Maka sebelum berangkat saya sampaikan kepada kompasianer lain, jika anak yang direkomendasikan guru tersebut tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Kompasiana Jakarta, saya secara pribadi maupun pesantren tempat saya bernaung tetap siap membantu anak tersebut. Mbak Naftalia bersama komunitas psikolognya juga sudah menyampaikan siap membantu anak-anak yatim piatu, asalkan datanya jelas.
Daripada perang dengan pikiran sendiri, langsung saja usai mengajar ngaji sore saya langsung meluncur ke alamat yang diberikan. Seperti biasa perempatan jalan kenjeran menuju jembatan Suramadu padat sekali kondisi lalu lintasnya.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Saya cari alamat sesuai dengan nomor. Nah akhirnya bertemu juga sebuah gudang. Pikiran saya lagi-lagi berkata jika ini tidak sesuai dengan harapan. Saya bel tempat tersebut lalu keluar seorang penjaga gudang dan mengatakan bahwa tidak ada nama Nabilah di tempat tersebut.
Hand Phone saya keluarkan dari saku dan bersiap menelpon sang guru. Namun telpon kembali saya masukkan karena melihat rumah sederhana dengan tumpukkan kayu bahan palet di depannnya. Motor saya tinggalkan kemudian saya mendekati rumah itu. Tidak ada nomor pada rumah tersebut, namun ada beberapa anak berkumpul. Berapa sepeda angin tampak terparkir di depan rumah.
Ketika saya tanya apa di rumah tersebut ada anak yang namanya Nabilah, salah satu diantara mereka mengiyakan dan mempersilahkan saya untuk masuk. Sebelum masuk saya mohon izin mengambil motor terlebih dahulu dan memindahkan di depan rumahnya sambil berpikir bahwa kalau rumah seperti ini mungkin sesuai harapan jika diberikan bantuan.
Usai mengambil motor, saya sudah disambut dengan senyuman tiga anak. Ada anak laki-laki yang paling kecil, anak perempuan tanggung, dan laki-laki yang paling besar. Mereka rupanya sudah siap-siap untuk ke masjid menunaikan shalat magrib.
Saya bertanya siapa yang namanya Nabilah, anak perempuan tanggung itu yang menjawab. Saya cek dulu nama tempat dia sekolah, guru dan status kedua orang tua serta prestasinya. Dari keterangannya saya baru tahu jika Nabilah bukanlah yatim piatu sendirian. Masih ada dua saudaranya yakni Aflach (9 tahun) dan kakaknya Muhammad Tsaqif (14 tahun).
Dia ikut bibinya di Surabaya karena kedua orangtuanya di Desa Sembungan, Dukun, Gresik meninggal dunia. Rahayu Hendrati ibunya wafat pada 5 Januari 2011 sedangkan Mahzumi bapaknya wafat pada 11 Agustus 2014.
Tepat setahun setelah wafatnya ayahanda, 11 Agustus 2015 mereka pindah sekolah ke Surabaya. Menurut Sri bibinya, ketiga anak tersebut selalu rangking satu ketika sekolah di Gresik dulu walaupun ibu bapaknya sudah meninggal dunia.
Untuk di Surabaya tentu saja belum tahu prestasinya karena baru beberapa bulan saja. Namun kalau mengambil kesimpulan dari keterangan guru tempat dia Nabilah mengajar sehingga merekomendasikan anak ini, maka bisa diambil kesimpulan bahwa anak memang berprestasi di sekolahnya.
Sambil wawancara dengan Nabilah, saya melihat tiga anak ini memang punya kelebihan yang cukup terlihat jelas yakni memperhatikan betul pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan. Mereka juga menjawab dengan kompak apa yang saya tanyakan. Walaupun sesekali si Aflach yang paling kecil tetap membaca buku kesukaannya.