Mohon tunggu...
Arif Khunaifi
Arif Khunaifi Mohon Tunggu... Administrasi - santri abadi

Manusia biasa dari bumi Indonesia .:. Ingin terus belajar agar bermanfaat bagi alam semesta... .:. IG & Twitter: @arifkhunaifi .:. Facebook: Arif Khunaifi .:.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Anak Yatim Piatu Bersaudara yang Juara

13 Oktober 2015   08:22 Diperbarui: 13 Oktober 2015   08:22 3515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Tsaqif, Nabilah, Aflach. dok.pri"][/caption]

Terus terang, saya menuliskan cerita ini dengan hati yang penuh haru. Saya sampaikan pula perasaan ini kepada teman-teman Konek (Kompasianer Nekad) Surabaya dalam sebuah grup chatting di FB.

Kisah awal bermula dari Kantor Kompasiana Jakarta yang mengharapkan setiap komunitas di blog nulis keroyokan tersebut untuk mencari sosok anak kurang mampu namun dia berprestasi. Anggota Konek pun berkumpul untuk membahas hal ini, termasuk apa ukuran prestasi yang diinginkan Kompasiana.

Saya sampaikan dalam pertemuan itu kalau menurut saya pribadi, ukuran prestasi bukanlah nilai akademik semata, namun juga kejujuran, budi pekerti dan akhlak yang mulia. Karena itulah yang justru yang akan cerah masa depan mereka.

Perkumpulan pertama kami pada 5 Oktober 2015 belum berbuah apa-apa saat grebek KPK. Kemudian dilanjutkan pertemuan kedua pada 11 Oktober 2015 di Taman Bungkul bersamaan dengan acaranya Mbak Naftalia. Saat pertemuan kedua itu setiap anggota Konek diharapkan minimal punya satu usulan.

Bu Nur Hasanah sebagai guru belum ada usulan, sedangkan Mbak Tamita dari Madiun sudah ada pandangan namun tidak sreg karena alasan tertentu dan Mbak Nafta punya pandangan anak-anak yatim yang dia santuni selama ini namun dari segi prestasi beliau kurang tahu persis.

[caption caption="Rapat Konek di Taman Bungkul. dok,pri"]

[/caption]

Nah, saya yang sejak pertemuan pertama hunting mencari informasi ke beberapa tempat baik online maupun offline justru baru dapat info pada detik-detik terakhir sebelum pertemuan di Taman Bungkul berlangsung.

Saya mencoba bertanya kepada seorang guru madrasah di sebuah masjid tempat saya mengisi pengajian rutin setelah subuh kawasan Granting. Darinya saya dapat sebuah nama anak yatim piatu perempuan bernama Nabilah yang masih kelas 6 SD. Akhirnya anak ini yang saya usulkan saat pertemuan kedua tersebut, namun saya sendiri belum tahu kondisi riilnya.

Untuk memastikan kondisi sebenarnya yang menyatakan anak tersebut tidak mampu, saya meminta alamat kepada Ustadz Fathurrahim sebagai guru Madrasah NU Baitul Amin Karang Empat tempat sekolah Nabilah. Ketika guru tersebut memberi alamatnya, perasaan saya tidak karuan. Maksud saya, karena tertulis alamat jalan Kenjeran No 130 Surabaya.

Setahu saya di jalan Kenjeran adalah rumah-rumah besar dan pergudangan. Jangan-jangan ini anak ini yatim piatu namun dia mampu dari segi finansial. Begitulah perasaan yang bergelayut dalam pikiran saya.

Maka sebelum berangkat saya sampaikan kepada kompasianer lain, jika anak yang direkomendasikan guru tersebut tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Kompasiana Jakarta, saya secara pribadi maupun pesantren tempat saya bernaung tetap siap membantu anak tersebut. Mbak Naftalia bersama komunitas psikolognya juga sudah menyampaikan siap membantu anak-anak yatim piatu, asalkan datanya jelas.

Daripada perang dengan pikiran sendiri, langsung saja usai mengajar ngaji sore saya langsung meluncur ke alamat yang diberikan. Seperti biasa perempatan jalan kenjeran menuju jembatan Suramadu padat sekali kondisi lalu lintasnya.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Saya cari alamat sesuai dengan nomor. Nah akhirnya bertemu juga sebuah gudang. Pikiran saya lagi-lagi berkata jika ini tidak sesuai dengan harapan. Saya bel tempat tersebut lalu keluar seorang penjaga gudang dan mengatakan bahwa tidak ada nama Nabilah di tempat tersebut.

Hand Phone saya keluarkan dari saku dan bersiap menelpon sang guru. Namun telpon kembali saya masukkan karena melihat rumah sederhana dengan tumpukkan kayu bahan palet di depannnya. Motor saya tinggalkan kemudian saya mendekati rumah itu. Tidak ada nomor pada rumah tersebut, namun ada beberapa anak berkumpul. Berapa sepeda angin tampak terparkir di depan rumah.

Ketika saya tanya apa di rumah tersebut ada anak yang namanya Nabilah, salah satu diantara mereka mengiyakan dan mempersilahkan saya untuk masuk. Sebelum masuk saya mohon izin mengambil motor terlebih dahulu dan memindahkan di depan rumahnya sambil berpikir bahwa kalau rumah seperti ini mungkin sesuai harapan jika diberikan bantuan.

Usai mengambil motor, saya sudah disambut dengan senyuman tiga anak. Ada anak laki-laki yang paling kecil, anak perempuan tanggung, dan laki-laki yang paling besar. Mereka rupanya sudah siap-siap untuk ke masjid menunaikan shalat magrib.

Saya bertanya siapa yang namanya Nabilah, anak perempuan tanggung itu yang menjawab. Saya cek dulu nama tempat dia sekolah, guru dan status kedua orang tua serta prestasinya. Dari keterangannya saya baru tahu jika Nabilah bukanlah yatim piatu sendirian. Masih ada dua saudaranya yakni Aflach (9 tahun) dan kakaknya Muhammad Tsaqif (14 tahun).

Dia ikut bibinya di Surabaya karena kedua orangtuanya di Desa Sembungan, Dukun, Gresik meninggal dunia. Rahayu Hendrati ibunya wafat pada 5 Januari 2011 sedangkan Mahzumi bapaknya wafat pada 11 Agustus 2014.

Tepat setahun setelah wafatnya ayahanda, 11 Agustus 2015 mereka pindah sekolah ke Surabaya. Menurut Sri bibinya, ketiga anak tersebut selalu rangking satu ketika sekolah di Gresik dulu walaupun ibu bapaknya sudah meninggal dunia.

Untuk di Surabaya tentu saja belum tahu prestasinya karena baru beberapa bulan saja. Namun kalau mengambil kesimpulan dari keterangan guru tempat dia Nabilah mengajar sehingga merekomendasikan anak ini, maka bisa diambil kesimpulan bahwa anak memang berprestasi di sekolahnya.

Sambil wawancara dengan Nabilah, saya melihat tiga anak ini memang punya kelebihan yang cukup terlihat jelas yakni memperhatikan betul pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan. Mereka juga menjawab dengan kompak apa yang saya tanyakan. Walaupun sesekali si Aflach yang paling kecil tetap membaca buku kesukaannya.

Mereka juga memperhatikan apa yang tulis dalam buku wawancara, beberapa kata temasuk penulisan nama yang kurang tepat mereka pun mengoreksi. Bakat-bakat jadi editor rupanya sudah ada dalam diri mereka.

Dalam pengalaman selama ini saya bertahun-tahun dapat tugas dari pesantren mencari anak-anak yatim untuk diberikan bantuan, baru kali ini saya bertemu dengan anak yang sopan-sopan dan nyaris sempurna dalam menghormati tamunya. Belum lagi prestasi yang mereka punya.

Bibinya juga berkisah untuk pergi ke sekolah mereka bertiga naik sepeda. Aflach dan Nabilah sekolah di tempat yang sama dengan jarak sekitar dua kilometer dari rumahnya sedangkan Tsaqif sekolahnya berbeda dengan jarak sekitar tiga kilometer.

Saya kemudian trenyuh membayangkan, bagaimana seorang Aflach anak kecil yang masih duduk di kelas 2 SD harus naik sepeda di tengah padatnya lalu lintas kota Surabaya. Mbrebes mili air mata saya membayangkannya.

Dari data yang saya kumpulkan, justru Tsaqif yang paling besar biaya pendidikannya di SMP Muhammadiyah Kapasan. Dia membutuhkan satu juta setengah untuk masuk sekolah tersebut belum lagi SPP tiap bulan yang mencapai 150 ribu rupiah. Sedangkan dua adiknya di sekolah Ma’arif NU Baitul Amin gratis SPP-nya. Hanya buku paket dan uang saku harian yang dia butuhkan.

Hanya saja, setelah ini Nabilah akan masuk SMP karena sudah kelas 6 SD. Mungkin saja dia juga akan membutuhkan biaya buku dan seragam jika dia masuk SMP Negeri di Surabaya yang gratis SPP-nya.

Sedangkan untuk uang saku, mereka berlima diberikan uang 5 ribu rupiah oleh bibinya. Walaupun jika kita lihat, tentu Tsaqif yang sudah SMP butuh lebih dari itu. Namun dia tetap bersyukur karena bibinya masih sangat tinggi dalam memberi perhatian walaupun dia termasuk orang tidak mampu. 

***

Adzan magrib berkumandang, kami sepakat untuk shalat berjamaah di masjid al-Ishlah di perempatan jalan Kenjeran Suramadu. Berjalan kaki sekitar 400 meter.  Usai shalat mereka bertiga ikut mengaji kitab fikih “Sulam Safinah”.

Saya mencoba melihat tulisan Arab milik Nabilah. Untuk anak kelas 6 SD memang tulisannya tergolong luar biasa. Ustadz yang mengajar kitab tersebut saya tanya komentarnya tentang tiga anak tersebut mengatakan jika anak tersebut memang sudah pintar membaca kitab dibandingkan yang lain.

[caption caption="Tulisan Arab Nabilah. dok.pri"]

[/caption]

Ketika belajar di masjid, mereka bertiga tampak kompak dan rendah hati. Mereka duduk di belakang karena tidak kebagian meja. Bahkan yang paling kecil sambil santai menulis dengan rebahan di lantai. 

Usai dari tempat itu saya pulang sebentar lalu menuju kawasan Asrama Haji Surabaya. Mengajar santri-santri Ma’had Nurul Qur’an. Di sana saya bertemu dengan Ustadz Syuaib yang ternyata juga takmir Masjid al-Ishlah tempat tiga anak tadi mengaji.

Ketika saya tanya mengenai tiga anak itu beliau mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak yang sangat rajin mengaji dan shalat berjamaah serta semangat tekun belajar. Tidak kaget jika mereka menjadi anak-anak yang berprestasi.

Saya berdoa dan memohon doa para pembaca agar mereka menjadi generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia, sehingga bangsa kita kelak semakin dipenuhi keberkahan.

Salam Paseduluran...!

Menuju Indonesia Juara

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun