[caption id="attachment_312845" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Sojiwan, candi penuh cerita di Prambanan, Klaten (dok. pribadi)"][/caption]
Sebuah artikeldi Kompas.com pernah membahas mengenai manfaat dongeng bagi anak-anak, di antaranya: mengembangkan imajinasi anak, meningkatkan keterampilan berbahasa, meningkatkan minat baca anak, membangun kecerdasan emosional, dan membentuk anak yang mampu berempati.
Dari keterangan Efnie Indrianie, seorang psikolog anak dalam artikel di atas, terlihat bahwa membacakan dongeng relatif berpengaruh pada proses tumbuh-kembangnya seorang anak hingga ia dewasa melalui kekuatan cerita yang didengar semasa kecil.
Lalu, kira-kira apa syarat minimal agar proses mendongeng atau bercerita bisa terlaksana? Selain ada pendongeng atau pencerita dan orang yang mendengarkan cerita, adanya referensi cerita yang akan disampaikan menjadi syarat utama yang harus dipenuhi.
Sebagai bangsa yang katanya didominasi oleh budaya tutur, alangkah beruntungnya kita karena referensi cerita di negeri ini sangatlah kaya. Cerita seorang tokoh atau suatu kejadian, kisah sejarah, atau dalam ranah budaya yang lebih luas, diwariskan kepada generasi berikutnya melalui lisan, lewat cerita.
Budaya tulisan pada masa lalu Indonesia tidak sebanyak peradaban-peradaban besar yang lebih tua seperti di Mesir, China, dan beberapa negara lainnya. Namun, ada beberapa bukti bahwa budaya kita juga tak kalah menarik ketika ditelusuri, dan ternyata merupakan irisan dari budaya tulisan dan budaya lisan.
Salah satu bukti tersebut terlihat di Candi Sojiwan, candi yang terletak di Desa Kebondalem kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten yang letaknya hanya 6,1 km dari Candi Prambanan dan 7,6 km dari Candi Ratu Boko.
[caption id="attachment_312829" align="aligncenter" width="617" caption="Petunjuk arah Candi Sojiwan dari Candi Prambanan (google maps)"]
Pada candi Budha yang kemungkinan dibangun antara 842 dan 850 Masehi ini dapat dijumpai cerita-cerita yang menitipkan pesan moral dan sisi edukasi yang menarik untuk dijadikan bahan saat berinteraksi dengan anak-anak.
Cerita yang di jaman sekarang diasosiasikan dengan fabel yang terpahat dalam relief Candi Sojiwan juga bisa dijadikan salah satu referensi dongeng anak-anak. Karena selain mengandung ajaran budi pekerti, juga dibumbui sejarah, strategi, dan dibalut toleransi, yang cenderung masih relevan untuk diceritakan kembali di jaman serba teknologis seperti sekarang.
Ada beberapa relief yang sudah bisa diterjemahkan di candi yang ditemukan kembali oleh anak buah Raffles yang bernama Kolonel Colin Mackenzie pada 1813 ini, salah satunya adalah relief yang melukiskan cerita seekor kera yang menyiasati seekor buaya sehingga dapat menyeberangi sungai.
Dari salah satu sumber mengungkapkan bahwa cerita kera dan buaya ini merupakan cerita jataka. Pada jataka bahasa Pali nomor 208, cerita ini disebut sebagai Śumşumāra jātaka, kurang lebih kisahnya adalah sebagai berikut:
Alkisah sang Bodhisattwa lahir sebagai raja kera dan hidup pada tepi sungai Gangga. Seekor buaya betina melihatnya dan ingin memakan jantungnya. Maka untuk menangkapnya, yang jantan ingin menyiasatinya dengan menawari Sang Kera naik di punggungnya untuk menyeberangi sungai Gangga di mana ia dapat menemukan banyak buah-buahan yang sedap. Si kera menerima tawarannya. Saat sampai di tengah sungai Si buaya mengaku bahwa ia telah menipu Si kera. Lalu Si kera bersiasat untuk menyelamatkan dirinya. Ia mengatakan bahwa jantungnya telah digantungkan pada sebuah pohon. Kemudian ia bisa mengambilkannya kalau si buaya mengantarkannya ke tepi sungai.
[caption id="attachment_312830" align="aligncenter" width="576" caption="Relief kera dan buaya di Candi Sojiwan (dok. pribadi)"]
Kemudian relief yang paling populer di Candi Sojiwan yang menggambarkan cerita tentang angsa dan kura-kura:
Konon, hiduplah sepasang kura-kura (Durbudi dan Kacapa) dan sepasang angsa (Cakrangga dan Cakranggi) di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, tunjungnya beranekawarna; putih, merah dan biru.
Saat hampir tiba musim kemarau, air di Kumudawati semakin mengering. Kedua angsa lalu berpamitan kepada kawan mereka, sepasang kura-kura. “Kawan, kami meminta diri pergi dari sini, sebab air di danau semakin mengering, apalagi menjelang kemarau. Kami tidak kuasa hidup jauh dari air. Maka kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke Danau Manasasana yang airnya bening dan dalam di pegunungan Himawan. Di sana tidak mengering walau sedang kemarau. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.
Maka si kura-kurapun menjawab, “Sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah keadaannya sama antara kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian”.
Angsa kembali menjawab, “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah tengah-tengahnya, kami akan memagut kedua ujungnya dengan istriku. Kami akan kuat membawamu terbang, tapi janganlah longgar anda memagut, dan jangan berbicara selama terbang. Segala yang kita alami selama kami menerbangkan anda nanti, hendaknya jangan anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, taati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami, anda tak akan berhasil sampai ke tempat tujuan, dan akan berakhir mati.”
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, kedua ujung kayu dipagut oleh sepasang angsa. Mereka segera terbang mengembara ke telaga Manasasara.
Mereka telah terbang jauh. Lalu sampailah di atas ladang Wilanggala. Sepasang anjing (Nohan dan Babyan) bernaung di bawah pohon mangga di ladang tersebut. Saat si Babyan mendongak, melihat si angsa terbang bersama kura-kura, dia berujar “Wahai bapak anakku, lihatlah di atas itu, ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh sepasang angsa!”
Kemudian si Nohan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Itu bukan kura-kura, tetapi kotoran kerbau kering! Oleh-oleh untuk anak angsa!” begitulah kata si anjing jantan.
Kura-kura mendengar kata-kata anjing itu, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap kotoran kerbau kering. Maka mengangalah mulut si kura-kura, sehingga terlepas dari kayu yang dipagutnya. Kura-kura jatuh ke tanah. Akhirnya dimakan oleh anjing jantan dan betina.
Sepasang angsa tertegun dan malu karena nasihatnya tidak dipatuhi. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke Danau Manasasara.
Selain relief kera dan buaya serta angsa dan kura-kura, setidaknya ada 10 relief-fabel lainnya yang ada di Candi Sojiwan; relief dua pria yang berkelahi, garuda dan kura-kura, tikus dan ular, serigala dan wanita serong, raja dan putri patih, gajah dan kambing, manusia singa, serigala dan banteng, kinnara, singa dan banteng.
[caption id="attachment_312833" align="aligncenter" width="640" caption="Relief-relief di Candi Sojiwan (dok. pribadi)"]
Menurut saya sangat menarik jika cerita-cerita di Candi Sojiwan—dan cerita lokal lainnya—disajikan ke anak-anak sebagai referensi pilihan di tengah tumpukan cerita putri salju, Adventure of Tintin, Tarzan, dan referensi cerita lainnya.
Kemudian dari sisi sejarah yang melatarbelakangi candi ini juga masih pantas untuk dikomunikasikan. Yaitu cerita yang terekam dalam Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Saka (907 M), yang menyebutkan mengenai upacara peresmian perbaikan Desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana, sebelumnya desa ini hancur akibat letusan gunung berapi. Sebagai balasannya, warga Desa Rukam diberi kewajiban menjaga dan memelihara bangunan suci yang terletak di Limwung. Bangunan suci ini kemudian dikaitkan dengan Candi Sojiwan, sementara tokoh pelindung yang disebutkan dalam prasasti ini: Nini Haji Rakryan Sanjiwana, disamakan dengan Ratu Pramodhawardhani. Candi dinamai berdasarkan Ratu ini, dan dipercaya dipersembahkan untuknya sebagai candi pedharmaan.
Saat saya berkunjung ke Candi Sojiwan beberapa waktu yang lalu, kondisinya masih relatif sepi. Sangat tepat jika agenda liburan Anda diisi dengan berkunjung ke candi yang di depannya masih dipenuhi perkebunan masyarakat ini. Kompleks Candi yang rindang, rerumputan yang hijau dan tempat duduk yang langsung menghadap ke candi membuat kita nyaman berlama-lama menggali nilai-nilai luhur budaya bangsa di candi yang baru selesai dipugar 2011 yang lalu ini.
[caption id="attachment_312836" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Sojiwan tampak dari utara (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_312839" align="aligncenter" width="640" caption="Pemandangan di depan Candi Sojiwan (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_312844" align="aligncenter" width="640" caption="Menggali nilai luhur budaya bangsa sambil menikmati kerindangan dan kenyamanan Candi Sojiwan"]
Referensi:
http://female.kompas.com/read/2012/05/15/14183692/Manfaat.Dongeng.untuk.Anak