[caption id="attachment_332797" align="aligncenter" width="640" caption="Foto bersama selesai acara Kompasiana Nangkring bersama Bank Indonesia di Jogja (dok. pribadi)"][/caption]
Istriku langsung sumringah saat aku membawa oleh-oleh goody-bag dari acara Kompasiana Nangkring Spesial bersama Bank Indonesia yang berlangsung di Gedung Bank Indonesia Jogja, Sabtu (1 November 2014) yang lalu.
“Tas-nya bagus Mas, bisa buat belanja,” kata istriku.
“Iyalah, gratis!” aku langsung menyahut.
[caption id="attachment_332798" align="aligncenter" width="512" caption="Oleh-oleh goody bag dari Kompasiana dan BI (dok. pribadi)"]
“Jadi, acara di gedung BI tadi itu kerja sama antara Kompasiana dan BI, Bune. Ceritanya lagi ngobrolin tentang stabilitas sistem keuangan atau SSK,” aku mulai bercerita.
“Opo kuwi? (apa itu?),” istriku menyambar dengan pertanyaan.
“Nah, sistem keuangan negara kita tercinta ini sering jadi pintu masuk krisis. Ingat krisis 1998 to? Itu awalnya dari sistem keuangan yang ndak stabil. Krisis bermula dari nilai Rupiah yang jatuh terhadap dollar Amerika gara-gara tertular penurunan nilai Baht (Thailand). Ibarat jatuh di blumbang (empang), rupiah juga mencipratkan air ke yang lain. Gara-gara rupiah sakit, akibatnya pasar saham anjlok, kemudian bank-bank pada ditutup. Masyarakat kehilangan kepercayaan kan sama lembaga keuangan. Terus merembet ke lainnya. Sampai timbul kerusuhan di mana-mana.”
“Gampangnya ya seperti kita di rumah ini, kalau kamu sakit, anak kita yo mesakke (kasihan) karena kurang terurus. Aku yo bikin teh sendiri, cuci piring, menyapu. Bisa dikatakan krisis sentuhan ibulah di rumah ini. Sama juga dengan sistem keuangan kita kalau ndak stabil, akan berdampak kepada kondisi ekonomi makro Indonesia,” kataku sambil mengingat penyampaian narasumber saat Kompasiana Nangkring.
“Terus hubungannya sama BI gimana, Mas?”
“Kata Pak Peter Jacobs, BI sebagai lembaga otoritas moneter tidak hanya menerbitkan uang, tapi juga menjaga sistem keuangan biar stabil. Biar tambah aman, BI sama OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga sering koordinasi bareng-bareng dengan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dan Kementerian Keuangan, tujuannya ya sama; menjaga sistem keuangan biar tetap stabil dan negara kita ndak krisis,” kataku berapi-api.
“Oh…,” jawabannya masih datar.
[caption id="attachment_332803" align="aligncenter" width="512" caption="Pak Peter Jacobs (Direktur Komunikasi BI) saat hadir di kompasiana nangkring di Jogja (dok. pribadi)"]
“Begini, Bune kalau bisnisan online, transaksinya lewat apa?"
“Transfer bank,” jawabnya mantap.
“Yo kuwi. Bank yang dipakai buat transfer saat Bune bisnisan online itu diawasi sama OJK satu-satu, ndak cuma bank, tapi lembaga keuangan lainnya juga diawasi. Kalau BI tugasnya mengawasi semua yang beroperasi dalam sistem keuangan, secara keseluruhan. Kalau diumpamakan, OJK mengawasi tiap pohon, sedangkan BI mengawasi hutannya. Yang dilakukan BI ini, namanya kebijakan makroprudensial."
“Berarti kalau krisis, aku ndak bisa bisnisan online Mas?”
“Itu sudah! Makanya harus tahu dan ikut menjaga stabilitas sistem keuangan.”
[caption id="attachment_332800" align="aligncenter" width="508" caption="Salah satu paparan dari BI tentang kebijakan makroprudensial"]
“Terus gimana caranya biar sistem keuangan stabil dan ndak krisis, Mas?”
“Macam-macam Bune. Salah satunya, ya menjaga diri dari utang yang ga jelas. Tadi Bu Ita dari BI cerita tentang ibunya yang sudah sepuh sering ditagih pegawai bank gara-gara pakai kartu kredit. Setelah diusut, ternyata ibunya Bu Ita ini memang pernah pakai kartu kredit waktu suaminya dirawat di RS. Tapi gara-gara ndak tahu gimana mekanisme penggunaan kartu kredit, selama bertahun-tahun, akhirnya ya lumayan besar tagihannya."
[caption id="attachment_332801" align="aligncenter" width="512" caption="Bu Ita dari BI, saat menjadi narasumber di Kompasiana Nangkring di Jogja (dok. pribadi)"]
“Mending ndak usah pakai kartu kredit yo Mas?"
“Pakai kartu kredit ya boleh, tapi mending ndak usah banyak-banyak utang. Terus, Bune sebagai pelaku bisnis online juga lebih mengutamakan kejujuran dalam bertransaksi, dan harus lebih kepo tentang macam-macam tawaran produk keuangan. Jangan sampai keliru, apalagi asal-asalan ikut investasi ini, pembiayaan itu, opo meneh (apalagi) yang sejenis uang beranak-pinak itu, hati-hati. Kalau kurang jelas, bisa hubungi BI lewat telepon di nomor 500-131 atau mention aja di twitter @bank_indonesia. Gampang to?”
“Kok sampeyan tambah pinter to Mas?"
“Ya maklum Bune, tadi habis dapat banyak ilmu dari Bu Ita, Mbak Hevy, Bu Fransin yang langsung turun gunung dari Bank Indonesia dan Mbak Dewi dari Kompas."
[caption id="attachment_332802" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Isjet dan para narasumber saat Kompasiana Nangkring di Jogja (dok. pribadi)"]
"Kayanya acaranya seru yo Mas?" istriku mulai penasaran.
"Asik, terutama makanannya, joss bingit! Terus tadi juga dikasih ilmu ngeblog journalism dari Om Heru-Kompas. Aku juga tadi ketemu sama 150-an teman-teman Kompasianer dan mahasiswa yang kinyis-kinyis Bune. Hahae.”
“Ealah, pantesan betah. Lha ini Mas, harga lombok sudah mulai naik, biasanya di Pasar Giwangan beli Rp 3.000,- dapat banyak, ini tadi 1 ons sudah Rp 4.000,-. Itu gejala krisis juga Mas?'
“Kayanya iya Bune. Itu pertanda krisis sambel bagi suamimu ini. Kalau sambel sudah krisis, dampaknya sistemik. Karena aku jadi ndak semangat makan, terus akan menurunkan mood buat menulis."
“Halah… Mas...Mas....“
__________________
Baca juga:
Belajar dari Krisis Demi Kestabilan Keuangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H