Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mewajibkan seluruh warga negara Indonesia untuk menjadi peserta jaminan sosial. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 14 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial. Tujuan dari kewajiban ini adalah untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlindungan sosial berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, dan jaminan kematian.
Undang-Undang SistemTujuan utama mewajibkan seluruh warga negara untuk mengikuti program jaminan sosial dalam UU SJSN antara lain untuk memberikan perlindungan bagi setiap warga negara dari risiko sosial, seperti penyakit, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, kematian, serta hari tua atau pensiun. Ini memastikan bahwa warga negara memiliki akses terhadap perlindungan keuangan dan layanan yang diperlukan.
Kemudian program jaminan sosial ini juga memberikan pemerataan akses terhadap layanan kesehatan. Dengan kewajiban ini, semua orang, baik pekerja formal maupun informal, mendapatkan akses yang sama terhadap layanan kesehatan yang layak dan tidak diskriminatif, sesuai dengan prinsip keadilan sosial.
Supriyanto (2014) mengatakan bahwa sampai dengan pertengahan tahun 2012, 63% penduduk Indonesia diperkirakan telah memiliki jaminan kesehatan dengan berbagai bentuk dan cakupannya. Untuk mewujudkan universal coverage jaminan kesehatan pada tahun 2019, seluruh pihak yang terkait perlu melakukan usaha yang masif untuk menyertakan sisa penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan kesehatan untuk bergabung dalam JKN. Â Â
Jumlah Peserta JKN berdasarkan kutipan dari website resmi BPJS (2024) sebanyak 269.493.003 Peserta. Atau 95,4% dari seluruh total penduduk Indonesia. Meskipun persentase kepesertaan BPJS terhadap jumlah penduduk Indonesia sudah sangat tinggi, tantangan utama masih terletak pada bagaimana memastikan cakupan 100% dan menjaga keberlanjutan program ini. Hal ini membutuhkan kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Universal Health Coverage (UHC) merupakan salah satu upaya strategis yang diimplementasikan untuk meningkatkan kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia. UHC bertujuan untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki akses yang adil dan merata terhadap layanan kesehatan yang berkualitas. UHC menekankan pentingnya akses yang adil terhadap layanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Dengan adanya UHC, diharapkan lebih banyak masyarakat yang terdaftar sebagai peserta JKN, termasuk kelompok yang sebelumnya tidak terjangkau oleh layanan kesehatan.
Dalam upaya mencapai UHC, pemerintah daerah diharapkan untuk mengintegrasikan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke dalam JKN. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua penduduk, terutama yang tidak mampu, dapat terdaftar dalam program JKN dan mendapatkan manfaat yang sama.
Akan tetapi di sisi lain mandatory spending yang merupakan penetapan kewajiban alokasi minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD untuk sektor kesehatan dihapus dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023. Di dalam Kompas (2023) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berargumen bahwa pencantuman mandatory spending tidak menjamin efektivitas program kesehatan. Ia menyatakan bahwa anggaran seharusnya didasarkan pada rencana induk kesehatan yang berbasis kinerja, bukan pada angka persentase yang kaku.Â
Penghapusan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pengamat kesehatan bahwa tanpa adanya "kuncian" konstitusional, alokasi anggaran untuk kesehatan dapat dipengaruhi oleh dinamika politik dan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Hal ini berpotensi mengurangi komitmen negara terhadap kesehatan publik. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa penghapusan ini dapat mengakibatkan pengabaian terhadap sektor kesehatan, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan.Â
Mengutip dari The Conversation (2023), dengan kewajiban mandatory spending dalam UU 36 Tahun 2009, Ombudsman RI melaporkan bahwa banyak daerah hanya menganggarkan sekitar 3-4% dari total anggaran mereka untuk sektor kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak daerah belum memenuhi kewajiban minimum yang ditetapkan. Di daerah-daerah dengan komitmen politik yang rendah terhadap kesehatan, penghapusan anggaran minimal kesehatan dapat memperburuk situasi, karena mereka mungkin tidak akan berusaha untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan.Â
Penghapusan ketentuan mandatory spending dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 berpotensi menyulitkan upaya mencapai Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Tanpa adanya kewajiban alokasi anggaran yang jelas, pemerintah daerah mungkin akan mengalokasikan dana kesehatan yang tidak memadai. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya dana untuk program-program kesehatan yang esensial, sehingga menghambat pencapaian UHC yang bertujuan untuk memberikan akses kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.Â