Disusul kemudian kelompok kuda lumping/jatilan/jaranan dari Mantran, Gunung Andong dengan gagah menunjukkan kreasinya. Kesenian rakyat ini seakan mengingatkan bahwa area Magelang yang dipagari lima buah gunung juga menjadi daerah bersejarah bagi kisah hidup Pangeran Diponegoro. Wujud interpretasi kesenian yang paling familiar tentang pasukan kuda Pangeran Diponegoro tergambar melalui tarian kuda lumping.
[caption id="attachment_320841" align="aligncenter" width="512" caption="Kelompok Seni Wayang Krasak Bocah (dok. pri)"]
[caption id="attachment_320866" align="aligncenter" width="512" caption="Wajah salah satu seniman cilik di Festival Lima Gunung (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_320867" align="aligncenter" width="512" caption="Kelompok kuda lumping dari Mantran, Gunung Andong (dok. pribadi)"]
Selama FLG digelar, aroma yang sangat kuat terasa adalah tidak adanya ada sekat-sekat kasta untuk menikmatinya. Segala aktivitas seni dan budaya yang tersaji dinikmati oleh orang tua, anak-anak, fotografer, bos, seniman, pejabat, wartawan, mahasiswa dengan apa adanya.
Mungkin acara ini juga menjadi sebuah kritik bagi kita yang sering memperlakukan seseorang dari pangkatnya, dan semacam kritik bagi kita yang mungkin sudah sekian jauhnya dari akar kebudayaan kita. FLG juga mengisyaratkan bahwa selain menjadi hak semua manusia, berkesenian juga merupakan sebuah kebutuhan bagi proses perkembangan sebuah bangsa.
[caption id="attachment_320868" align="aligncenter" width="512" caption="Tumpah ruah menikmati Festival Lima Gunung ke-13 (dok. pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H