Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Budaya di Yogya Gamelan Festival

2 September 2014   14:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:50 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_321916" align="aligncenter" width="640" caption="Yogyakarta Gamelan Festival ke-19 (dok. pribadi)"][/caption]

Akhir-akhir ini Yogya (sering disebut juga dengan Jogja) sedang sering mencuat di headline pemberitaan media massa. Ya, persoalan tentang misuh-misuhnya seorang mahasiswa S2 di social media yang sering muncul sebagai topik utama. Terlepas dari pro-kontra kasus tersebut, sebenarnya di Jogja masih banyak hal yang menarik untuk dibahas.

Terhitung mulai Agustus 2014 hingga penghujung tahun nanti, Jogja dikepung berbagai event menarik. Beberapa event yang diselenggarakan di Jogja sangatlah langka karena hanya hadir sekali setahun, dan berisi beraneka macam keunikan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Salah satu event tahunan yang bagi saya bergengsi dan menarik untuk dinikmati adalah Yogya Gamelan Festival (YGF). Dan rasanya sangat sayang jika event berkelas seperti YGF tidak saya sharing-kan di portal jurnalisme warga seperti kompasiana.

Setiap tahunnya, YGF selalu diikuti oleh berbagai seniman lintas generasi dan lintas wilayah. Selain dari wilayah Yogyakarta, YGF edisi ke-19 kali ini menyajikan berbagai komposisi apik dari Bantul, Solo, Pacitan, Meksiko, China, dan USA.

Seperti biasanya, tidak dipungut biaya alias gratis untuk menikmati YGF. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, acara yang digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ini pun diserbu berbagai kalangan yang sangat antusias dengan gamelan. Saya cukup beruntung karena bisa sangat dekat dan 'ekslusif' menyaksikan YGF yang mengangkat tema Gamelan Belongs to Everyone tahun ini, sehingga irama dan rasa gamelan yang terketuk tak hanya tersaring di telinga saja, melainkan merasakan denyut-denyut rasa keselarasan yang masuk ke dalam sukma.

Saya sepakat dengan apa yang diungkapkan Mas Sabrang (vocalist Letto) yang juga mengisi YGF kali ini, gamelan bukan hanya tentang musik atau bunyi, gamelan itu seperti rasa, serta sebuah pemaknaan dari sistem dan nilai budaya. Mas Sabrang juga menyatakan bahwa gamelan seperti candi, batik, dan sejenisnya, gamelan merupakan pusaka bangsa bahkan dunia, bukan sekedar warisan.

[caption id="attachment_321921" align="aligncenter" width="640" caption="Mas Sabrang dan Letto di YGF ke-19 (dok. pribadi)"]

1409591354811107263
1409591354811107263
[/caption]

Perjalanan YGF setiap tahun tentu saja mengalami berbagai tantangan. YGF ke-19 terlaksana melalui anggaran yang dialokasikan dari dana keistimewaan DIY.  Pantas saja pada YGF kali ini sama sekali tidak tampak sponsor apapun kecuali Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Apapun respon yang diberikan tentang YGF, bagi saya yang hanya menjadi penikmat seni sangat mengapresiasi usaha segala komponen yang terus berjuang melanggengkan acara yang juga menjadi ajang pertemuan pemain dan pecinta gamelan. 19 tahun adalah rentang waktu yang tak mudah dilalui, terlebih dalam berkoordinasi dan melakukan rentetan persiapan acara yang melibatkan ratusan pemain gamelan dari berbagai usia dan dari beragam wilayah.

Kejadian unik terlihat saat bocah-bocah kecil dari kelompok Tirta Kencana hadir di atas panggung YGF ke-19. Dengan kepolosan dan keluguan khas anak-anak, mereka saling rebutan untuk menabuh gamelan. Tetapi pada gilirannya, dengan penuh kelihaian mereka memainkan bermacam komposisi dan terlihat sangat akrab dengan gamelan. Kehadiran anak-anak Tirta Kencana seolah mengisyaratkan bahwa gamelan, pusaka, atau kebudayaan akan tetap lestari jika generasi penerus mau memahami dan mempelajari tentangnya.

[caption id="attachment_321917" align="aligncenter" width="640" caption="Kelompok Tirta Kencana di YGF ke-19 (dok. pribadi)"]

14095900861171628936
14095900861171628936
[/caption]

[caption id="attachment_321918" align="aligncenter" width="640" caption="Penampilan Tirta Kencana saat membawakan komposisi sluku-sluku bathok (dok. pribadi)"]

14095901311870949372
14095901311870949372
[/caption]

YGF ke-19 juga mengingatkan saya tentang idiom "urip kuwi wang sinawang" yang sering terdengar di Jogja dan sekitarnya saat menyaksikan penampilan mahasiswa Ningbo University-China bermain gamelan. Hidup itu saling melihat, tak terkecuali dalam melihat kebudayaan. Sebagian generasi muda di Indonesia senang melihat dan mengagumi selebriti dari Asia Timur, namun di sisi lain rupanya ada juga sebagian pemuda dan pemudi dari Asia Timur yang mempelajari kebudayaan yang dimiliki Indonesia.

Dengan mahir beberapa komposisi dimainkan oleh mahasiswa muda Ningbo University. Mereka juga mengkolaborasikan gamelan dengan beberapa alat musik dan lagu-lagu yang penuh nuansa negeri tirai bambu.

[caption id="attachment_321919" align="aligncenter" width="640" caption="Penampilan dari Ningbo University, China (dok. pribadi)"]

1409590283652566959
1409590283652566959
[/caption]

[caption id="attachment_321920" align="aligncenter" width="640" caption="Aksi mahasiswa Ningbo University saat membawakan komposisi Angguk Zhongguo (dok.pribadi)"]

14095903461433603066
14095903461433603066
[/caption]

Jika di USA dan Kanada sudah sekitar 110 kelompok yang memainkan gamelan, Di China (atau juga Tiongkok), Ningbo University merupakan satu-satunya universitas yang mengajarkan gamelan di kampus. "Mereka sangat semangat belajar gamelan meskipun harus menerjemahkan 3 bahasa selama latihan", ujar Sutrisno, pendamping sekaligus pembimbing Ningbo University Gamelan Ensemble.

[caption id="attachment_321922" align="aligncenter" width="640" caption="Mas Sutrisno, Mas Anang Batas, dan Mas Ari Wulu (dok. pribadi)"]

1409591930638545277
1409591930638545277
[/caption]

Mas Ari Wulu dan Mas Anang Batas yang didapuk sebagai pembawa acara juga tak kalah seru memandu perhelatan YGF. "Sampai saat ini, ada 34 negara di lima benua yang aktif memainkan gamelan", seru Mas Ari Wulu. Pernyataan Mas Ari Wulu seolah menggemakan bahwa gamelan sudah menjadi milik masyarakat dunia. Gamelan telah melintasi batas geografis, diterima hampir semua lapisan, tanpa sekat ras dan suku bangsa.

Dari kacamata universalitasnya, menurut saya gamelan layak ditempatkan di jejeran pusaka dunia. Gamelan telah merapatkan sendi-sendi antargolongan untuk sama-sama menyatu dalam alunan cipta, rasa, dan karsa.

Perhelatan YGF juga meninggalkan refleksi tersendiri, sudah sejauh mana perkembangan budaya yang kita miliki? Atau sudah sejauh mana kita mengembangkan dan melestarikan kebudayaan kita? Sudikah kita menilik dan mempelajari kebudayaan yang dititipkan leluhur, di saat budaya dari mana saja bebas berseliweran di depan mata dan hadir tiba-tiba di genggaman tangan kita?

[caption id="attachment_321923" align="aligncenter" width="640" caption="Bonang, Yogyakarta Gamelan Festival 2014 (dok. pribadi)"]

14095922671880771508
14095922671880771508
[/caption]

Saya jadi teringat kata-kata Almarhum Mbah Sapto (Penggagas YGF, ayah Mas Ari Wulu):

"Saya boleh bangga karena gamelan telah dikenal di lima benua. Tapi, saya kadang khawatir, jangan sampai anak cucu saya belajar gamelan kepada orang asing."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun