Mohon tunggu...
Arifki
Arifki Mohon Tunggu... -

SANG REVOLUSIONER PERGERAKAN...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelangi:Berbeda Itu Indah

2 Juni 2014   06:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesatuan bangsa tersobek-sobek, terasa perang terus bergemuruh diatas atap rumah. Itulah yang dirasakan orang-orang yang merasa bahwa ia tak lagi merasakan bumi yang damai, penuh cinta kasih. Banyak faktor penyebab, sehingga ekonomi, budaya dan agama menjadi kendala bahwa kita sedang merasakan kerusuhan. Pembicaraan kerusuhan selalu hadir pada era reformasi ini, perperangan kita bukan lagi bicara bahwa penjajah harus dibumi-hanguskan dari negara ini, tapi kita berperang dengan saudara sendirimerobek merah putih demi perut yang tak pernah merasakan puas mendapatkan pelayanan negara.

Perbedaan selalu menjadi isu masalah di bangsa ini, pemberitaan media cetak dan elektronik, bicara tentang mayoritas menindas minoritaspenuh dengan berita pelanggaran kemanusian. Golongan mayoritas merasa menjadi paling benar dalam menyatakan bahwa ‘kebenaran telah difatwakan’, suka tidak suka golongan minoritas harus mengikuti ‘kami;. Bahasa apresiasi terhadap perayaaan perbedaan tak menjadi daya tawar yang menarik untuk melihat , Islam, Kristen, Hindu dan Budha berkata bahwa agamanya paling benar, jika semua itu kita ikuti, sibuk melakukan pemaksaan keyakinan, bahwa ini ‘beriman’ yang benar, sehingga orang-orang yang kita lihat selalu di simbolkan ‘kafir’.

Jargon-jargon Negara Islam kembali dikembangkan oleh beberapa kalangan Ormas atau LSM, pembatahan untuk ‘Hatta’. Memang tak ada niat bagi Hatta untuk mendurhakai kesepakatan bersama waktu itu bahwasanya sila pertama pancasila tetap dengan yang semuaadanya perkataan menjalankan syarat-syariat islam bagi para pemeluknya. Kita semua tentu tahu, datangnya kelompok masyarakat dari timur, kami akan keluar dari tenun kebangsaan Indoensia ini, jika ‘bangsa ini’ dirobek dengan penindasan akan pilihan pemahaman kami. Golongan timur itu merasa, ada upaya untuk membumihanguskan keyakinan yang berbeda dengan kondisi mayoritas. Hatta seorang demokrat, ia tak ikuti sikap ‘Minangkabaunya’: Ada Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Kebesaran jiwa Hatta untuk mengganti ‘tujuh kata’ itu dengan ‘ketuhanan yang maha Esa, pertanda bahwa penghargaan Hatta akan permintaan kaum minoritas, membuat bangsa ini masih tetap berdiri.

Sejarah Nabi Muhamad, mengingatkan kita bahwa keyakinan itu tak bisa dipaksakan. Piagam MadinahKonstitusi perdana di dunia. Dalam kehidupan di Madinah, ada Islam, Kristen, Yahudi dan Nasrani. Aturan itu, mengajarkan kita dalam konsep bernegara: ada semangat untuk saling melindungi antar sesama warga negara ‘Madinah’, tolerasi yang Rasul ajarkan untuk tak menyerang agama lain.

Nah, apabila kita melihat kondisi politik saat ini. Jaring-jaring jebakan selalu menghantui kita dengan perseteruan politik yang bukan lagi perkara ‘ideologi’ tapi perkara kepentingan. Calon yang ada akan bicara ‘janji’, obralan ayat tak ada tawar menawar, ibadah atau ‘sales agama’ itulah yang menjadikan politik kita tak menjadi budaya toleransi. Ketika permoksaan terhadap nilai-nilai agama yang dijajah melalui, rayuan-rayuan politik, slogan-slogan syari’ah untuk mempengaruhi masyarakat bahwa subjektifitas agama menjadi penawar , tapi mematikan objektifitas bahwa masyarakat memilih bukan karena program, namun ia memilih karena ‘ayat-ayat’ suci masuk dalam ‘gelanggang politik’.

Berpolitik di Indoensia, tak bisa terlalu tegas dengan doktrin agama, suku, golongan dan ras. Semua itu akan menjadi ‘penindasan’, menekan dan memenjarakan minoritas dan menyombongkan mayoritas. Kehidupan politik harus menggenal ‘pluralisme’, berpolitik dnegan kondisi yang beragam, bahasa perjuangan menjadi bahasa bersama, bukan bahasa agama, suku, golongan atau ras tertentu. Jika politik itu membuat ‘Bhineka Tunggal Ika ‘ berat sebelah, condong ke sebelah barat dan runtuh kebagian timur. Makna satu akan menjadi arsip, cerita dongeng nenek untuk para cucu: bahwa Gajah Mada di era Majapahit bertekad, untuk menyatukan Nusantara dalam ‘kiblat Majapahit’.

Persatuan Indonesia, dongeng itu pancasila yang selalu menyatakan kita adalah satubegitulah cerita, masyarakat yang rumah ibadahnya dibakar karena berbeda keyakinan, dikucilkan karena beda warna kulit. Politik dalam toleransi harus menjadi gaya, semangat dan tipe kepemimpinan  Indonesia kedepan. 2014-2019 adalah daerah rawan-rawan kebutuhan ekonomi, global semakin kuat, ketika negara tak mampu membuat daerah merasa senang dan bangga pada negaranya, tak ada hukum yang adil, kesehatan yang tak bisa mengusir dari rumah sakit, ketika ‘ongkos’ dokter tak ada. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indoensia, tak ada Jawa, Sumatera, Kalimatan, Sulawesi dan Papua. Dominasi pulau masih menjadi masalah bahwa ada ‘kedikatatoran teritorial’, memaksa daerah untuk hormat, tapi stabilitas ekonomi cnedrung tak terhomat.  Jika ekonomi itu tak adil, toleransi untuk menghargai  bahwa kita ‘Pancasila’ masih dalam proses menyusui, belum jelas. Masih mencoba rasa ‘toleransi’, untuk ditanam, karena udah matang dan siap untuk sendirian dan siap untuk menghargai ‘cuaca politik baru’ yang selalu memaki, menjanjikan ayat, mendewakan golongan dan menghilangkan ‘terobosan’ bahwa dengan perbedaan ini kita merasa bahwa ‘berbeda’ bukan berati harus berpecah, tapi seberapa kuat kita merasa bahwa itu pilihan hidup mereka, dan kita sebagai rakyat yang ‘demokrat’, hanya bisa menghargai dan memberikan pemahaman. Untukmu Agamamu dan untukku Agamakubahasa al-qu’ran tak mengajarkan bahwa pilihan itu bukan dari keterpakasaan tapi dari kesadaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun