walisongo yang hadir dalam sejarah kita banyak menitipkan pesan, di antaranya melalui lelagon (lagu) dolanan (permainan) anak-anak. Masuk akal ketika seorang budayawan beranggapan bahwa pesan tersebut dititipkan pada anak-anak, karena memori anak-anak sangat bagus dalam merekam segala kearifan selama bertahun-tahun. Harapannya, pesan kearifan tersebut dilafalkan, lalu ditindaklanjuti dengan perbuatan, dan diwariskan ke generasi berikutnya tanpa putus. Salah satu lagu dolanan anak yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga sekitar tahun 1400-an adalah lagu Gundul-gundul Pacul:

Gundul-gundul pacul-cul, gembelengan Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan Wakul ngglimpang segane dadi sak latar Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Saya mengamini pernyataan seorang budayawan di atas, karena lagu Gundul-gundul Pacul yang sering dinyanyikan di waktu kecil dulu tetap terngiang sampai sekarang. Namun, apakah semua orang sudah paham tentang makna di balik lelagon yang sudah terdengar berabad-abad ini? Ada yang menarik ketika mengupas makna lagu ini. Terlebih dengan kondisi Indonesia yang sedang melaksanakan hajatan besar dalam mencari pemimpinnya. Menurutku sangat kontekstual lagu ini dihadirkan kembali untuk didiskusikan maknanya, sebagai penjernih pikiran dan hati sebelum memilih pemimpin Republik ini.

'Gundul-gundul pacul gembelengan'

Mungkin sering muncul potret seorang anak kecil di Jawa jaman dulu yang gundul, tapi ada sedikit rambut tersisa di bagian depannya. Itu dia si gundul pacul. Karena masih anak-anak, wajarlah dia senang "gembelengan", gemar bermain. Sumber lain menafsirkan kalimat tersebut sebagai berikut: ‘Gundul’ adalah kepala plontos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Jadi ‘gundul’ adalah kehormatan tanpa mahkota. ‘Pacul’ adalah cangkul, yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang kawula rendah, masyarakat grass-root. ‘Gundul pacul’ diartikan sebagai seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah ‘Papat Kang Ucul’ (empat yang lepas). Kemuliaan seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

  1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
  2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
  3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
  4. Mulut digunakan untuk berkata adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. ‘Gembelengan’ artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

'Nyunggi-nyunggi wakul gembelengan'

Dalam sebuah acara sarasehan budaya diJogja beberapa waktu yang lalu, sebaris kata ini ditafsirkan oleh Cak Nun sebagai berikut: Ketika seseorang telah menjadi pemimpin, ia ibarat sedang menyunggi "wakul". "Wakul" bisa diartikan sebagai lambang kesejahteraan rakyat; bisa berupa manusia atau rakyat itu sendiri, kekayaan negara, APBN, atau program pemerintah untuk rakyat. Semuanya itu disunggi. "Nyunggi" itu di atas kepala. Sebagai seorang pemimpin yang nyunggi amanat rakyat di atas kepala, berarti mengutamakan kepentingan rakyat di posisi paling atas. Tidak boleh "gembelengan".

'Wakul ngglimpang segane dadi sak latar'

Lha kalau seorang pemimpin "gembelengan" atau main-main, maka "wakul" atau kesejahteraan rakyat yang ada di atas kepalanya jadi "ngglimpang sak latar", rusaklah tatanan peradaban dan kesejahteraan rakyat. Kalimat tersebut diulang dua kali, menurutku bukan tanpa alasan. Mungkin saja Sang Sunan sedang menekankan pesan yang cukup vital tentang bahaya jika seorang pemimpin tak mampu menjaga amanah dari rakyatnya. Setelah dihayati dan ditafsirkan barisan kata di lagu ini, secara tersirat Sunan Kalijaga jauh-jauh hari telah menitipkan pesan kepada anak-anak bangsa yang akan memimpin negerinya. Semoga saja, siapapun nanti yang terpilih sebagai pemimpin Indonesia lima tahun mendatang, mampu "nyunggi wakul" dengan baik untuk kesejahteraan nusantara.

Klik tulisan lainnya:

Asiknya Belajar Arsitektur Borobudur

Menikmati Borobudur di Malam Hari

Trip ala Ndeso ke Borobudur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun