[caption id="attachment_321916" align="aligncenter" width="640" caption="Yogyakarta Gamelan Festival ke-19 (dok. pribadi)"][/caption]
Akhir-akhir ini Yogya (sering disebut juga dengan Jogja) sedang sering mencuat di headline pemberitaan media massa. Ya, persoalan tentang misuh-misuhnya seorang mahasiswa S2 di social media yang sering muncul sebagai topik utama. Terlepas dari pro-kontra kasus tersebut, sebenarnya di Jogja masih banyak hal yang menarik untuk dibahas.
Terhitung mulai Agustus 2014 hingga penghujung tahun nanti, Jogja dikepung berbagai event menarik. Beberapa event yang diselenggarakan di Jogja sangatlah langka karena hanya hadir sekali setahun, dan berisi beraneka macam keunikan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Salah satu event tahunan yang bagi saya bergengsi dan menarik untuk dinikmati adalah Yogya Gamelan Festival (YGF). Dan rasanya sangat sayang jika event berkelas seperti YGF tidak saya sharing-kan di portal jurnalisme warga seperti kompasiana.
Setiap tahunnya, YGF selalu diikuti oleh berbagai seniman lintas generasi dan lintas wilayah. Selain dari wilayah Yogyakarta, YGF edisi ke-19 kali ini menyajikan berbagai komposisi apik dari Bantul, Solo, Pacitan, Meksiko, China, dan USA.
Seperti biasanya, tidak dipungut biaya alias gratis untuk menikmati YGF. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, acara yang digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ini pun diserbu berbagai kalangan yang sangat antusias dengan gamelan. Saya cukup beruntung karena bisa sangat dekat dan 'ekslusif' menyaksikan YGF yang mengangkat tema Gamelan Belongs to Everyone tahun ini, sehingga irama dan rasa gamelan yang terketuk tak hanya tersaring di telinga saja, melainkan merasakan denyut-denyut rasa keselarasan yang masuk ke dalam sukma.
Saya sepakat dengan apa yang diungkapkan Mas Sabrang (vocalist Letto) yang juga mengisi YGF kali ini, gamelan bukan hanya tentang musik atau bunyi, gamelan itu seperti rasa, serta sebuah pemaknaan dari sistem dan nilai budaya. Mas Sabrang juga menyatakan bahwa gamelan seperti candi, batik, dan sejenisnya, gamelan merupakan pusaka bangsa bahkan dunia, bukan sekedar warisan.
[caption id="attachment_321921" align="aligncenter" width="640" caption="Mas Sabrang dan Letto di YGF ke-19 (dok. pribadi)"]
Perjalanan YGF setiap tahun tentu saja mengalami berbagai tantangan. YGF ke-19 terlaksana melalui anggaran yang dialokasikan dari dana keistimewaan DIY. Â Pantas saja pada YGF kali ini sama sekali tidak tampak sponsor apapun kecuali Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Apapun respon yang diberikan tentang YGF, bagi saya yang hanya menjadi penikmat seni sangat mengapresiasi usaha segala komponen yang terus berjuang melanggengkan acara yang juga menjadi ajang pertemuan pemain dan pecinta gamelan. 19 tahun adalah rentang waktu yang tak mudah dilalui, terlebih dalam berkoordinasi dan melakukan rentetan persiapan acara yang melibatkan ratusan pemain gamelan dari berbagai usia dan dari beragam wilayah.
Kejadian unik terlihat saat bocah-bocah kecil dari kelompok Tirta Kencana hadir di atas panggung YGF ke-19. Dengan kepolosan dan keluguan khas anak-anak, mereka saling rebutan untuk menabuh gamelan. Tetapi pada gilirannya, dengan penuh kelihaian mereka memainkan bermacam komposisi dan terlihat sangat akrab dengan gamelan. Kehadiran anak-anak Tirta Kencana seolah mengisyaratkan bahwa gamelan, pusaka, atau kebudayaan akan tetap lestari jika generasi penerus mau memahami dan mempelajari tentangnya.
[caption id="attachment_321917" align="aligncenter" width="640" caption="Kelompok Tirta Kencana di YGF ke-19 (dok. pribadi)"]